BERITA

Good Pitch, Menyusun Strategi untuk Film Dokumenter

"Dua film dokumenter dari Indonesia masuk dalam seleksi program Good Pitch 2017. "

Dua film dokumenter Indonesia melaju di ajang Good Pitch 2017. (Foto: goodpitch.org)
Dua film dokumenter Indonesia melaju di ajang Good Pitch 2017. (Foto: goodpitch.org)

KBR, Jakarta - Dua film dokumenter Indonesia, Planting is Resistance (Kurnia Yudha) dan Song for My Children (Shalahuddin Siregar) bersama tiga film lainnya dari Asia Tenggara, terpilih untuk ikut dalam program Good Pitch. Good Pitch adalah ajang yang “menjodohkan” film dengan para change makers yang focus pada isu sosial dan lingkungan. Dari situ, diharapkan tercipta koalisi dan kampanye baru yang berdampak bagi masyarakat. 

Di Indonesia, Good Pitch bekerjasama dengan In-docs, organisasi nirlaba yang membantu pembuat film documenter. Good Pitch akan digelar Mei 2017 dan prosesnya sudah dimulai sejak akhir tahun ini. 

Reporter KBR, Asrul Dwi berkesempatan berbincang dengan Beadie Finzi, pendiri dan direktur BRITDOC & Good Pitch serta Amelia Hapsari, direktur program In-Docs mengenai perkembangan film dokumenter di Indonesia serta penyelenggaraan Good Picth kali pertama ini. 

Ini kali pertama diselenggarakan di Asia Tenggara, tepatnya di Jakarta. Seperti apa proses Good Pitch bisa sampai ke Indonesia?

Beadie Finzi: Sebenarnya kita sudah berkolaborasi selama tiga tahun untuk mengodok program ini, tiga bertemu tiga tahun lalu di Australia pada gelaran pertama Good Pitch. Sejak itu kami bertukar pikiran mengenai bagaimana program ini bisa diselenggarakan di Asia Tenggara, karena biasanya Good Pitch memang disesuaikan dengan kawasan dimana program ini diselenggarakan.

Menurut Anda seperti apa perkembangan film dokumenter di Indonesia?

Beadie Finzi: Sangat menjajikan, kami punya dahaga akan film-film dari kawasan Asia, termasuk Indoensia. Saya pikir abad 21 ini milik orang Asia. Kami perlu tahu apa yang terjadi, yang dipikirkan serta rasakan, isu-isu apa yang jadi perhatian. Kami butuh lebih banyak lagi film-film yang punya sajian itu. Maka dari itu kami menjalin kerjasama dengan In-docs yang banyak membantu para pembuat film dokumenter di Indonesia. Mereka (In-docs) harus dibantu dengan lebih banyak sumber daya dan pendanaan.

Persoalan itukah yang jadi kendala tumbuhnya film dokumenter kita?

Amelia Hapsari: Ya, kita punya banyak pembuat film dokumenter yang berbakat. Sayangnya semuanya masih terbatas. Makanya itu kita bantu dengan platform ini, supaya para pembuat film dokumenter bisa langsung mengjangkau penonton dan sumber pendanaan untuk memproduksi lebih banyak lagi film dokumenter.

Kenapa tahun 2017 dianggap tahun yang tepat untuk penyelenggaraan Good Picth di Asia Tenggara khususnya Indonesia?

Amelia Hapsari: Saya pikir, sekarang waktu yang tepat lantaran situasi sekarang yang mengindikasikan rapuhnya demokrasi kita. Untuk kita butuh memperkuatnya dengan kolaborasi bersama lembaga-lembaga atau kolaborator baru yang peduli akan keberagaman, toleran, peduli lingkungan serta minoritas. Dan Good Pitch menyediakan ruang itu: menghubungkan para pembuat film dokumenter dengan para kolaborator dan menggerakkan masyarakat dengan menggunakan film sebagai medianya.

Dari Indonesia ada dua proyek film yang terpilih. “Song for My Children” bercerita mengenai Tragedi 65 dan “Planting is Resistance” soal konflik agraria. Keduanya tidak secara langsung berbicara mengenai demokrasi dan toleransi.

Amelia Hapsari: Toleransi juga berarti memberi suara kepada mereka yang terbungkam. Ya memang sekarang ini situasinya orang-orang lebih banyak berbincara mengenai toleransi dalam konteks agama, tapi isu sebenarnya ya tadi, memberi suara kepada mereka yang membutuhkan seperti para petani yang membela tanahnya dan korban tragedi 65. Itu juga penting untuk dibicarakan. 

Bagaimana proses kurasi proyek film yang terseleksi?

Beadie Finzi: Sulit sekali menyeleksi proyek-proyek film yang masuk. Pada prinsipnya, kita mengutamakan kekuatan bercerita dari film juga kemungkinan bagaimana kita bisa membuka ruang untuk kerja sama itu. Dan film-film yang terpilih, punya cara bercerita yang sangat baik dan berhasil menggambarkan ruh dari persoalan yang difilmkan.

Potensi apa yang dimiliki dua film dari Indonesia itu, terutama untuk para penonton?

Beadie Finzi: Dokumenter punya kapasitas yang besar untuk menjangkau penonton. Sayangnya kita belum bisa menggunakan sepenuhnya lantaran belum ada banyak ruang yang menyediakan diri untuk pemutaran. Ada tv, bioskop, dan pemutaran di festival-festival. Tapi, kita juga perlu mencari ruang-ruang lain, seperti sekolah, gereja, atau bahkan parlemen sehingga film-film dokumenter itu tepat sasaran dan muncul dialog sesudahnya. Jadi, Good Picth ini membantu film-film itu untuk bertemu dengan rekanan potensial sehingga jangkauan lebih luas. 

Amelia Hapsari: Kita membantu para film pembuat film untuk menyusun strategi distribusi yang tepat sasaran sehingga ada perubahan di dalam masyarakat terkait isu-isu yang disajikan di dalam film. Bahkan kalau perlu, kami juga bisa mempertemukan para pembuat film ini dengan korporasi jika memang sesuai value mereka. 

Kalau seperti itu, apa nanti jadinya akan ada komproni?

Beadie Finzi: Selalu ada strategi. Kita juga perlu menganalisa kekuasaan itu sehingga kita bisa menentukan rencana mana yang potensial dan bisa dijangkau. Daripada menunggu kolaborasi (dengan pemerintah atau korporasi) itu terjadi secara tidak sengaja, kita bisa mendesainnya. Pintu mana yang harus diketuk, entah memulainya dengan dialog, mungkin dengan istri politisi. Tergantung dampak atau perubahan seperti apa yang ingin dicapai. Tidak mudah tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. 

  • Film Dokumenter
  • In-Docs
  • Good Pitch

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!