BERITA

[Ralat] Sidang UPR Dewan HAM PBB, HRWG Nilai Jawaban Pemerintah Lemah

""Itu datanya, sangat tidak bisa dipercaya, sehingga sebuah data yang salah tidak bisa menjadi dasar sebuah kebijakan.""

Ninik Yuniati

[Ralat] Sidang UPR Dewan HAM PBB, HRWG Nilai Jawaban Pemerintah Lemah
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laly saat menyampaikan jawaban pemerintah di UPR Dewan HAM PBB.

Ralat Berita: Pada berita berjudul "Sidang UPR Dewan HAM PBB, Amnesty Internasional Nilai Jawaban Pemerintah Lemah" yang dimuat pada Kamis (04/05/2017) terjadi kesalahan penulisan jabatan narasumber. Kami mohon maaf dan berita kami perbaiki. Terima kasih.


KBR, Jakarta- Senior Adviser Human Rights Working Group (HRWG) Pasifik Rafendi Djamin mengkritik jawaban delegasi Indonesia di sidang Universal Periodic Review (UPR) tentang hukuman mati di Jenewa, Swiss. Menurutnya, jawaban yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly lemah karena didasarkan pada data yang masih dipertanyakan. 

Dalam sidang, Yasonna mengungkapkan sekitar 12 ribu tiap tahun orang mati karena narkoba. Selain itu, sekitar 4 juta orang menjadi pecandu narkoba.

"Kaitan antara kebijakan drug policy, atau angka-angka, sekian orang mati akhirnya menjadi darurat, menjadi mantra. Itu datanya, sangat tidak bisa dipercaya, sehingga sebuah data yang salah tidak bisa menjadi dasar sebuah kebijakan. Jadi kita harus membuat sebuah kebijakan, berdasarkan evidence, data yang kuat. Kalau datanya sekarang dipertanyakan, kenapa itu menjadi sebuah kebijakan?" Kata Senior Adviser Human Rights Working Group (HRWG)  Rafendi Djamin usai acara diskusi dan nonton bareng sidang UPR di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (3/5/2017).


Rafendi juga mengkritik alasan bahwa hukuman mati telah menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia. Kata dia, Presiden Joko Widodo seharusnya bisa mengeluarkan kebijakan untuk melarang atau setidaknya mengatur ketat penggunaan pasal hukuman mati.


"Misalnya melakukan sebuah kebijakan di level kejaksaan, di level Mahkamah Agung (MA), agar kejaksaan tidak mengenakan pasal hukuman mati atau sangat strict di dalam menggunakan pasal hukuman mati,"

Penilaian serupa juga disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban TIndak Kekerasan (Kontras).  Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia menuturkan, pemerintah juga tidak menjawab beberapa persoalan krusial seputar isu hukuman mati. Pemerintah hanya menyinggung hukuman mati saat ini sudah bergeser dari pidana pokok menjadi pidana alternatif.

"Tapi Pemerintah tidak menyinggung, bahwa hingga kini masih ada anak-anak yang dieksekusi mati. Atau kasus salah tangkap terhadap buruh migran, yang pada akhirnya terancam dengan hukuman mati misalnya," imbuhnya.


Hal tersebut kata Putri, menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk menyusun rekomendasi yang lebih baik lagi di periode yang akan datang.


"Sehingga seluruh pertanyaan bisa dijawab secara komprehensif," katanya.  

Dalam sidang UPR, Menteri Yasonna menegaskan Indonesia tidak melanggar ketentuan hukum internasional. Yasonna menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2007 lalu yang menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Kasubdit Kerja Sama Luar Negeri Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Andi Taletting menuturkan, penghapusan hukuman mati tidak bisa serta merta dilakukan. Kata dia, Presiden Jokowi tidak bisa membatalkan hukuman mati untuk terpidana yang telah ditolak permohonan grasinya pada pemerintahan sebelumnya.


"Apabila presiden terdahulu, sudah menolak grasi, kemudian tidak mungkin lagi presiden yang sekarang, membatalkan grasi, itu merusak konstitusi,"  kata Andi.


Andi mengatakan, pemerintah sebenarnya berniat untuk menghapus hukuman mati, tetapi aturan tentang itu masih tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Itu sebab, pemerintah bersama DPR tengah merancang Undang-Undang KUHP, termasuk tentang hukuman mati.


Dalam draf RUU KUHP, hukuman mati akan dijadikan hukuman alternatif, bukan lagi hukuman pokok. Kata dia, hal ini dilandasi oleh prinsip kehati-hatian dalam menjatuhkan hukuman mati.


"Agar meletakkan hukuman mati itu menjadi suatu prinsip kehati-hatian, jadi tidak sembarang lagi hakim menjatuhkan hukuman mati,"


Selain itu, dalam draf juga disebutkan bahwa terpidana mati bisa diubah hukumannya menjadi seumur hidup dengan sejumlah persyaratan.


"Dalam RUU itu ada istilah bahwa memberikan 10 tahun lagi. 10 tahun kesempatan bagi orang itu untuk berbuat baik." Kata Andi.

Editor: Rony Sitanggang

 

 

  • Senior Adviser Human Rights Working Group (HRWG) Pasifik Rafendi Djamin
  • Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
  • Universal Periodic Review (UPR)

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!