DARI POJOK MENTENG

[Advertorial] AADC 2 Melejitkan Keraton Ratu Boko sebagai Pendatang Baru Destinasi Wisata

[Advertorial] AADC 2 Melejitkan Keraton Ratu Boko sebagai Pendatang Baru Destinasi Wisata

Di antara puing-puing batu reruntuhan Keraton Boko, Rangga dan Cinta berkencan setelah puluhan purnama tak berjumpa. Kala menuruni tangga menuju lokasi pemandian putri, Rangga sigap menangkap tangan Cinta – kalau-kalau perempuan itu terjatuh.

Dari total durasi 1 jam 42 menit film sekuel Ada Apa Dengan Cinta, pasangan itu hanya disana setidaknya 3 menit. Namun agaknya tiga menit itu layak digelari "The Golden Three Minute". Sepenggal adegan film besutan Mira Lesmana dan Riri Riza itu berhasil melejitkan Keraton Ratu Boko sebagai pendatang baru destinasi wisata Yogyakarta.

Keraton yang berada di kompleks Candi Prambanan ini usianya sudah ratusan tahun. Bahkan jauh lebih tua dari Candi Jonggrang yang terletak 3 kilometer ke sebelah utara.

red


Jika sebelumnya wisatawan hanya berhenti di Candi Jonggrang, kini Keraton Ratu Boko mulai digemari. Dewi – pemandu saya, mengatakan banyak orang minta ditunjukan tempat bersejarah yang jadi tujuan pertama kencan dua sejoli itu.

“Disini ini syutingnya. Waktu Rangga nanya apa gitu ke Cinta, saya lupa kalimat persisnya,”ujarnya sembari menunjuk bekas pemandian putri yang terletak di bawah kami.


Dewi mengatakan film sekuel AADC kemarin telah menjadi berkah tersendiri bagi Keraton Ratu Boko. Kini kawasan itu ramai oleh muda-mudi dan anak-anak sekolah. Mereka banyak berfoto di area bekas pemandian dan pendopo di atasnya.

Tapi sayang, keluhnya, sampai sekarang kebanyakan kunjungan itu masih sebatas ingin napak tilas sejarah kencan Cinta dan Rangga. Belum banyak yang mau mendalami, ribuan tahun silam, Keraton ini dibangun dan dimiliki oleh seorang raja raksasa yang kisahnya juga erat dengan Candi Jonggrang.


Sisa Kekuasaan Bangsa Raksasa

“Keraton Ratu Boko,” begitu tulisan yang terpampang besar di sisi pintu masuk keraton.


“Ini dulunya keraton?” tanya saya.


Menurut Dewi, istana ini dibangun pada abad ke-8M. Dulunya dikuasai Prabu Boko, seorang raja bangsa raksasa yang sangat berkuasa. Saya sempat mengernyitkan dahi ketika Dewi menyebut Prabu Boko sebagai raksasa. Pemandu saya itu agaknya menangkap kesangsian itu. Ia lantas mengajak saya ke gerbang yang dikatakan menjadi pintu masuk area istana.

red

Dua buah gapura menyambut saya. Dewi menunjuk itu sebagai pintu masuk ke kawasan keraton. Saya mendongakan kepala, menatap undakan tangga, kemudian pintu gerbang utama. Tingginya di atas rata-rata.

Keraton itu bentuknya kini memang sudah berupa puing-puing batu hitam. Semua bangunan tidal lago berdinding, hanya tersisa pondasinya. Tapi gerbang utama ini masih utuh berbentuk, tingginya kira-kira 5 meter.


Dewi menjelaskan, keraton ini terdiri dari beberapa bagian. Tempat kremasi, pendopo, dua paseban yang bersisian, pemandian, gua semedi, hingga ruang utama. Keseluruhan area ini terletak di lahan seluas 250.000 hektare. Bentuk bangunan ini berundak-undak. Dewi mengatakan semua itu dibangun tanpa bahan perekat, hanya menggunakan teknik knock down.


Dulu, ada dua kerajaan besar yang berkuasa di kawasan sekitar Prambanan. Kerajaan Pengging yang memiliki putra mahkota bernama Bandung Bandawasa dan Kerajaan Boko yang dipimpin oleh Prabu Boko. Prabu Boko, berdasarkan cerita yang diteruskan turun-temurun, adalah seorang raja yang kejam dan suka memakan daging manusia. Ia berkuasa hingga akhirnya dibunuh oleh Bandung Bandawasa. Bandung Bandawasa inilah yang kemudian berjanji membuatkan seribu candi dalam semalam demi mempersunting puteri tercantik Prabu Boko, Rara Jonggrang.


Ketika memasuki gerbang utama, satu area yang paling menarik perhatian saya adalah area kremasi. Area ini juga dibuat berundak dengan luas 22x22 meter. Tingginya sekitar 3-3,5 meter. Di atasnya, masih terdapat ceruk besar tempat kremasi dilakukan. Tak ada catatan jelas, namun berdasarkan analisis terhadap kebiasaan masyarakat zaman dulu, kata Dewi, diduga kuat Prabu Boko juga dikremasikan disitu.


