DARI POJOK MENTENG

Menulis untuk Telinga (2)

Menulis untuk Telinga (2)
Buku Menulis untuk Telinga, Mervin Block, penerbit KBR68H dan MDLF, penyunting Bambang Bujono, jurnalisme penyiaran

I. Sembilan Belas Kesalahan Besar


Daftar 19 “jangan” tidak disusun berdasarkan derajat kesalahannya— yang pertama tak berarti kesalahan yang lebih berat atau lebih ringan daripada yang kemudian. Yang perlu diingat, naskah Anda akan merana dan terlupakan akibat kesalahan Anda.


1. Jangan memulai tulisan dengan kata-kata “seperti diharapkan” atau “seperti diperkirakan” dan sejenisnya.


Membuka berita dengan kalimat yang mengandung “seperti diharapkan” atau “seperti diperkirakan” hanya akan menimbulkan pertanyaan “Siapa yang mengharapkan atau memperkirakan?” Kalimat pembuka seperti itu menimbulkan keraguan pada pendengar. Berita disiarkan karena memang mengandung informasi baru atau perkembangan baru dari berita yang masih berkembang; karena itu dengan sendirinya berita tersebut tidak diharapkan, atau tidak diperkirakan.


"Seperti diperkirakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempertahankan Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI meski DPR sudah menyetujui pengunduran diri Jenderal itu."


Seperti diperkirakan oleh siapa? Tidak semua pendengar Anda memperkirakan demikian. Jenderal Endriartono mengundurkan diri dekat sebelum Bambang Yudhoyono memenangkan pemilihan presiden. Jenderal penggantinya, yang dipilih oleh Presiden Megawati Sukarnoputri yang masih aktif waktu itu, sudah disetujui oleh DPR tapi belum sempat dilantik karena keburu terpilih presiden baru. Jadi siapa memperkirakan Jenderal Endriartono diangkat kembali? Mungkin satu-dua analis politik dan militer memperkirakan begitu, tapi mereka tidak

mewakili pendapat umum. Dengan mencantumkan “seperti diperkirakan”, seolah-olah hal itu sudah menjadi pendapat umum. Seandainya masyarakat pada umumnya sudah memperkirakakan hal itu, masalah berpindah dari soal kalimat ke kriteria berita: kalau memang sudah diketahui umum, kenapa pula diberitakan? Bukankah berita ini basi?


Ada beberapa versi “seperti diperkirakan” atau “seperti diharapkan”. Antara lain, “Bukan hal yang tidak terduga kalau akhirnya ia menang ...”, dan “Setelah lama menunggu akhirnya pegawai honorer itu diangkat juga…”. Sebagai kalimat awal sebuah berita “seperti yang diharapkan” dan sejenisnya membuat pendengar tak langsung menangkap informasi yang penting: “ia menang” dan “pegawai itu diangkat”.


Namun dalam berita tertentu “seperti diharapkan” atau “seperti diperkirakan” bisa dipakai. Yakni bila yang “mengharapkan” itu jelas disebutkan. Misalnya, “Seperti diperkirakan oleh pelatih kita, tim Thomas Cup Indonesia bertemu dengan tim Cina di babak final, dan kalah.” Tapi perlu dicatat, tekanan berita ini bukan pada kekalahan tim Indonesia, melainkan pada prediksi pelatih. Anda membuat pendengar menunggu informasi lebih lanjut tentang kenapa pelatih tersebut punya prediksi seperti itu. Tapi bila ternyata isi berita adalah soal kekalahan

Indonesia, sebaiknya “Seperti diperkirakan oleh pelatih kita” dihilangkan saja.



2. Jangan memulai suatu berita dengan Secara mengejutkan”.


Terdengar dari radio pada suatu hari berita ini:


- Secara mengejutkan Jakarta membatalkan rencana pembelian helikopter dari Rusia.

- Perkembangan yang mencengangkan terjadi pada kasus pencemaran lingkungan di Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara.


Sebagaimana dalam hal “seperti diperkirakan”, dua kalimat ini langsung mengundang pertanyaan: yang mengejutkan itu yang seperti apa? Mana pula perkembangan yang mencengangkan dalam kasus Buyat?


Biasanya “secara mengejutkan” dan sejenisnya digunakan oleh wartawan untuk menyatakan bahwa berita yang ditulisnya ini penting. Masalahnya, kalimat tersebut tidak atau belum memberikan cukup informasi bahwa memang ada yang mengejutkan atau mencengangkan. Anda akan lebih membuat pendengar tertarik bila kalimat awal langsung menceritakan yang mengejutkan atau mencengangkan itu tanpa memakai kata “mengejutkan” dan “mencengangkan”.


