BERITA

Hak Politik Tak Dicabut, Jaksa Sesalkan Vonis Suap Eks Anggota DPR

""Kami akan mengambil waktu 7 hari untuk pikir-pikir. Apakah nanti penuntut umum akan menerima atau nanti mengajukan upaya hukum""

Hak Politik Tak Dicabut, Jaksa Sesalkan Vonis Suap Eks Anggota DPR
Terdakwa kasus suap dana aspirasi proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara Damayanti (kiri) berjalan dengan penjagaan usai sidang vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/9). (Foto:



KBR, Jakarta- Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan putusan majelis hakim tak mencabut hak politik bekas Anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti. Koordinator JPU KPK, Ronald Worontika mengatakan timnya bakal mempertimbangkan untuk banding.

"Jadi kita sudah mendengar putusan yang sudah dibacakan majelis ya dalam perkara Damayanti. Jadi memang ada beberapa yang kita garis bawahi. Jadi untuk pidana tadi 4 tahun 6 bulan ya. Kemudian juga ada beberapa dalam putusan majelis itu tidak sesuai putusan kita. Misalnya pencabutan hak politik. Makanya itu kami akan mengambil waktu 7 hari untuk pikir-pikir. Apakah nanti penuntut umum akan menerima atau nanti mengajukan upaya hukum," kata Ronald Worontika di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (26/09/2016).


Sebelumnya, majelis hakim menolak tuntutan jaksa dalam mencabut hak politik Damayanti. Hakim Sigit Herman Binaji mengatakan hukuman penjara sudah memberikan efek jera.


"Majelis tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum, hukuman penjara sudah memberikan efek jera terhadap perbuatan terdakwa," ujar Sigit.


Hari ini, majelis hakim menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara terhadap kader PDI-P tersebut. Hakim juga menjatuhkan pidana denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Vonis lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.


Meski begitu, majelis hakim setuju dengan JPU soal status saksi pelaku yang bekerjasama dengan penyidik atau justice collaborator (JC). Damayanti menyesali perbuatannya dan berjanji mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus ini.


Urus Anak


Usai mendengarkan vonis hakim, mata Damayanti terlihat berkaca-kaca. Ia berjalan perlahan keluar dari ruang sidang. Dengan suara lirih, Damayanti mengatakan akan mengurus anak-anaknya usai menjalani hukuman.


"Langkah ke depan, urus anak-anak aja. Saya akan menebus dosa dengan mengurus anak saya," ujar Damayanti.


Dengan menyandang status JC ia juga berjanji akan mengungkap keterlibatan anggota Komisi V yang lain.


"Konsekuensi sebagai justice collaborator adalah membantu KPK membuka kasus ini sampai gamblang, sampai selesai. Jadi saya harus kooperatif kepada KPK," pungkas perempuan yang akrab disapa Yanti itu.


Damayanti terbukti menerima suap sebanyak tiga kali dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama (WTU), Abdul Khoir. Dengan rincian, 328.000 dollar Singapura, Rp 1 miliar dalam bentuk dollar Amerika Serikat, dan 404.000 dollar Singapura. Suap itu sebagai commitment fee untuk mengajukan aspirasi proyek pelebaran jalan Tehoru-Laimu di Maluku dan menunjuk PT WTU sebagai pelaksana proyek.


Damayanti juga menggerakkan anggota Komisi V dari Partai Golkar, Budi Supriyanto untuk mengusulkan kegiatan pekerjaan rekonstruksi jalan Werinama-Laimu di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.


KPK telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini. Tiga di antaranya adalah anggota dewan yakni, Damayanti Wisnu Putranti fraksi PDI-P, Budi Supriyanto fraksi Golkar dan Andi Taufan Tiro fraksi PAN. Sementara, empat lainnya adalah Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku, Amran HI Mustary, dua rekan Damayanti, Julia Prasetyarini dan Dessy A Edwin, serta Direkur PT WTU Abdul Khoir. Abdul Khoir, Julia dan Dessy masing-masing telah dihukum 4 tahun penjara.


Editor: Rony Sitanggang

  • Suap Kementerian PUPR
  • Damayanti Wisnu Putranti
  • justice collaborator

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!