HEADLINE

Kritik Dianggap Penghinaan, Koalisi Sipil Desak Megawati 'Didik' Kembali Kader PDIP

Kritik Dianggap Penghinaan, Koalisi Sipil Desak Megawati 'Didik' Kembali Kader PDIP

KBR, Jakarta - Koalisi lembaga masyarakat sipil mendesak Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri supaya menghentikan tindakan kader partainya memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Desakan itu disampaikan sejumlah lembaga masyarakat, yaitu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, LBH Bandung, Imparsial, Kontras, Amnesti International Indonesia, WALHI, Muhammadiyah, HRWG, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan lembaga SAFEnet Indonesia.


Pernyataan sikap bersama itu dipicu sikap kader PDI Perjuangan yang mengatasnamakan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur yang melaporkan aktivis dan jurnalis Dandhy Dwi Laksono ke polisi. Dandhy dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap Megawati Soekarnoputri.


Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan pelaporan kader PDIP terhadap Dandhy itu bertentangan dengan klaim semangat PDIP yang selama ini mereka dengungkan di masyarakat.


"Sebenarnya yang melaporkan ini Repdem, bukan Megawati. Jadi kami masih berbaik sangka bahwa hal ini tidak diperintahkan oleh Megawati. Karena kalau diperintahkan Mega harusnya ada surat kuasa. Jadi kami meminta kepada beliau untuk memberikan arahan kepada kader partainya untuk menghentikan tindakan-tindakan seperti ini karena tidak sesuai spirit Partai PDIP," kata Asfinawati di Kantor YLBHI, Jakarta, Jumat (8/9/2017).


Sejumlah kader PDI Perjuangan mempersoalkan tulisan Dandhy Dwi Laksono di media sosial, karena dianggap menyamakan Megawati Soekarnoputri dengan tokoh Myanmar Aung San Suu Kyi.


Asfinawati mengatakan, apa yang ditulis Dandhy merupakan bentuk kritik yang dijamin konstitusi. Menurutnya, demokrasi tidak bisa didirikan di atas pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi.


"Kami mau menyapaikan bahwa laporan kepada Dandhy, dan juga laporan serupa yang menimpa banyak orang merupakan tindakan yang bertentangan dengan semangat demokrasi," kata Asfinawati.


Selain itu, kata Asfi, penghinaan merupakan terminologi untuk wilayah privat. Sedangkan pejabat publik, ketua partai, dan pemerintah harus siap menerima kritik sebagai bentuk masukan dari masyarakat.


"Apa yang dilakukan Dandhy merupakan upaya memperbaiki negara. Itu merupakan kritik yang seharusnya tidak dianggap sebagai penghinaan," kata Asfi.


Koalisi masyarakat sipil memberikan dukungan kepada seluruh warga negara, termasuk Dandhy Dwi Laksono, untuk tidak ragu merawat demokrasi dengan tetap bersuara kritis. Asfi mengatakan hak konstitusional warga negara untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat harus tetap digunakan.


Koalisi juga mendesak Presiden Joko Widodo segera mencabut pasal karet yang sering disalahgunakan. Diantara pasal karet itu adalah Pasal 27 ayat (3), pasal 28 ayat (2) dan pasal 22 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.


"Kami juga mendesak Kepolisian dan Kejaksaan agar menghentikan kasus terkait aktivis yang dijerat menggunakan Undang-undang ITE," ujar Asfi.


Baca juga:


Polri sudah sesuai petunjuk

Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) mengklaim sudah sesuai prosedur ketika memproses laporan dari kader PDIP tehadap aktivis Dandhy Dwi Laksono atas tuduhan pelanggaran Undang undang ITE.


Juru bicara Mabes Polri, Setyo Wasisto mengatakan Kepolisian tidak asal menerima setiap laporan dari masyarakat untuk mencari keadilan. Dalam kasus Dandhy, kata Setyo, polisi sudah sesuai aturan dalam menerima laporan.


"Kami dari tahun 2015 sudah mengeluarkan edaran Kapolri Nomor 6 mengenai ujaran kebencian. Sudah ada petunjuknya. Kan ada poin-poinnya," kata Setyo di Mabes Polri, Jumat (8/9/2017).


Setyo membantah jika anggota kepolisian tidak patuh terhadap anjuran Kapolri Tito Karnavian supaya tidak asal dalam memilah laporan masyarakat. Tito mengatakan hal itu saat terjadinya kasus pelaporan terhadap anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep.


"Yang jelas kita sudah sesuai," singkatnya.


Berdasarkan catatan dari lembaga Jaringan Kemerdekaan Berekspresi Asia Tenggara (Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet), sejak keluarnya UU ITE pada 2008 sudah ada 35 aktivis terjerat pasal karet dalam Undang-undang ITE.  


Dari jumlah 35 orang itu, 28 orang diantaranya menjadi korban pelaporan UU ITE selama periode 2014-2017. Tiga kelompok yang paling rentan dipidanakan adalah aktivis antikorupsi, aktivis lingkungan dan jurnalis. Sedangkan pelapor banyak berasal dari pejabat negara.


Sebelumnya, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menjadi korban UU ITE, setelah ia dilaporkan oleh atasannya yaitu Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman.


Kasus terakhir menimpa aktivis dan video jurnalis Dandhy Dwi Laksono. Ia dilaporkan ke Polda Jawa Timur oleh Ketua DPD Repdem Jawa Timur Abdi Edison, pada Rabu 6 September 2017.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • UU ITE
  • korban UU ITE
  • revisi UU ITE
  • pencemaran nama baik
  • pasal penghinaan
  • kebebasan berekspresi
  • kebebasan berpendapat

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!