Tidak jauh dari situ, ada sebuah sumur yang airnya masih dimanfaatkan oleh masyarakat Hindu menyucikan diri pada saat Tawur Agung, sehari sebelum hari raya Nyepi.


Saya menyusuri jalan yang dibuat untuk mempermudah wisatawan menjelajahi area istana. Di kanan dan kiri, ada banyak batu-batu berbentuk bulat dengan ujung lancip berserakan. Ditumpuk di beberapa tempat. Dewi mengatakan para ahli memperkirakan itu adalah ornamen di atas gerbang.


Di area lain, ada dua gua yang biasa digunakan untuk bersemedi. Di Keraton Ratu Boko ini, terdapat Gua Lanang dan Gua Wadon. Dari penuturan Dewi saya tahu bahwa pada saat itu tempat semedi laki-laki dan perempuan dipisahkan.


Masuk lebih ke dalam, ada kolam pemandian, dua paseban -barat dan timur, serta pendopo. Ketika kami sampai di pendopo yang diperkirakan tempat Prabu Boko menerima tamunya, Dewi menunjukkan titik yang diperkirakan sebagai tempat singgasana raja ketika itu. Kini, pendopo itu tinggal menyisakan alas bangunan tanpa tiang maupun atapnya.


Dewi tak yakin jika area yang tampak ini sudah merupakan seluruh area istana ketika itu. Pasalnya hingga kini tidak jelas dimana tempat Prabu Boko, isteri, dan anaknya Rara Jonggrang tinggal.


Sejauh ini, sedikit sekali naskah kuno ataupun prasasti yang menjelaskan soal keraton ini. Pun soal fungsi dari masing-masing reruntuhannya, semua direka ulang dengan perkiraan struktur istana keraton Jawa pada umumnya. Dewi mengatakan sulit bagi para ahli untuk membuat gambaran utuh soal keraton ini.


“Semua sudah rata dan hancur. Yang tersisa Cuma puing-puing, itu direka ulang, dicari kira-kira oh ini bentuknya seperti ini, begitu. Lihat kan? Kayak paseban itu. Yang tersisa cuma lantainya saja. Tapi batu-batu di situ itu, diperkirakan itu tiang-tiang penyangganya dulu.


AADC Effect

Pasca dijadikan lokasi syuting, istana yang dulu beristirahat dalam ketenangan ini mulai menggeliat. Namanya bahkan masuk dalam paket wisata khusus napak tilas film AADC 2.


“Iya Mbak. Ada loh travel agent yang menawarkan paket khusus itu. Kesini ini salah satunya.”


Jika dulu keraton ini lebih banyak dikunjungi wisatawan asing yagn tertarik dengan sejarah dan misterinya, kini ketika saya berkunjung, muka-muka wisatawan lokal justru mendominasi.  Dewi mengakui sebagian besar ketenaran itu karena didongkrak popularitas film Ada Apa Dengan Cinta.


Para pencari sejarah AADC ini ternyata bukan hanya berasal dari Indonesia. Suatu kali, ujar Dewi, ada wisatawan-wisatawan dari Malaysia dan Singapura yang juga minta dibawa ke Keraton Ratu Boko ini.


“Mereka bilang, “Antar saya ke tempat yang Rangga dan Cinta mengobrol itu. Mereka mau tahu dimana lokasinya.”


Popularitas ini pun sudah saya buktikan. Ketika saya berkunjung, wajah-wajah lokal mendominasi. Tua, muda, rombongan, maupun keluarga.  Apalagi menjelang sore, pengunjung justru semakin banyak.


Menyingkirkan stigma bahwa sunset terindah biasa dicari di pantai, di Yogyakarta, sunset terindah disebut-sebut bisa ditemukan di antara reruntuhan istana ini. Di situ, kita bisa melihat langit perlahan berubah jadi jingga, matahari turun perlahan, dilatarbelakangi reruntuhan sisa kejayaan kerajaan yang katanya ditempati oleh para raksasa.

red


Sebelum meninggalkan tempat ini, di atas pendopo, saya menyempatkan diri memandang jauh 360 derajat, mengitari seluruh kawasan keraton. Saya membayangkan ratusan tahun lalu para raksasa berkumpul di sini, menjalankan pemerintahan.

Lalu mata saya tertumbuk pada pintu masuk dari area paseban ke pendopo. Tingginya kisaran maksimal 2 meter saja. Pikiran saya terusik, bertanya-tanya, jika Prabu Boko adalah raksasa, bagaimana dia masuk dari luar pendopo melalui pintu yang tingginya tak sampai setengah dari tinggi pintu di gerbang utama? Mungkin kalau batu-batu hitam itu bisa bicara, mereka akan bersaksi atas sejarah yang disaksikannya.

Author: Paul M Nuh 

  • kemenpar

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!