BERITA

Menristek Minta Rektor Tidak Langsung Pecat Dosen eks HTI

Menristek Minta Rektor Tidak Langsung Pecat Dosen eks HTI

KBR, Jakarta - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir meminta seluruh rektor atau pemimpin perguruan tinggi di Indonesia tidak boleh langsung memecat dosen atau pegawai di kampus yang terlibat organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Nasir mengatakan dosen-dosen atau akademisi yang terlibat HTI harus lebih dulu diberikan tindakan persuasif atau teguran agar kembali ke ideologi Pancasila dan UUD 1945.


"Rektor sudah mempunyai data masing-masing, tinggal mereka melakukan tindakan sesuai kewenangan yang diberikan yaitu sanksi administrasi. Dimulai dengan pemeriksaan, peringatan dan teguran harus dilakukan. Tapi dirangkul dulu. Nggak boleh langsung tendang, tapi harus diperingatkan, ditegur supaya kembali Undang-undang Dasar dan Pancasila," kata Nasir usai bertemu Rektor se-Indonesia di Gedung D Kemenristek Dikti, Jakarta, Rabu (26/7/2017).


Menristek Dikti Mohammad Nasir hari ini mengumpulkan rektor dari 128 perguruan tinggi negeri dan 14 perguruan tinggi swasta di Gedung D Kemenristek Dikti Jakarta. Pertemuan itu dalam rangka pemantauan dan evaluasi, dan salah satu pembahasannya adalah mengenai organisasi masyarakat yang bertentangan dengan empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, Undang-undang Dasar, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.


Menurut Nasir, seluruh rektor sudah mempunyai data dosen yang diindikasikan tergabung dalam HTI di kampusnya masing-masing. Namun Ia enggan menyebutkan jumlahnya serta dari perguruan tinggi mana saja.


Nasir mengingatkan seluruh rektor untuk mewaspadai kegiatan organisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai bangsa, tidak hanya HTI. Ia mengatakan, mereka yang tergabung dengan HTI atau organisasi lainnya harus diusahakan untuk kembali berpedoman ke NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.


"Saya minta tanggung jawab Rektor. Saya sudah sering menyampaikan ini," kata Nasir.


Mengenai mahasiswa yang tergabung dengan HTI, kata Nasir, seluruh perguruan tinggi harus melakukan pembinaan terhadap mereka. Ia telah memerintahkan Sekretaris Jenderal Kemenristek Dikti untuk memantau seluruh perguruan tinggi di Indonesia mengenai hal tersebut.


"Mahasiswa lebih mudah pembinaannya yakni melalui pembinaan Kemahasiswaan," tambah Nasir.


Baca juga:


Mekanisme teguran

Mengenai mekanisme sanksi bagi dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terlibat HTI, Mohammad Nasir menjelaskan penindakan harus sesuai prosedur.


Dosen PNS yang terlibat HTI, kata Nasir, tidak serta merta diberhentikan dari PNS, melainkan lebih dulu diminta mundur dari HTI. Setelah itu, dosen itu harus menghentikan kegiatan yang terkait dengan HTI.


Apabila dosen PNS tidak mematuhi perintah itu, kata Nasir, maka diberikan peringatan hingga tiga kali.


"Kalau memang dia tetap melakukan kegiatan itu, baru kita akan berikan surat peringatan 1,2,3  sesuai dengan PP Nomor 53. Prosedur hukumnya seperti itu, sesuai Undang-undang Aparatur Sipil Negara. Mereka harus mengikuti prosedur pemeriksaan dulu," kata Nasir di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (25/7/2017).


Muhammad Nasir mempersilakan apabila ada dosen yang langsung mengundurkan dari PNS karena keberatan dengan sikap pemerintah. "Nggak masalah, itu hak seseorang sebagai warga negara," kata Nasir.


Nasir memastikan tidak akan mendiskriminasi dosen-dosen eks-HTI. Namun, ia mengingatkan agar mereka menjaga perilakunya, agar tidak mengundang reaksi negatif.


"Masalah diskriminasi itu tergantung mereka sendiri, orang berperilaku tergantung individu, kalau nggak, nggak ada masalah," tutur Nasir.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • Hizbut tahrir Indonesia
  • Hizbut Tahrir
  • khilafah hizbut tahrir
  • hizbut tahir
  • hti
  • Khilafah
  • khilafah Islamiyah
  • sistem khilafah
  • gerakan khilafah
  • Perppu Ormas
  • Menristekdikti

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!