BERITA

Bayi TKI ikut Sembunyi di Hutan, Migrant Care Minta Pemerintah Lobi Malaysia

"“Banyak bayi-bayi yah, laporan yang kami terima itu ya bayi juga dibawa kehutan. Itu kan perlu dipikirkan, bagaimana keamanan, keselamatan mereka.""

Rafik Maeilana, Yudi Rachman

Bayi  TKI ikut Sembunyi di Hutan, Migrant Care Minta Pemerintah Lobi Malaysia
Ilustrasi (foto: Antara)

KBR, Jakarta– Migrant Care meminta pemerintah Indonesia bergerak cepat melobi pemerintah Malaysia, agar nasib buruh migran  yang saat ini bersembunyi bisa menemui kejelasan. Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan, saat ini selain para buruh migran dewasa yang sembunyi, banyak dari mereka yang membawa serta bayi dan anak-anaknya ke dalam hutan.

Dia meminta  pemerintah memastikan agar kebutuhan para buruh migran yang sembunyi bisa tercukupi.

“Banyak bayi-bayi yah, laporan yang kami terima itu ya bayi juga dibawa kehutan. Itu kan perlu dipikirkan, bagaimana keamanan, keselamatan mereka. Minimal hal itulah yang harus dilakukan pemerintah kita untuk berdiskusi dengan pemerintah Malaysia,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah saat dihubungi KBR, Kamis (06/07/17).

red


Anis   meminta pemerintah Malaysia untuk tidak bertindak represif. Kata dia, razia itu selalu disalahgunakan oleh aparat Malaysia untuk melakukan tindakan sewenang-wenang. Selain itu, banyak tindakan melanggar hukum yang selalu terjadi ketika petugas melakukan razia.


“Jadi banyak hasil mentoring kami selama ini, para petugas dan aparat di sana itu selalu menggunakan kekerasan kepada buruh migran. Memeras, kadang harta buruh migran juga diambil. Nah ini yang perlu dipastikan pemerintah Indoneisia agar hal itu tidak terjadi,” jelasnya.


Sementara itu Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia mencatat ada sekitar 300 warga negara Indonesia yang ditahan dan terkena razia Imigrasi Malaysia. Menurut Wakil Dubes RI di Malayia Andreano Erwin, jumlah tenaga kerja asal Indonesia lebih sedikit jika dibandingkan dengan pekerja dari negara India dan Bangladesh.

Kata dia, KBRI   membuka akses pendampingan bagi WNI yang ingin kembali ke Indonesia untuk menghindari razia.

"Ada 300-an lebih WNI kita yang ditahan. Tetapi tidak merata tidak di satu tempat. Jadi mereka ditahan di beberapa tempat detensi di setiap provinsi. Jadi saya tidak bisa bilang di satu tempat saja. Dari secara jumlah masih jauh lebih kecil dibandingkan tenaga kerja Bangladesh. Bangladesh itu hampir 800-900," jelas Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia, Andreano Erwin ketika dihubungi KBR, Kamis (6/7/2017).


Terkait banyaknya TKI yang bersembunyi di hutan-hutan untuk menghindari razia, Andreano belum dapat memastikan hal tersebut. Kata dia, KBRI belum mengetahui posisi di hutan mana lokasi para TKI bersembunyi. Karena, KBRI memiliki keterbatasan untuk menjangkau daerah-daerah tertentu di negara orang lain. Selan itu, KBRI juga tidak ingin melanggar hukum dalam melindungi TKI.


"Tentu kami tidak mengetahui secara pastinya, mereka lari ke hutan mana. Kami di KBRI ada keterbatasan dalam arti kata, untuk bisa menggapai daerah tertentu itu juga memerlukan informasi dan juga kepastian di mana mereka berada. Kalau memang Migrant Care ada data tersebut seharusnya bisa memberitahukan di hutan mana mereka berada," Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia, Andreano Erwin.

Erwin melanjutkan, "kami di KBRI khususnya dalam pergerakan juga tidak bisa serta merta melakukan tindakan. Kami ada keterbatsan dalam bertindak di sini. Kita lakukan sesuai dengan rambu dan hukum yang ada di sini. Pada saat razia kami tidak bisa datang dan melarang mereka melakukan razia."

Lebih lanjut Andreano menambahkan, dalam razia ini juga ada sekitar 40 majikan yang terkena sanksi. Untuk itu dia juga meminta pemerintah Malaysia  menggencarkan razia kepada majikan-majikan yang seharusnya bertanggung jawab mengurus dokumen tenaga kerja asal Indonesia.