Memang, biasanya pada kalimat kedua dan seterusnya diceritakanlah hal yang mengejutkan itu. Tapi untuk apa menunda informasi yang penting tersebut dengan kalimat yang bisa dihilangkan tanpa mengurangi isi berita? Langsung menceritakan yang penting akan lebih memperkuat tulisan Anda.


3. Jangan memulai cerita dengan mengatakan seseorang “membuat berita,” atau “diberitakan,” atau “mendominasi berita.”


Sering kita dengar berita seperti ini:


- Gus Dur kembali membuat berita.

- Gajah-gajah liar di Lampung diberitakan menerobos ladang ...

- Bencana tsunami mendominasi berita selama sebulan terakhir ini.


Subyek yang disebutkan dalam suatu warta berita tentulah “pembuat” berita. Jadi penulis yang mengatakan bahwa seseorang atau sesuatu “membuat berita,” hanya membuang-buang waktu — bagi penulis itu sendiri dan pendengar. Lebih dari itu pemakaian kata-kata tersebut mengurangi kekuatan beritanya sendiri karena kalimat tersebut mengesankan yang dibacakan oleh penyiar bukan berita, melainkan berita tentang berita. Lebih ringkas dan tajam bila penulis langsung menceritakan apa yang dilakukan Gus Dur, kenapa gajah-gajah masuk ladang,

dan apa saja yang terjadi sesudah bencana tsunami?


Bentuk lain dari “membuat berita” ini misalnya, “Hari ini pemain badminton itu membuat sejarah”. Berita tentang seorang atlet yang menjadi juara dunia merupakan peristiwa yang berharga diberitakan. Jadi peristiwanya itu sendirilah yang perlu langsung diceritakan, bukannya komentar kita bahwa atlet itu membuat sejarah. Pendengar radio perlu berita yang ringkas, tajam, dan langsung.


Tidakkah yang layak berita itu yang “tidak biasa”? Ingat soal anjing menggigit orang (ini biasa) dan orang menggigit anjing (ini tidak biasa).


4. Jangan memulai cerita dengan mengatakan, “Suatu

perkembangan baru terjadi tadi malam.”


Setiap berita diharapkan baru, berdasarkan perkembangan terakhir. Beberapa penulis mencoba lebih meyakinkan soal “berita baru” itu dengan mengatakan, “Suatu perkembangan baru yang penting malam ini …” Atau, “Kisah yang akan Anda dengar berikut ini cerita baru”. Penulis lain mengawali beritanya dengan “Berita utama kami malam ini adalah …”


Baru atau tak baru, utama atau bukan biarlah pendengar yang menilai. Beritakan saja peristiwanya; bila itu peristiwa baru, ya baru; bila itu berita pertama, ya utama. Bila ternyata berita yang Anda sampaikan tidak mengandung hal baru, perlu ditinjau kembali kriteria peliputan dan layak berita di radio Anda.


5. Jangan menyebutkan bahwa sebuah berita sebagai berita “baik,” atau “buruk,” “menarik,” atau “yang mengganggu.”


Sebuah siaran radio tak mungkin memuaskan seluruh pendengar. Yang baik bagi sebagian orang, mungkin buruk bagi sebagian yang lain. Yang dianggap baik bagi orang kota mungkin buruk bagi warga dusun. Lagi pula yang baik pada awalnya bisa buruk di akhirnya. “Ini berita baik, Bank Indonesia berhasil menaikkan kurs rupiah terhadap dolar Amerika,” kata sebuah radio. Benarkah semua orang menilai begitu? Bagi pedagang sayur dan hasil laut dari Medan yang menjual dagangannya di Singapura, ini berita buruk: pendapatan mereka dalam rupiah

menurun.


Lebih baik langsung saja beritakan peristiwa atau masalahnya, tanpa menilai baik-buruknya di awal berita. Tugas Anda bukan menulis resensi tentang berita. Kalau itu yang dilakukan, sama saja Anda menyajikan berita basi: yang aktual bukan beritanya, melainkan resensinya.


Tentu, ada perkecualian, bila penyebutan baik atau buruk itu baik atau buruk untuk pihak yang pasti. Misalnya, “Hari ini Gubernur Jakarta mempunyai berita baik untuk karyawan gubernuran -- gaji mereka dinaikkan; dan berita buruk bagi pedagang kakilima -- mereka tak dibolehkan berdagang di trotoar jalan mana pun.” Masih dalam lingkup baik dan buruk ini adalah kalimat berita yang menyebutkan sebuah berita sebagai “tidak biasa.”


6. Jangan memulai berita dengan anak kalimat, jangan membuat kalimat beranak-cucu.


Anak kalimat membuat kalimat lebih panjang, dan membuat pendengar harus lebih mencermatinya untuk memahaminya. Pada umumnya pendengar mendengarkan radio sambil mengerjakan hal-hal lain. Begitu kalimat berita itu “meminta” pendengar untuk lebih berpikir karena kalimat itu susah ditangkap sambil lalu, pendengar akan mengabaikan berita itu. 


