HEADLINE

Industri Pengasinan Dapat Jatah Impor, Ini Penjelasan Kemenperin

Industri Pengasinan Dapat Jatah Impor, Ini Penjelasan Kemenperin

KBR, Jakarta- Kementerian Perindustrian mengakui ada industri pengasinan ikan dalam daftar penerima jatah impor garam. Jatah impor sebanyak 70 ribu ton diberikan kepada PT Mitra Tunggal Swakarsa. Padahal, Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1994 mewajibkan sektor industri itu menggunakan garam konsumsi produksi dalam negeri.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono beralasan pemberian  karena nihilnya pasokan garam lokal.


"Biasanya memang produksi lokal. Kalau barangnya ada sih memang pakai produksi garam lokal. (Jadi tidak ada stok?) Ya, pastinya. (Perusahaan itu disebut terkait dengan PT Garindo yang masuk daftar hitam impor garam?) Menurut laporan tim saya sudah mengecek. Ada izin usaha industrinya, ada peralatannya, ada gudangnya," ujar Sigit saat dihubungi KBR, Kamis (22/3).


Sigit membantah jika Kemenperin yang memberikan rekomendasi bagi PT Mitra Tunggal Swakarsa. Menurut dia, rekomendasi itu diberikan sebelum kewenangan rekomendasi dipindahtangankan ke kementeriannya.

PT Mitra Tunggal Swakarsa disebut-sebut hanya dijadikan "pintu masuk" bagi perusahaan lain yang sebelumnya telah masuk daftar hitam Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mitra Tunggal Swakarsa disebut masih terkait dengan PT Garindo, yang tahun lalu terlibat kasus kebocoran garam industri.


Sigit mengatakan sebelum diberi jatah impor, timnya sudah mengecek rekam jejak seluruh perusahaan. Total ada 27 perusahaan yang diberi rekomendasi impor garam. Dia mengklaim PT Mitra Tunggal Swakarsa sudah memenuhi seluruh persyaratan.


"Semua perizinan usaha dilimpahkan pada pemda dan BKPM. (Gudang Mitra Tunggal menggunakan gudang Garindo?) Saya tidak tahu itu."


Sebelumnya Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin, mempertanyakan masuknya industri pengasinan dalam daftar perusahaan yang mendapatkan izin impor garam. Menurutnyan pengasinan ikan tidak termasuk dalam kategori pengolahan karena hanya membantu proses pengawetan ikan tanpa mengubah garam menjadi produk lain.


“Kalau untuk industri itu harusnya mengolah garam menjadi barang lain, contohnya seperti Asahimas tadi JAP atau kertas. Nah kalau industri pengasinan ikan, saya ini mau ketawa kalau industri pengasinan ikan. Karena ikan ditangkap di laut, sampai ke darat cuma dibelek begitu dikasih garam, itu industri seperti apa. Jadi kalau menurut saya ini ada oknum di perindustrian yang mengada-ada kalau menurut saya,” ujar Jakfar saat dihubungi KBR, Kamis (22/03/2018).


Kecurigaan Jakfar tersebut mengarah pada adanya beberapa perusahaan industri yang baru berdiri namun langsung mendapat izin impor. Ia mencurigai bahwa sebenarnya industri baru tersebut didirikan hanya untuk memenuhi kebutuhan dari impor garam yang dilakukan oleh pemerintah. 


“Kepres 69 tahun 94 pengasinan ikan itu untuk keperluan konsumsi bukan industri, karena dikonsumsi langsung. Dalam pasal 1 itu mengatakan kalau pengasinan, pakan ternak semuanya konsumsi. Jadi PP ini sudah menabrak banyak aturan terutama undang-undang nomor 7 tahun 2016, tentang kewenangan rekomendasi seharusnya dari kementerian perikanan, dengan PP ini malah ke perindustrian, harusnya PP ini gugur, karena bertentangan dengan peraturan di atasnya.” Ujar Jakfar.


Selain mempermasalahkan adanya industri yang tidak sesuai dengan penerima impor, ia juga mempermasalahkan jumlah garam yang akan diimpor yang memunginkan adanya kebocoran garam, yang dapat mempengaruhi harga pasaran garam rakyat.

Jakfar mengatakan sepakat dengan adanya PP tersebut hanya saja, dibutuhkan pengawasan lebih serius dan ketat agar tidak terjadi kebocoran dan kecurangan yang dilakukan oleh pelaku industri.

“Sepakat saja asalkan peruntukannya jelas, terutama untuk industri karena memang kebutuhannya. Tapi dengan industri yang abal-abal itu, nah ini yang keberatan kebutuhannya tidak jelas, industrinya tidak jelas sampai-sampai pengasinan dijadikan industri. Itu yang akan mengganggu garam kami,” ujarnya.


Sementara itu, Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk mengatakan impor garam diperlukan sembari menunggu masa panen lokal. Dia mengklaim sejumlah industri, seperti pengasinan ikan, mulai menjerit karena kekurangan pasokan bahan baku.

Selain itu, menurut dia, kualitas garam lokal belum bisa memenuhi standar yang  diperlukan oleh industri.


"Tidak usah bicara NaCl 97 persen. (Mereka) 95 persen, bahkan kebanyakan di bawah 90 petani itu. Kandungan airnya masih banyak.  Kalau kita beli garam yang banyak airnya, efektivitasnya rendah karena kadar garamnya rendah," ujar Tony kepada KBR, Kamis( 22/3).


Menurut perhitungan AIPGI, kebutuhan garam industri tahun ini sebesar 3,7 juta ton. Angka itu berasal dari kebutuhan industri petrokimia, pulp dan kertas, farmasi dan kosmetik, tekstil dan resin, aneka pangan, pengeboran minyak, pangasinan ikan, pakan ternak, penyamakan kulit, sabun dan ditergen, serta industri lain.


Kendati keran impor dibuka, Tony memastikan para pelaku usaha tetap siap menyerap garam lokal. Impor awal sebesar 600 ribu ton menurut Tony diperlukan karena pasokan di tahun lalu kurang. 


"Itu memang sesuai kebutuhan. Industri ini jangan ditakar-takar. Urusan kebutuhan bahan baku, ya karena dia kan fleksibel, dinamis. Mereka lihat stok di gudang sudah menipis, dia tanya supplier. Tidak ada barang. Kan bikin orang tidak nyaman, tidak tenang."


Editor: Rony Sitanggang

  • impor garam

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!