HEADLINE

Konflik TNI vs TPN-OPM di Tembagapura, Pengungsi Butuh Pangan dan Obat

Konflik TNI vs TPN-OPM di Tembagapura, Pengungsi Butuh Pangan dan Obat

KBR, Jakarta- Salah satu warga Kampung Banti, Mimika, Papua, Ida Beanal mengaku terpaksa mengungsi ke Opitawak akibat adanya baku tembak antara TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), Minggu (1/4) lalu. Menurut Ida, ratusan warga kini memenuhi sepuluh rumah di Opitawak dan tidak bisa keluar. Sebab, TNI ketat mengawasi pergerakan mereka dan tidak mengizinkan warga keluar.

"Kami tidak bisa keluar kemana-mana macam kayak penjara kita. Sekarang  antara hidup dengan mati. Tidak bisa kemana-mana, semua anggota (aparat keamanan) kuasai tempat ini. Hancur kita punya rumah. Kita terkumpul di satu kompleks. Ada banyak yang sakit, tidak bisa keluar," ujar Ida kepada KBR, Senin (9/4).


Ida mengatakan sejumlah warga mulai terserang penyakit mulai dari diare hingga malaria. Namun tidak ada obat maupun petugas kesehatan yang disediakan. Sementara warga juga tidak diizinkan keluar dari daerah Opitawak.


Beberapa hari kemarin pun, kata dia, bahan makanan sempat menipis. Baru pada Minggu (8/4) lalu, kiriman bantuan berupa beras, mie instan, gula, kopi, minyak goreng, telur, dan ikan kalengan dari pemerintah daerah datang.


Menurut warga Banti itu saat  kejadian   ratusan anggota TNI dan polisi masuk ke desa. Dia melihat mortir-mortir ditembakkan dan kemudian membakar rumah warga.


"Rumah itu sepuluh rumah terbakar. Tembakannya itu anggota, mereka tembak. Anak laki-laki di satu rumah terbakar. Mereka masuk mulai di Banti I, pembakaran rumah dan kandang babi. Semua hancur, barang-barang mereka curi. Ada TV, alat tajam seperti obeng dan parang, noken-noken." Tudingnya.


Ida menceritakan warga yang ketakutan lantas lari mencari perlindungan ke Gereja Sinai Opitawak. Namun di sana, menurut dia, tentara kembali memberondong warga dengan tembakan senapan.


Ketika itu, Ida melihat satu orang sudah mengibarkan bendera merah putih sebagai tanda mereka bukan bagian dari TPN-OPM. Namun menurut Ida, TNI tetap menembak orang tersebut. Ida mengklaim sembilan orang terkena tembakan.


"Anggota sampai di atas tembak masyarakat juga. Mereka ada bunuh orang, pegawai negeri, orang lama di Opitawak. Dia pegang bendera merah putih saat itu. Tapi mereka tembak. Saat itu mereka bilang habis tembak, tidak boleh telepon. Handphone dimatikan."


Saat ini menurut Ida kawasan Kampung Banti dan dua blok di Opitawak sudah dikosongkan. Warga terfokus di satu blok di Opitawak, sementara TNI dan polisi memenuhi dua blok lainnya.


Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giyai mengatakan sudah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika soal pelayanan kesehatan bagi para pengungsi dari Kampung Banti. Menurut dia, dinkes akan mengirimkan petugas kesehatan serta obat-obatan untuk memastikan para pengungsi mendapatkan pelayanan yang memadai.


"Setelah koordinasi dengan teman-teman di Dinas Kesehatan Mimika, informasinya sudah koordinasikan untuk penanganan kesehatan," kata Aloysius saat dihubungi KBR, Senin(9/4).


Dia berharap warga yang sakit bisa dibawa keluar agar mendapat perawatan yang lebih baik. Namun selama ini hal itu kerap terkendala sarana transportasi maupun cuaca. Sementara menurut Aloysius selama ini sulit memanfaatkan mobil TNI untuk membawa pasien ke rumah sakit.


Pasca kontak senjata antara aparat keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka, warga terpaksa mengungsi ke daerah Opitawak. Sepekan di sana, warga mengaku diisolasi dan tidak diizinkan keluar desa oleh TNI. Sementara itu, menurut pengakuan warga, bahan makanan sempat menipis sebelum kemudian bantuan dari pemda datang. Selain itu, sejumlah pengungsi pun mulai menderita diare dan malaria.


Juru bicara Kodam Cendrawasih Muhammad Aidi, membantah adanya isolasi kepada warga papua di beberapa desa seperti Banti, Utikini, Longsoran dan Timbeli. Aidi mengatakan anggotanya malah memberi bantuan akses keluar masuk desa dengan bantuan mobil.

Aidi mengatakan yang mengisolasi penduduk setempat   Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM).

"Info itu terbalik, pada saat TNI belum masuk warga tidak bisa keluar karena dijaga oleh TPN-OPN. Sekarang justru TNI masuk warga setiap saat bahkan difasilitasi menggunakan ada yang menggunakan kendaraan TNI dikawal sudah bisa keluar masuk saat ini. Bisa sampai tempat shooping, belanja bisa bahkan kemarin kita sudah salurkan lagi bahan makanan, empat kontainer denganh PT Freeport. Jadi terbalik, info itu terbalik, pada saat TNI belum masuk mereka tidak bisa keluar," ujar Aidi, saat dihubungi KBR, Senin (09/04/2018).