Selain itu, kalimat yang diawali oleh anak kalimat lebih berpeluang salah. Misalnya kalimat berita yang terdengar di suatu hari ini:


Saudara, bila kita memandang Jakarta saat ini, bayangan kota metropolitan yang berudara bersih, masih teramat jauh dari batasan

ideal.


Kalimat ini membingungkan: kota berudara bersih dikatakan masih teramat jauh dari batasan ideal. Baru dari transkripsi beritanya (yang memungkinkan kita membaca ulang kalimat ini) kita bisa memilah-milah bahwa “kota metropolitan yang berudara bersih” sebenarnya anak kalimat keterangan untuk “batasan ideal” itu. Jadi, kenapa tak berpedoman pada kalimat tunggal seperti ini:


Saudara, Jakarta saat ini masih teramat jauh dari batasan kota metropolitan yang ideal.


Untuk membuat kalimat berita yang jelas dan tidak kabur, gunakan susunan kalimat dasar: subyek-predikat–obyek. Susunan ini memudahkan pendengar memahami berita Anda. Jika Anda meletakkan anak kalimat setelah subyek, Anda memisahkan subyek dan predikat; semakin jauh jarak subyek dari predikat, pendengar semakin sulit mengingat subyeknya, sementara itu penyiar terus menyampaikan kalimat demi kalimat. Pendengar akan mengikhlaskan berita “sulit” tersebut. Apalagi bila Anda membuat kalimat beranak-cucu, kalimat seperti itu makin berpotensi membingungkan, bahkan pendengar bisa salah menangkap maksud Anda.


Pengakuan ini disampaikan Ayu F. Shahab, pengacara bekas menteri agama Said Agil Husein Al Munawar, yang menjadi tersangka

dalam kasus korupsi Dana Abadi Umat.


Siapa yang menjadi tersangka? Menurut kalimat itu bisa Ayu Shahab, bisa Said Agil. Ini membingungkan. Membaca kalimat pembuka ini, mestinya berita yang disampaikan tentang pengakuan sang pengacara. Karena itu keterangan tentang Said Agil Husein adalah tersangka dalam kasus ini, sebaiknya dicantumkan belakangan saja. Namun bila isi berita tentang Said Agil Husein sebagai tersangka, “pengakuan sang pengacara” yang sebaiknya ditaruh di belakang.


Jadi, para penulislah yang seharusnya memikul beban itu: menyusun kalimat sederhana agar pendengar mudah dan tidak keliru memahami informasi yang disampaikan. Jangan memindahkan beban itu kepada pendengar—yang tak punya kesempatan mengingat-ingat kata-kata yang terdahulu, atau menanyakan ke studio apa sebenarnya maksud penulisnya. Pikirkanlah pendengar selagi menulis, dan menulislah untuk mereka.


7. Jangan memulai cerita dengan suatu kutipan.


Pendengar tidak dapat melihat tanda petik. Mereka tidak bisa melihat naskah Anda. Karena itu bila penyiar memulai dengan suatu kutipan, pendengar segera mengasumsikan kata-kata tersebut ucapan pembaca berita itu sendiri atau penulis beritanya. Bila memang diperlukan kutipan karena suatu alasan —kutipan itu merupakan pendapat yang kontroversial, misalnya— cara terbaik agar pendengar tak salah tangkap ialah dengan menyebutkan sumbernya terlebih dahulu.


Misalkan berita yang diawali kutipan ini:


“Demi kesejahteraan yang adil, manajemen penggajian di organisasi militer mesti diubah, agar kesejahteraan prajurit dan jenderal masuk akal.” Itulah pendapat seorang ekonom dalam diskusi di lembaga penelitian sipil semalam.”


Mula-mula pendengar mungkin mengira ini sebuah editorial alias sikap redaksi radio tersebut mengenai kesenjangan gaji di militer. Baru setelah beberapa kalimat, pendengar mafhum, ini berita tentang sebuah diskusi penting. Lalu apa soalnya? Tidak ada; tapi coba bandingkan bila berita itu ditulis seperti ini:


Seorang ekonom, dalam sebuah diskusi di lembaga penelitian sipil semalam mengatakan, manajemen penggajian di organisasi

militer mesti diubah. Itu demi rasa keadilan, agar perbandingan kesejahteraan antara prajurit dan jenderal masuk akal, katanya.


