HEADLINE

Mahfud MD: DPR Terobos Garis Tata Negara, Campur Adukkan Etik dan Hukum

Mahfud MD: DPR Terobos Garis Tata Negara, Campur Adukkan Etik dan Hukum

KBR, Jakarta - Pengamat hukum tata negara Mahfud MD menilai revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) telah menerobos garis-garis tata negara. 

Dampaknya, kata Mahfud, lembaga parlemen menjadi antikritik. Mahfud  menyoroti pasal 122 yang menambah kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum atau langkah lainnya bagi orang yang dianggap menghina kehormatan dan kewibawaan DPR.

"Problem etik dicampur aduk dengan problem hukum. Kalau DPR mau ikut campur dalam penegakkan hukum, itu tidak boleh. Itu urusan polisi. Misalnya orang dianggap menghina DPR atau apa, itu tidak perlu dewan etik. Itu sudah ada di KUHP," kata Mahfud ditemui di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Rabu (14/2/2018).

Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan DPR semestinya tidak ikut campur dalam penanganan hukum. Wilayah tersebut semestinya diserahkan penuh kepada kepolisian dan kejaksaan.

Selama ini, kata Mahfud, masalah penghinaan sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Proses hukum melalui aparatnya pun dinilai sudah berjalan. Sehingga, kata Mahfud, MKD DPR tidak perlu lagi dilibatkan.

"DPR itu lembaga demokrasi. Untuk menegakkan hukum, ada lembaga nomokrasi. Nomokrasi itu ada pengadilan, polisi, jaksa, dan sebagainya," tambah Mahfud. 

Pekan ini rapat paripurna DPR mengesahkan revisi UU MD3 yang baru. Beberapa pasal yang dimasukkan DPR melalui pembahasan tertutup di Badan Legislasi kemudian menimbullkan kontroversi. 

Pasal-pasal tersebut di antaranya mengatur pemanggilan paksa melibatkan polisi untuk pemeriksaan MKD, perlunya pertimbangan MKD untuk memeriksa seorang anggota dewan yang terjerat kasus hukum, serta bertambah kuatnya Mahkamah Kehormatan Dewan dengan kewenangan mempidanakan orang atau kelompok yang dianggap merendahkan martabat dan kehormatan DPR.

Baca juga:

Reaksi Polri

Pengesahan revisi UU MD3 itu juga memancing reaksi dari Kepolisian Republik Indonesia, terutama terkait pelibatan polisi untuk pemanggilan paksa terhadap orang yang akan diperiksa Mahkamah Kehormatan DPR. 

Pasal kontroversial itu tercantum pada pasal 73 UU MD3. Pasal itu menyatakan, polisi wajib membantu menjemput paksa pihak yang dipanggil DPR. Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai pedoman kerja polisi, tidak mengatur hal tersebut.

Juru bicara Mabes Polri Martinus Sitompul mengatakan Polri tidak memiliki hukum acara untuk wajib menjemput paksa pihak yang akan dipanggil DPR. Meski begitu Polri masih mengkaji adanya benturan antara UU MD3 itu dengan KUHAP, serta UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI. 

"Kami melakukan kajian apakah ini selaras dengan aturan-aturan yang melekat atau tidak. Sekarang menunggu kajian. Jangan terlalu maju ke depan lah. Kita step by step dulu," kata Martinus di Jakarta, Rabu (14/2/2018).

Sebelum UU MD3 direvisi, DPR tidak bisa memanggil pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diminta penjelasan oleh Panitia Khusus Angket KPK. DPR sempat meminta kepolisian memanggil paksa pemimpin KPK, tetapi polisi menilai tidak ada aturan yang mewajibkan mereka melaksanakan hal tersebut.

Martinus mengatakan, tim hukum Polri tengah mengkaji secara menyeluruh mengenai UU MD3, yang sudah disahkan itu. Hal tersebut mereka lakukan untuk mengambil sikap.

"Bagi kami, bagian dari eksekutif, adalah melakukan kajian-kajian terlebih dulu," kata dia.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman 

  • revisi UU MD3
  • UU MD3
  • uji materi UU MD3
  • menghina kehormatan DPR
  • DPR antikritik
  • Mahfud MD

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!