Desakan juga datang dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).  Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono meminta  Malaysia memperhatikan kaedah hak asasi manusia  dalam melakukan tindakan dan sanksi kepada TKI yang tertangkap dalam razia. Kata dia,  ada hukum dan aturan yang mengatur hak-hak buruh migran ketika menghadapi masalah hukum keimigrasian.

BNP2TKI meminta dibuka akses untuk pengawasan kerja penindakan hukum yang dilakukan oleh aparat negeri jiran tersebut.

"Jadi yang kita minta dari Pemerintah Malaysia, pertama, kalau pun mereka melakukan operasi penegakan hukum. Operasi penegakan hukum harus dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah hak asasi manusia. Mulai dari proses penangkapan, penahanan sampai ke pemulangannya," ujar Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono. 

Hermono melanjutkan, "kedua, kita juga minta diberikan akses untuk melakukan monitoring bagaimana pelaksanaan penegakan hukum ini dilaksanakan. Ketiga, kita minta masalah ini harus dicarikan akar masalahnya itu apa yang harus diselesaikan. Masalahnya inikan selalu berulang-ulang."

Terkait banyaknya TKI yang melarikan diri ke hutan, Hermono meminta TKI tidak melakukan langkah-langkah yang memperparah dan menyulitkan perwakilan Indonesia di Malaysia. Sehingga, mempesulit proses pengawasan dari KBRI di Malaysia.


"KIta imbau kepada TKI jangan melakukan tindakan yang justru memperburuk keadaan. Kita himbau dari awal, daripada lari ke hutan kan ada mekanisme pulang dengan deportasi sukarela membayar denda 800 ringgit. Jangan sampai mereka memperburuk keadaan," ujarnya.


Kata dia, pemerintah jangan hanya menyalahkan TKI yang tidak memiliki dokumen di Malaysia. Pemerintah Malaysia juga harus berani menindak tegas majikan-majikan yang tidak mau mengurus dokumen keimigrasiaan pekerjanya.


"Ini bukan kesalahan TKI, jangan ini dibebankan ke TKI. Bahwa masalah yang ikut E-Kad sedikit, itu kesalahan majikannya, itu kewajibannya majikan. Kalau mereka ilegal itu salah majikan bukan salah TKI. Mengurus izin itu tanggung jawab majikan. Ini harus adil, kalau salah, dua-duanya harus ditindak. Ini terjadi karena kesalahan majikan yang tidak mau mengurus izinnya. Ini karena menguntungkan buat mereka," ungkapnya.

Sementara itu Tyas Weningasih, salah satu TKI asal Kendal, Jawa Tengah mengatakan, mereka bersembunyi lantaran  takut tertangkap  petugas. Hal itu karena petugas Malaysia selalu berbuat sewenang-wenang terhadap buruh migran yang ditangkap. Ia bercerita, tak jarang dari petugas yang melakukan kekerasan hingga melakukan pelecehan terhadap buruh migran wanita.

“Ya itu sering kalau cewe-cewe yang kena dirazia malah sering dilecehkan, diajak kencan, diminta ke hotel sama petugas sana. Kalau cowok, saya kurang tahu, tapi paling dimintain duit untuk damai,” katanya saat dihubungi KBR, Kamis (06/07/17).


Tyas TKI legal yang baru kembali dari Malaysia menjelaskan, selama ini para WNI memilih menjadi ilegal karena biaya untuk membuat e-kad dan i-kad itu mahal. Padahal, kata dia,     pemerintah Malaysia menyatakan pembuatan e-kad itu tidak dimintai biaya sedikitpun. Tetapi, kenakalan agen yang menjadikan pembuatan e-kad itu harus bayar.


“Kalau e-kad itu kan harusnya dibuat sama majikan atau perusahaan. Tapi yang ilegal biasanya bikin sendiri e-kad itu, dan biayanya bisa 4000 ringgit atau belasan juta rupiah. Nah e-kad itu digunakan untuk membuat i-kad atau permit, izin bekerja di salah satu perusahaan. Dan bikin i-kad pun mahal juga,” jelasnya.


Selama ini, lanjut Tyas, para pekerja yang ilegal rela kucing-kucingan dengan petugas. Hal itu karena mereka ingin tetap bertahan di Malaysia untuk mencari nafkah. Sehingga, kata dia, para pekerja yang ilegal rela untuk  bersembunyi ke dalam hutan.


“Bahkan yang punya anak juga pasti di bawa ke dalam hutan. Tapi kalau yang kena razia, itu juga bakal dipenjara. Bahkan anaknya juga ikut dipenjara,” jelasnya. 

Editor: Rony Sitanggang

 

  • razia tki di Malaysia
  • Direktur Eksekutif Migrant Care
  • Anis Hidayah
  • Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia
  • Andreano Erwin
  • Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!