Berita kedua lebih jelas dan mudah ditangkap oleh pendengar karena sesuai dengan cara kita bercakap-cakap sehari-hari. Kita mengatakan, “Pak RT meminta warga untuk sekali sepekan menguras bak mandi untuk mencegah nyamuk demam berdarah berkembang biak.” Terasa janggal ucapan yang begini dalam sebuah percakapan: “Untuk mencegah nyamuk demam berdarah berkembang biak, ‘kuraslah bak mandi sekali sepekan’. Begitulah Pak RT meminta warganya.”


Mengawali berita dengan kutipan tak menjadi masalah bila disebutkan sumbernya terlebih dahulu. Namun bila Anda mementingkan

pendengar (dan untuk apa berita ditulis bila bukan untuk pendengar), buang jauh-jauh gagasan menggunakan kutipan di awal berita.


8. Jangan memulai cerita dengan “Inilah ....”, “Adalah ...”, atau “Ada”.


Kata-kata tersebut seringkali tak berguna, dan melemahkan kalimat. Kekuatan kalimat terutama terletak pada kata kerja aksi. Kalimat memperoleh kelincahan dan semangatnya dari kata kerja aksi seperti “tembak” atau “pukul” atau “ledak” atau ratusan kata lainnya yang mengekspresikan aksi. Memang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “adalah” dan “ada” tergolong kata kerja, namun bukan kata kerja aksi. Kata-kata ini lebih sebagai kata kerja penghubung, bersifat pasif, dan seringkali bisa dihilangkan tanpa mengubah arti kalimat.


Adalah kemarin batas akhir amnesti bagi para TKI, Tenaga Kerja Indonesia, tak berdokumen yang berada di Malaysia.


Ada sekitar 71 rumah, mereka tertimbun sekitar 2,5 juta ton sampah dengan ketinggian 20 meter yang terjadi pada pukul 2 dini hari kemarin.


Terasa lebih kuat bila kalimat tersebut tanpa “adalah”: “Kemarin batas akhir amnesti bagi TKI ...” Demikian juga dengan menghilangkan “ada” dalam kalimat kedua, kalimat ini jadi lebih kuat (catatan: tentu saja kalimat kedua ini perlu disunting: kata ganti “mereka” bukan untuk benda, jadi hilangkan saja; angka 71 lebih baik dibulatkan menjadi 70, dan perlu segera diinformasikan lokasi peristiwa). “Sekitar 70 rumah tertimbun

kira-kira 2,5 juta ton sampah setinggi 20-an meter. Ini terjadi di sebuah desa di Kabupaten Bandung pada pukul 2 dini hari kemarin.”


9. Jangan memulai cerita dengan menyebutkan nama orang yang bukan nama besar atau nama tidak populer.


Nama membuat berita, tapi bila itu nama besar yang dikenal. Seseorang tak dikenal menjadi berita biasanya karena peristiwa yang melibatkan orang itu merupakan peristiwa penting. Berita tanpa nama besar sebaiknya dimulai dengan peristiwa yang penting itu, penyebutan nama boleh kemudian. Mendahulukan nama yang tak dikenal dalam sebuah berita tragis mengurangi ketragisan beritanya.


Peristiwa seorang siswa SD yang menggantung diri karena keluarganya tak mampu membiayai sekolahnya di negara yang menerapkan wajib belajar, sangat layak berita. Tragedi ini jarang, dan nilai misi beritanya besar. Biarpun begitu, sebaiknya penyebutan nama siswa ini bukan di pembukaan agar ketragisan itu lebih kuat tersampaikan.


Bahkan nama besar pun kadang masih perlu ditopang dengan atribut yang berkaitan dengan kebesaran namanya agar meyakinkan. Misalnya, Bekas Ketua MPR Amien Rais, Pelukis Affandi, Ekonom Kwik Kian Gie, dan sebagainya. Dengan demikian awal berita lebih jelas, menghindari pendengar bertanya-tanya: Amien Rais yang mana, Affandi yang mana?


Perlu pula diingat, biarpun berita Anda menyangkut nama besar, nama ini tak perlu diulang-ulang sepanjang berita. Buatlah pendengar memusatkan perhatian pada beritanya.


Selanjutnya 10. Jangan memulai cerita dengan kata ganti orang.

Baca juga:

Menulis untuk Telinga 1 

Menulis untuk Telinga 2 

Menulis untuk Telinga 3

Menulis untuk Telinga 4

Menulis untuk Telinga 5 

Menulis untuk Telinga 6 

Menulis untuk Telinga 7 

Menulis untuk Telinga 8 

Menulis untuk Telinga 9 

Menulis untuk Telinga 10 

Menulis untuk Telinga 11 

Menulis untuk Telinga 12  

  • Buku Menulis untuk Telinga
  • Mervin Block
  • penerbit KBR68H dan MDLF
  • penyunting Bambang Bujono
  • jurnalisme penyiaran
  • menulisuntuktelinga

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!