BERITA

Penerimaan dari SDA, Menkeu: Sangat Rendah

Penerimaan  dari SDA, Menkeu: Sangat Rendah

KBR, Jakarta- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan penerimaan negara dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA) di Indonesia masih sangat rendah. Padahal, kata dia, sektor SDA bisa menyumbang pendapatan negara yang besar, dari kontribusinya dalam membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

"Naturally, di Indonesia kita punya pertambangan, perkebunan, yang semuanya menggambarkan bahwa bumi Indonesia is so rich, yang juga menjadi salah satu pilihan. Meskipun kalau bicara dua sektor ini, kita bicara governance lagi. Dan kalau saya sebagai Menteri Keuangan, saya sedih saja, karena kita menerbitkan banyak izin usaha pertambangan, kontrak karya, dan lain-lain, produksinya bayar, harusnya bayar pajaknya juga cukup lah, jangan kebangetan," kata Sri di Balai Kartini, Senin (19/12/16).


Sri mengatakan, pemerintah memang memiliki andil besar dalam pemanfaatan SDA tersebut, misalnya dari segi kebijakan tanah, perizinan, dan investasi infrastruktur. Kata dia, swasta sebagai pelaku usaha juga harus mengikutinya dengan menaati ketentuan yang berlaku, termasuk membayar PNBP sebagai kontribusinya kepada negara.


Sri berujar, saat ini PNBP memiliki tantangan yang besar, karena penerimaannya semakin mengecil. Kata dia, target PNBP tahun ini saja sudah turun dibanding 2015. Alasannya, PNBP sangat tergantung dari harga dan lifting minyak, karena sampai sekarang masih didominasi dari SDA minyak dan gas.


Pada 2017, PNBP dari SDA migas diperkirakan sebesar Rp 63 triliun, dari total PNBP Rp 250 triliun. Padahal, saat harga minyak tinggi, PNBP SDA migas bisa sampai Rp 200 triliun. Belum lagi dengan lifting minyak yang terus menurun. Kata dia, hal serupa juga terjadi pada PNBP dari SDA minerba dan batubara. Pasalnya, dari nonmigas dalam APBN 2017, ditarget Rp 17 triliun.


Sri berujar, PNBP juga diperoleh dari bidang lainnya, yakni kehutanan, meski nilainya stagnan di kisaran Rp 4 sampai 5 triliun. Demikian halnya dari sektor perikanan, yang menurut studi Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa mencapai lebih dari Rp 60 triliun. Padahal, saat ini PNBP kelautan hanya sekitar Rp 500 miliar per tahun, atau bahkan berapa tahun ke belakang ini hanya Rp 200 miliar.


Ekspor Konsentrat Minerba


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan masih memerlukan waktu sekitar sepekan sebelum membawa draf Peraturan Pemerintah (PP) nomor 1 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara (Minerba) ke rapat terbatas kabinet bersama Presiden Joko Widodo. Darmin mengatakan, dia masih harus menggelar rapat koordinasi sekali lagi untuk membahasnya.


Darmin berharap beleid itu bisa rampung tahun ini.


"Minerba, kita mungkin perlu waktu seminggu lagi lah, rakor sekali lagi, sebelum saya bawa ke ratas ke kabinet. (Tidak bisa diputuskan ke rakor? Kenapa masih alot?) Jangan tanya itu ke saya. Pokoknya, kita arahnya, akan diputuskan di Ratas. Tetapi masih perlu rakor sekali lagi. (Yang paling alot bagian apa?) Karena ya ada yang menganggap kalau dikasih kelonggaran, nanti smelternya enggak jalan," kata Darmin di kantornya, Senin (19/12/16).


Darmin mengatakan, aturan hilirisasi mineral tetap harus dijalankan, dengan membangun smelter. Namun, nyatanya hingga saat ini, masih banyak perusahaan yang belum memenuhi kewajibannya membangun smelter. Sehingga, kata dia, pemerintah ingin memberikan solusi berupa pelonggaran izin ekspor konsentrat pada 2017.


Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Panjaitan mewacanakan revisi PP nomor 1 tahun 2014, saat dia menjabat sebagai Pelaksan tugas (Plt) Menteri ESDM. Luhut berkata, perusahaan yang belum membangun smelter, tetap bisa mengekspor produksinya, dengan syarat membayar bea keluar.


Editor: Rony Sitanggang


 

  • ekspor konsentrat
  • menko perekonomian darmin nasution
  • Menteri Keuangan Sri Mulyani

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!