BERITA

Pemerintah Cari Jalan Tengah dengan Pengembang Telegram

Pemerintah Cari Jalan Tengah dengan Pengembang Telegram

KBR, Jakarta - Pemerintah mengupayakan jalan tengah dengan perusahaan pengembang Telegram Messenger LLP terkait keputusan pemerintah memblokir layanan berbagi pesan singkat via internet itu.

Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi mengatakan, pemerintah tengah membangun komunikasi dengan perusahaan pengembang itu setelah muncul tanggapan dari Pavel Durov, bos Telegram Messenger.


Jonan menegaskan keputusan pemblokiran adalah untuk kepentingan keamanan negara.


"Saya kira pasti ada jalan tengah. Jalan tengahnya apa, saya tidak punya kompetensi untuk menjawab. Lebih baik tanya ke Kominfo. Setahu saya, Kominfo sudah menyampaikan bahwa baru ada komunikasi dari pihak Telegram dan bisa saja dibangun kembali atau diselesaikan persoalan-persoalan yang menjadi ganjalan antara pemerintah dengan Telegram," kata Johan Budi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/7/2017).


Pemerintah Indonesia mengumumkan pemblokiran situs Telegram karena diyakini banyak digunakan sebagai sarana komunikasi jaringan teroris, Jumat (14/7/2017). Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah mendeteksi ribuan aktivitas komunikasi teroris melalui Telegram.


Usai pemblokiran itu, pengembang Telegram berjanji akan lebih cepat untuk memblokir kanal-kanal terorisme. CEO Telegram Messenger, Pavel Dunov mengatakan pengembang Telegram telah menghapus kanal-kanal terkait terorisme yang dilaporkan oleh pemerintah.


Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi mengatakan langkah pemblokiran Telegram takkan diikuti dengan penutupan media sosial lainnya. Dia pun menambahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga sudah bekerjasama dengan perusahaan aplikasi media sosial dan layanan pesan instan lain untuk membendung akun-akun terorisme.


Baca juga:


Koordinasi APJII


Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika bermusyawarah dengan pengelola Telegram. Hal ini terkait dengan pemblokiran 11 domain name system (DNS) milik layanan pesan instan buatan Rusia itu.


Ketua Umum APJII Jamalul Izza mengatakan pemilik perusahaan Telegram, Pavel Durov telah bersedia memenuhi apa yang dimaui Pemerintah---yakni terkait berbagai hal yang menyangkut terorisme. Dengan melakukan musyawarah tersebut, kata dia, masyarakat tak lagi bertanya-tanya mengenai penyebab diblokirnya Telegram.


"Kalau kita ingin memblokir sebuah konten, selama itu bisa di-filter, lakukan saja. Contohnya mengenai channel-channel teroris. Kalau itu memang bisa dimusyawarahkan dengan pengelola---dalam hal ini Telegram, lakukan saja. Telegram kan juga sudah merespon keputusan pemblokiran pemerintah. Jadi musyawarahkan dulu, jangan langsung tutup," kata Jamalul Izza kepada KBR, Minggu (16/7/2017).


Terkait pemblokiran Telegram, Jamalul Izza mengatakan, APJII selaku asosiasi yang memayungi layanan protokol internet (ISP) telah menerima permintaan pemblokiran terhadap 11 Domain Name System (DNS) milik layanan pesan instan buatan Rusia tersebut.


Pemblokiran Telegram itu baru dilakukan untuk versi website, dan belum mengarah ke Telegram versi aplikasi mobile.


Baca juga:


Polri sulit melacak


Kapolri Tito Karnavian mengakui Mabes Polri turut meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir media sosial dan pesan singkat Telegram.


Tito mengatakan dari hasil penelusuran beberapa kasus teror di beberapa daerah, kelompok teror ini menggunakan media komunikasi Telegram.


Mabes Polri, kata Tito, sulit menyadap dan melacak media sosial Telegram karena memiliki keamanan khusus. Karena itu, kata Tito, Polri meminta pemerintah memblokir media sosial Telegram untuk memutus rantai komunikasi kelompok radikal dengan jaringannya di Indonesia.


"Sistem komunikasi ini banyak digunakan oleh organisasi teroris, mulai dari kasus-kasus sebelumnya seperti kasus bom Thamrin Jakarta, Medan, Bandung, Falatehan. Itu semuanya berkomunikasi menggunakan Telegram. Layanan itu punya banyak fitur, salah satunya ada enkripsi sehingga sulit disadap. Kedua, layanan itu mampu menampung grup sampai 10 ribu orang dan kemudian menyebarkan faham radikal di sana. Akhirnya, terjadinya sekarang fenomena Lone Wolf, self radikalisasi melalui media online termasuk Telegram," kata Tito Karnavian di Jakarta, Minggu (16/7/2017).


Dari analisa Polri, kata Tito, media sosial Telegram juga mencetuskan gerakan Lone Wolf atau teror perseorangan nonstruktur terutama dari orang-orang yang ingin menebus dosa dengan melakukan jihad bom. Kapolri mengatakan banyak pelaku Lone Wolf yang melakukan aksi teror pasca menerima perintah atau hasutan dari kelompok radikal di media sosial tersebut.


Gerakan Lone Wolf ini meyulitkan Polri untuk melacak gerakan dan jaringan teroris di Indonesia. Sehingga lebih berbahaya dan sulit diprediksi.


Kapolri mengatakan aksi terorisme terdiri dari dua macam, yaitu aksi terstruktur dan tidak terstruktur. Dalam menghadapi aksi terstruktur, kekuatan intelijen Polri berusaha memetakan struktur kelompok terorisme secara detil dan memantau sampai ada tindakan aksi. Hal ini untuk mencegah aksi atu mengungkap aksi yang sudah ada.


"Yang kedua, adalah aksi nonstruktur. Itu adalah jihad tanpa pemimpin atau self radikalisasi atau yang saya bilang Lone Wolf. Di Indonesia, Lone Wolf muncul sekitar dua atau tiga tahun sejak keberadaan ISIS. Itu dilakukan orang-orang dengan membaca internet dan media lain-lain, doktrin radikal, latihan membuat bom. Dan ini bahaya. Jadi langkah utama adalah memutus sistem komunikasi mereka. Kedua, melakukan kontra radikalisasi," ujarnya.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman

 

  • telegram
  • Pemblokiran Telegram
  • Blokir Telegram
  • ISIS
  • ancaman terorisme
  • teroris
  • Lone Wolf

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!