BERITA

Hina Nabi Muhammad, Mahasiswa di Medan Divonis 16 Bulan

Hina Nabi Muhammad, Mahasiswa di Medan Divonis 16 Bulan

KBR, Medan - Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara menghukum seorang mahasiswa, Wiranto Banjarnahor dengan hukuman 16 bulan penjara karena dianggap telah menghina Nabi Muhammad SAW.

Ketua Majelis Hakim PN Medan, Sabarulina Ginting juga memerintahkan agar terdakwa berusia 21 tahun itu tetap ditahan.

"Mengadili, menyatakan, dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana 1 tahun dan 4 bulan. Dipotong selama masa penahan, dengan terdakwa tetap dalam tahanan," kata Sabarulina Ginting.

Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim mengatakan, terdakwa telah menyampaikan pembelaan secara tertulis, dan meminta maaf kepada semua pihak.

"Terdakwa juga memohon keringanan dan ingin melanjutkan kuliah," kata Sabarulina Ginting dalam putusannya.

Hakim menyebut tindakan Wiranto bisa menimbulkan konflik antarumat beragama di Indonesia. Meski begitu, hakim melihat ada yang meringankan hukuman terdakwa, yaitu terdakwa mengakui kesalahannya, dan ia telah dipecat dari Universitas Negeri Medan, tempatnya kuliah selama ini.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sindu Hutomo sebelumnya menuntut Wiranto Banjarnahor dengan pidana dua tahun, atas pelanggaran Pasal 156a KUHP. Sindu menuding Wiranto bersalah melakukan tindak pidana penistaan agama dengan menghina Nabi Muhammad SAW melalui media sosial.

Polisi sebelumnya mendatangi tempat kost Wiranto Banjarnahor di Medan, pada 16 Mei 2017 dan menahan atas tuduhan penghinaan agama melalui media sosial. Karena kasus itu, Wiranto diberhentikan dari kampusnya kuliah.

Pasal karet

Pasal 156a KUHP berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".

Pasal 156a KUHP yang digunakan Kejaksaan untuk menjerat Wiranto Banjarnahor merupakan pasal yang kerap disebut kalangan pegiat hak asasi manusia sebagai pasal karet yang multitafsir.

Direktur LBH Jakarta Algiffari Aqsa menyebut LBH berkali-kali meminta agar pengadilan mengabaikan tuntutan menggunakan pasal itu, siapapun yang menjadi subyek persidangan.

Algiffari menyebut Pasal 156a KUHP sering disalahgunakan untuk mengkriminalisasi seseorang seperti dalam kasus Lia Eden, Ahmadiyah, Syiah dan Gafatar. Pasal itu juga menjerat bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

"Siapapun bisa menjadi korban, tergantung bagaimana dan siapa yang menafsirkan. Kami juga meminta majelis hakim agar melihat putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 meskipun memutuskan pasal tersebut tetap berlaku  tetapi ada permasalahan dalam Undang-undang tersebut," kata Algiffari Aqsa, 16 April 2016 lalu menanggapi tuduhan penodaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Pasca keluarnya aturan pasal 156a KUHP pada 1965 itu, tercatat sudah 97 kasus penodaan agama. Mayoritas sebanyak 89 kasus terjadi pascareformasi 98. LBH Jakarta menilai, pasal 156a di Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP ini bermasalah bahkan bertentangan dengan prinsip HAM.

Pasal 156a KUHP juga memicu perdebatan dalam pembahasan revisi KUHP di DPR. Beberapa pihak menginginkan pasal itu dihapus, namun beberapa pihak lain ingin mempertahankan.

Kalangan yang ingin mempertahankan berpedoman pada Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pasal 156a tidak bertentangan dengan konstitusi.

Meski dipertahankan, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan pasal 156a KUHP akan masuk dalam delik material. Artinya, tindak pidana yang dijerat pasal itu harus dibuktikan akibatnya lebih dahulu.

Baca juga:

Direvisi: 4 Oktober 2017

Editor: Rony Sitanggang

 

  • Wiranto Banjarnahor
  • Ketua Majelis Hakim
  • Sabarulina Ginting
  • penghinaan nabi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!