BERITA
Dianulir MK, Mendagri (Masih) Cari Celah Lanjutkan Deregulasi
"MK batalkan kewenangan Kemendagri untuk membatalkan peraturan daerah"
Ninik Yuniati
KBR, Jakarta- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo masih mencari celah
untuk melakukan upaya deregulasi aturan daerah penghambat investasi,
pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kata dia, putusan itu
mempersulit upaya pemangkasan sekitar 600 aturan penghambat investasi.
Kondisi ini juga mempersulit sinergi pusat dengan daerah.
"Gubernur
kan nggak boleh memangkas, kemarin yang 3 ribu (aturan) itu kan kami
kompromi mana yang gubernur bisa, mana yang mendagri bisa, sekarang ini
nggak boleh, karena perda itu masuk dalam ranah hierarki
perundang-undangan. Walaupun dalam konsep pemerintahan, presiden punya
kewenangan bagaimana program kerja seorang presiden yang memutuskan nasi
goreng, tapi daerah gado-gado kan nggak pas," kata Tjahjo di kompleks
Istana, Senin (10/4/2017).
Tjahjo menuturkan bakal tetap melakukan deregulasi. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi.
Akhir pekan lalu, Jokowi menanggapi putusan MK dengan menyatakan terus akan melanjutkan pemangkasan aturan penghambat investasi. "Akan
terus kita lakukan terus. Yang paling penting kita tetap melihat payung
hukum yang ada, tidak boleh berhenti. Tapi kita harus menghormati hasil
MK tadi," kata Jokowi.
MK mencabut kewenangan menteri dan
gubernur dalam membatalkan peraturan daerah. Aturan ini sebelumnya
tercantum dalam pasal 251 Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU nomor 23
tahun 2014).
Konsekuensinya, Kemendagri hanya berwenang melakukan
intervensi terhadap aturan daerah saat masih berbentuk rancangan.
Sementara, untuk perda yang telah diterbitkan, pencabutan hanya bisa
dilakukan melalui gugatan ke Mahkamah Agung (MA).
Editor: Dimas Rizky
- MK
- kewenangan mendagri
- Kemendagri
- peraturan daerah
- perda
Komentar (0)
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!