Aidi juga menuding informasi yang menyebar di media yang mengatas namakan warga Papua, dan memberi informasi terkini tentang keadaan di sana adalah bohong. Menurutnya informasi warga itu berasal dari para warga yang memiliki kepentingan atau bahkan anggota TPN-OPM itu sendiri.


"Ada dua kemungkinan, bisa warga salah laporan, atau yang membuat laporan itu adalah orang yang punya kepentingan, yang mau menyudutkan TNI- Polri. Nyatanya dari pagi sampai sore mereka  keluar, bahkan kalau berpapasan dengan kendaraan aparat bisa ikut, kalau tidak mereka harus jalan satu jam," Ujar Aidi.

Kata Aidi membenarkan  diantara warga ada yang terkena gangguan pernafasan, gangguan pencernaan dan lainnya. Namun ia mengatakan jika warga mengalami sakit parah aparat akan mengevakuasi ke kota untuk perawatan intensif.

"Pasti banyak yang sakit karena akses kesehatan tidak ada, rumah sakitkan dibakar. untuk bantuan pertama saat sakit itu dilakukan oleh bintara kesehatan kalau tidak rumah sakit yang ada di Tembaga Pura, bahkan kemarin Jumat ada lagi di salah satu desa fasilitas kesehatan dirusak lagi sama mereka, jadi tenaga medisnya dievakuasi. jadi sementara tim kita yang tangani di lapangan seadanya." ujar Aidi.


Aidi juga menegaskan bahwa adanya penjagaan di desa-desa pengungsian itu dilakukan agar aparat dapat melakukan pemantauan terhadap anggota TPN-OPN yang membaur dengan warga. Kata dia masih banyak warga yang melindungi mereka lantaran memiliki ikatan kekeluargaan. Karena itulah aparat hanya bisa mencari tahu dengan cara mengamati dan menggali informasi melalui intel yang disebar, pasalnya tidak ada tindakan yang bisa dilakukan aparat karena sulit membedakan warga sipil dengan anggota TPN-OPN.


"Yang ada di antara warga ya upayanya mengembangkan informasi melalui intelijen, memonitor karena pada dasarnya mereka ada di antara warga yang pro NKRI dengan yang pro TPN-OPM, maka kita mencari tahunya lewat intelijen. Itupun jika kami dapat tidak bisa langsung ditangkap, paling hanya pengawasan karena sulit bukti, karena mengetahui jiwa seseorang itukan susah," ujarnya.


Untuk meredam gejolak dan meminimalisir jatuhnya korban lagi, TNI dan Polri mengimbau agar anggota TPN-OPM yang masih bersembunyi untuk segera menyerahkan diri. Kata dia,   ada jaminan keselamatan dan pembebasan hukuman jika mereka mau menyerahkan.


"Ya baik-baiklah menyerahkan diri, kami jamin keselamatannya. Ibaratnya kalau menyerahkan diri akan diampunilah dari hukuman, tapi kalau tidak ya kita sama-sama saja, kan bukan hanya anggota mereka saja yang tewas, anggota kita juga banyak dengan adanya peristiwa ini," ujar Aidi.


Pemerintah Tak Punya Hati Nurani


Presiden Gereja-rereja Babtis Papua, Socrates Sofyan Yoman, mengatakan  sudah berkali-kali melakukan upaya duduk bersama dengan TNI dan Polri agar tidak ada warga sipil jadi korban. Kata dia,  upaya itu sia-sia  karena aparat tetap melakukan penyerangan terhadap warga dengan alasan tidak bisa membedakan warga sipil dengan anggota sparatis itu.

Socrates menuding sudah tidak ada lagi itikad baik pemerintah untuk mendengarkan keluhan warga Papua.

"Saya sendiri walaupun orang Papua tapi belum pernah ke situ, karena untuk menuju ke situ penjagaan sangat ketat. (Gereja sudah ada komunikasi agar tidak melukai warga?)   Sudah berkali-kali tapi sepertinya suara kami turun di telinga tuli, sudah tidak punya hati nurani lagi.  Itu yang melindungi perusahaan kan aparat keamanan TNI, Polri, Brimob yang punya senjata itu," ujar Socrates, saat dihubungi oleh KBR, Senin (09/04/2018).


Ia mengatakan sulitnya akses menuju lokasi membuat upaya negosiasi tidak dapat dilakukan secara berkala. selain ia juga menyayangkan perlakuan aparat yang mempersulit keluar masuknya warga yang sedang sakit.

Socrates menganggap pemerintah sedang melakukan strategi pemusnahan manusia secara perlahan.

"Itukan cara  aparat negara untuk memusnahkan orang Papua. Itu salah satu siasat dibangun, supaya kalau tidak dapat perawatan begitukan manusia mati dengan alasan kesehatan. Tapi itu sifat kesengajaan yang dilakukan oleh aparat keamanan negara," ujar Socrates.


Kendati upaya negosiasi tidak pernah membuahkan hasil, Socrates mengatakan  ereja tidak akan tinggal diam dan akan terus berupaya agar pendapat mereka didengar oleh pemerintah. Ia mengatakan warga Papua merupakan warga Indonesia yang memiliki hak untuk dilindungi.

Editor: Rony Sitanggang

  • kelompok papua merdeka
  • TPM OPM
  • Ida Beanal

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!