HEADLINE

Revisi RUU Terorisme, Menteri Hukum Tolak Usulan Panglima TNI

Revisi RUU Terorisme, Menteri Hukum Tolak Usulan Panglima TNI

KBR, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly menyatakan tidak sepakat dengan usulan Panglima TNI Hadi Tjahjanto untuk membuat undang-undang baru tentang terorisme.

Menteri Hukum merupakan pemegang mandat Surat Presiden (Surpres) mewakili pemerintah untuk membahas revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan DPR. 

Ia menanggapi adanya surat dari Panglima TNI Hadi Tjahjanto tertanggal 8 Januari 2018, yang berisi tiga permintaan terkait pembahasan revisi UU antiterorisme. Tiga permintaan itu adalah usulan perubahan nama, dari "Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme" menjadi "Penanggulangan Aksi Terorisme". 

Yasonna mengatakan tidak mungkin Revisi Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diubah menjadi Undang-undang Penanggulangan Aksi Terorisme. 

Yasonna mengakui di kalangan pemerintah masih berbeda pendapat tentang peran TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

"Maka seharusnya antar-pemerintah sudah solid. Memang itu sudah dilaporkan ke saya. Sudah saya bilang itu tidak bisa. Karena ini revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sangat jelas. Tak mungkin kita revisi judul karena akan membuat baru. Jadi harus buat naskah akademik baru, akhirnya nanti revisi tidak jadi-jadi. Kalau mau ada perubahan ke depan ya silahkan," kata Yasonna di Komplek Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Baca juga:

Menurut Yasonna, pelibatan tentara dalam pemberantasan terorisme sebaiknya dikembalikan kepada Undang-undang TNI. Dalam Undang-undang TNI, tentara bisa terlibat dalam pemberantasan terorisme dengan keputusan Presiden.

"Saya bilang sama teman-teman, sudahlah, kita duduk manis saja. Kembalikan ke Undang-undang TNI. Saya sudah kasih arahan begitu," kata Yasonna.

Yasona mencontohkan Undang-undang Terorisme di Australia, Malaysia, dan Singapura. Ia mengatakan, meskipun isi undang-undang terorismenya sangat keras tapi tetap berbasis penegakan hukum. Di sana tentara dilibatkan dalam kondisi yang memang benar-benar dibutuhkan.

"Kemarin juga banyak komentar dari pegiat HAM, bahwa akhirnya nanti enggak selesai Undang-undang ini. Jadi saya sebagai pemegang Surpres berharap ini bisa kita selesaikan segera," ujarnya.

Surat Panglima TNI pada 8 Januari lalu ditujukan ke pimpinan DPR, Pansus Pembahasan RUU Terorisme di DPR, Menko Polhukam, Menteri Pertahanan dan Dirjen Peraturan Perundang-undangan di Kementerian Hukum dan HAM. Dalam surat itu, Panglima TNI juga meminta perluasan definisi terorisme serta tugas serta wewenang TNI dalam penanggulangan terorisme. 

Keinginan TNI untuk ikut terlibat dalam pemberantasan terorisme sudah diusulkan sejak Panglima TNI dijabat Gatot Nurmantyo. Menurut Gatot Nurmantyo, definisi terorisme saat ini masih membuat para pelaku teror tetap aman berdiam di Indonesia. 

"Saya tegaskan di sini, yang paling penting adalah definisi terorisme. Kalau definisi terorisme adalah kejahatan pidana, maka tidak akan ada perkembangan. Negara ini akan menjadi tempat paling aman bagi teroris. Karena setelah mereka melakukan teror, baru bisa ditindak," ujar Gatot di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (5/10/2016).

Keinginan Gatot Nurmantyo itu merujuk penanganan negara menghadapi teror seperti di negara-negara Timur Tengah. 

Baca juga:

Editor: Agus Luqman 

  • Revisi UU Terorisme
  • TNI terorisme
  • ruu terorisme
  • Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly
  • pelibatan TNI berantas terorisme

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!