GALERI

Memotret Mereka di Utara Jakarta

Memotret Mereka di Utara Jakarta


KBR, Jakarta – Jakarta bakal tenggelam! Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sempat memprediksi, Jakarta bakal tenggelam pada tahun 2030 mendatang. Faktanya, setiap tahun Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah antara 7,5 sampai 25 cm. Itu terjadi karena penggunaan air tanah secara berlebihan dan tidak dengan aturan yang ketat.

Warga di Utara Jakarta selama ini dilindungi oleh dinding batu, satu-satunya lapisan pelindung yang membentengi rumah-rumah di Muara Baru dari air Teluk Jakarta. Air masuk lewat tembok tanggul setiap saat. 

Lewat serangkaian foto, fotografer dokumenter asal Belanda Cynthia Boll berkampanye soal pentingnya melindungi Jakarta dari banjir. Pameran ini diberi judul “Utarakan Jakarta: The People Behind the Seawall”. “Utarakan Jakarta” menggambarkan kehidupan empat penduduk yang tinggal di sana, menangkap aneka perjuangan yang harus mereka lakukan sehari-hari. 

Pameran foto ini bisa disimak di Gedung Van Vleuten & Cox, Jl Kali Besar Timur III, Kota Tua Jakarta, sampai 5 Desember 2016 mendatang. Reporter Asrul Dwi berkesempatan berbincang dengan Cynthia Boll soal proyek yang dikerjakannya. 


Latar belakang Anda mirip dengan orang-orang di utara Jakarta, yang tinggal di belakang tanggul laut. Bagaimana Anda menentukan sudut pandang untuk proyek ini?

Belanda memang punya sejarah yang mirip dengan Jakarta. Dataran di Belanda berada di bawah permukaan laut. Belanda sempat mengalami bencana pada tahun 1953, setelah itu pemerintah mengambil langkah untuk melindungi dataran di Belanda. 

Pertama kali ketika saya dengar tentang Jakarta, saya pikir penyebab air laut masuk ke dataran adalah perubahan iklim. Tapi setelah saya berbicara dengan para peneliti, saya jadi mengerti bahwa penyeban tenggelamnya dataran bukan karena perubahan iklim melaikan penurunan muka tanah. Itu adalah awal dari proyek (fotografi) ini.

Pertama kali bersinggungan dengan isu ini, saya melihat sebuah tayangan televisi. Ketika itu ada seorang insinyur berbicara mengenai tanggal laut raksasa. Kemudian, saya jadi bertanya, kenapa harus membangun tanggul laut raksasa? Apa yang terjadi?

Pertanyaan-pertanyaan itu yang mendorong saya untuk mengerjakan proyek ini. Tapi kenapa saya memberi judul proyek ini The People Behind The Seawall  (Orang-orang di Balik Tanggul Laut)? Saya banyak dapat pertanyaan itu. Penggunaan Seawall (tanggul laut), merujuk pada tanggul yang sudah ada, bukan rencana pembangunan tanggul raksasa yang sedang banyak dibicarakan orang. 

Bagaimana Anda menerjemahkan ide itu ke dalam proyek ini?

Biasanya saya memilih untuk bekerja dalam perspektif orang-orang. Maka dari itu saya mengikuti keseharian orang yang berbeda-beda agar bisa memahami seperti apa kehidupan orang-orang yang tinggal di dataran yang mulai tenggelam. 

Ada anak perempuan yang masih sekolah, sebagai simbol masa depan. Dia tinggal di Pasar Ikan yang dulunya bagunan kolonial. Jadi ada keterkaitan dengan sejarah. Selaia itu, daerah itu juga mengalami penurunan tanah dan bajir. 

Ada juga nelayan, mereka terdampak langsung oleh permasalahan di Jakarta seperti pencemaran air juga penurunan tanah. Mau tidak mau, dia harus beradaptasi seperti meninggikan rumah. Semantara untuk ibu penjual jamu (Sumini) yang tinggal di Muara Baru, ada banyak persoalan yang dia hadapi juga lantaran penurunan tanah. (Proyek) ini tidak hanya melulu soal penurunan muka tanah dan air, tapi ini menyangkut keseharian mereka. Saya menceritakannya melalui sudut pandang mereka. Ini juga tentang harapan dan mimpi mereka.

Selain foto, Anda juga menyisipkan teks dalam pameran tentang keseharian karakter yang ada di dalam foto. Kenapa Anda merasa perlu teks dalam pameran ini?

Proyek ini tidak hanya sekadar mengenai foto, tapi juga orang-orang yang terlibat di dalam pengerjaannya. Saya pikir teks dapat memberi bobot lebih serta lapisan lain. Kadang Anda butuh lebih dari sekadar foto untuk menjelaskan tujuan proyek Anda. 

Bagaimana Anda menyeimbangkan antara cerita soal keseharian mereka dengan isu penting yang disampaikan lewat foto-foto ini? 

Saya pikir, urgensi itu tidak perlu ditampilan dalam setiap foto. Tapi saya pikir, tanggul laut dan fakta-fakta dari para peneliti sudah ada dalam untuk topik ini. Jadi urgensi itu sudah ada dan relevan. 

Dengan berada di sana saya bisa menyelami kehidupan mereka. Biasanya saya datang pagi buta, bersama mereka hingga lewat malam. Saya banyak menghabiskan waktu bersama mereka.

Bagaimana cara foto-foto ini diseleksi? 

Ada ribuan foto. Jadi saya bekerja bersama editor untuk menyeleksi. Selain itu, akan sulit memilih foto mana yang dipamerkan karena saya punya kedekatan emosional dengan setiap foto yang saya bidik. Jadi editor yang memilih karena dia lebih objektif dalam memilih foto mana yang tepat untuk proyek ini.

Enam bulan lalu, Anda sudah memamerkan proyek ini. Respon seperti apa yang Anda dapat dari pengunjung waktu itu?

Ada banyak macam, saya terkejut karena ternyata banyak orang yang belum tahu mengenai isu ini. Ada juga yang positif.

Selain dipamerkan di Jakarta, ada rencana lain yang dirancang untuk proyek ini?

Tahun 2019, akan ada Land Subsidence Conference yang diselenggarakan UNESCO. Saya berencana menggunakan momen itu untuk mempublikasikan karya ini bersama dengan seri lainnya yang akan saya kerjakan setelah Jakarta. Saya berencana untuk mendokumentasikan kota-kota lain di dunia yang menghadapi persoalan yang sama dengan Jakarta. (cit) 

  • utarakan jakarta
  • cynthia boll
  • banjir
  • seawall
  • Fotografi
  • dokumenter

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!