HEADLINE

MK Bantah Putusan Mengesahkan Pansus Angket KPK 'Inkonsistensi'

MK Bantah Putusan Mengesahkan Pansus Angket KPK 'Inkonsistensi'

KBR, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan putusan uji materi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) terkait keabsahan hak angket terhadap KPK tidak bertentangan dengan putusan MK terdahulu.

Pada putusan uji materi pekan lalu, MK mengatakan KPK bisa menjadi obyek hak angket DPR karena merupakan lembaga di ranah eksekutif. 

Juru bicara MK Fajar Laksana mengemukakan, pada sejumlah putusan sebelumnya, MK tidak pernah berpendapat bahwa KPK merupakan lembaga negara yang berada di wilayah kekuasaan tertentu.

MK hanya menyebutkan bahwa posisi KPK sebagai lembaga negara tidak termasuk di wilayah yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Tetapi diberi tugas kewenangan dan fungsi yang terkait dengan fungsi yudikatif.

"Penting ditegaskan bahwa dalam putusan-putusan terdahulu, Mahkamah tidak pernah berpendapat yang pada pokoknya menyatakan KPK merupakan lembaga negara yang berada pada ranah kekuasaan tertentu, apakah itu legislatif, eksekutif atau yudikatif. Baru pada putusan nomor 36/PUU-XV/2017 inilah, Mahkamah menyatakan pendapat bahwa KPK merupakan lembaga negara yang berada di ranah kekuasaan eksekutif," kata Fajar di Kantor MK, Jakarta, Kamis (15/2/2018).

Baca juga:

Fajar menambahkan, pernyataan MK soal putusan uji materi ini disampaikan untuk merespon pendapat di masyarakat yang mempersoalkan putusan tersebut. MK ingin menghindari kebingungan publik akibat banyaknya pendapat yang simpang siur. 

Pernyataan MK ini, kata Fajar, tidak dimaksudkan untuk mengomentari pendapat perbeda (dissenting opinion) yang dikemukakan hakim konstitusi Suhartoyo dalam sidang putusan. 

"MK menjelaskan, terlepas itu ada dissenting opinion soal itu, tapi merespon perkembangan yang di luar. Ini yang kemudian jadi persoalan," ujar dia.

Sebelumnya, pada Kamis 8 Februari lalu, MK memutuskan menolak uji materi terhadap Undang-undang MPR, DPR, DPRD dan DPD yang digunakan DPR sebagai dasar pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket terhadap KPK.

MK menyatakan KPK merupakan lembaga masuk bagian eksekutif sehingga bisa dijadikan subyek angket DPR. Namun putusan itu tidak bulat. 

Dari sembilan hakim konstitusi, empat hakim menolak putusan itu dan 'membela' KPK dengan menyatakan KPK bukan obyek angket DPR. 

Salah satu hakim konstitusi, Hartoyo mengatakan putusan MK itu bertentangan dengan empat putusan MK sebelumnya, yang menyatakan KPK sebagai lembaga independen. 

Di antara putusan MK yang menyatakan independensi KPK adalah Putusan MK pada 19 Desember 2006, putusan MK pada 13 November 2007, putusan MK pada 15 Oktober 2010 dan putusan MK pada 20 Juni 2011. 

Pimpinan KPK menyebut putusan MK pada Kamis lalu itu inkonsistensi, karena pada putusan terdahulu MK menyatakan bahwa KPK sebagai lembaga independen.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief mengatakan ia menghormati putusan tersebut. Meskipun, ia menyoroti sikap MK yang tidak konsisten. Menurut Laode, salah satu hakim konstitusi Suhartoyo yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) menyebutkan banyak putusan MK sebelumnya yang menyatakan KPK bukan lembaga eksekutif.

"Dalam dissenting opinion itu dijelaskan sendiri, bahwa KPK adalah lembaga independen. Ada yang menarik dari dissenting opinion itu. Putusan hari ini ternyata bertentangan dengan empat putusan MK sebelumnya. Yang dulu dikatakan bukan bagian dari eksekutif, hari ini lima hakim MK memutuskan bahwa KPK itu bagian dari eksekutif. Kita melihat inkonsistensi dari MK," kata Laode usai menghadiri sidang putusan di MK, Jakarta, Kamis (8/2/2018).

Baca juga:

Editor: Agus Luqman 

  • revisi UU MD3
  • UU MD3
  • uji materi UU MD3
  • Pansus Angket KPK
  • hak angket DPR
  • MK pansus angket
  • MK legalkan Pansus Angket
  • legalitas Pansus Angket KPK
  • Pansus Angket DPR

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!