ASIACALLING

Membongkar Sejarah Kelam Bangsa Lewat Pertunjukkan Boneka

Pertujukkan boneka di Festival Boneka di Yogyakarta. (Foto: Nicole Curby)


Indonesia punya sejarah panjang dalam dunia pewayangan.

Tapi sejak tahun 2006, kelompok boneka Papermoon hadir dengan memberi sentuhan modern pada tradisi ini.

Bulan Desember ini, Papermoon menyelenggarakan Pesta Boneka, festival boneka internasional di kampung halaman mereka Yogyakarta. Acara ini menampilkan boneka-boneka terbaik yang mereka temui dalam perjalanan mereka.

Nicole Curby bertemu pendiri Papermoon, Maria Tri Sulistyani untuk mencari tahu lebih lanjut. 

Boneka seekor anjing berwarna biru, seorang pria tua dan dua orang anak tampak dihidupkan di atas panggung.

Para dalang Ria, Irwan, Beni, Anton dan Pambo berputar di atas panggung menggunakan kursi beroda, memberi nafas dan gerakan pada karakter boneka-boneka itu. Para dalang menggerakan kepala, tangan dan kaki boneka-boneka itu dengan berseni penuh dengan emosi.

Pertunjukan ini bercerita tentang kisah seorang pria tua yang mengumpulkan buku-buku tua dan bagaimana anak-anak terpikat dengan buku-buku itu.

Cerita ini belum lama diciptakan dalam sebuah pelatihan bersama anak-anak di Bangkok.

Boneka-boneka itu tingginya sekitar satu meter dan terbuat dari bahan alami dan teknik sederhana. Kepala boneka berukuran besar dan memakai baju jahitan rumahan.

Ini penjelasan Maria Tri Sulistyani atau yang akrab dipanggil Ria, pendiri Papermoon.

“Kami membuat strukturnya dari rotan, bambu atau kayu dan membungkusnya. Untuk kepala, kami menggunakan teknik kertas yang sederhana. Untuk menghubungkannya kami menggunakan tali atau anyaman, atau sesuatu yang mudah ditemukan di sekitar kita,” jelas Ria. 

“Bagi kami, bahan-bahan itu sudah menyuarakan sesuatu. Jika Anda ingin menampilkan sesuatu yang sangat rapuh, kertas tipis mungkin adalah bahan terbaik.”

Bagi boneka yang tak bersuara dan hanya punya satu ekspresi wajah yang tidak bergerak, mereka terlihat luar biasa karena tampak bisa mengekspresikan emosinya.

Ria mengatakan gerak-gerik dan gerakan adalah unsur yang sangat penting.

“Kami berpikir bahasa pertama untuk boneka adalah gerak gerik mereka karena mereka tidak bersuara. Tapi gerakan juga penting. Tapi latihannya cukup sulit karena kadang lebih mudah untuk mengatakan ‘saya sedih’, daripada menunjukkan kalau Anda sedih. Dan yang sedih bukan ANDA tapi boneka itu yang sedang sedih,” ungkap Ria.

Wayang boneka bayangan di Indonesia punya sejarah panjang - pertunjukan wayang semalam suntuk yang kadang mengusung cerita politik yang disamarkan dengan hati-hati.

Selama puluhan tahun di bawah pemerintahan yang otoriter, pertunjukan menggunakan karakter fiksi menjadi sarana komunikasi politik kepada masyarakat. 

“Kadang-kadang masyarakat perlu media untuk berbicara. Contohnya kadang ada orang yang lebih nyaman bicara ke pada sebuah objek ketimbang bicara langsung pada orang lain. Jadi wayang atau boneka bisa jadi jembatan.”

Bentuk boneka-boneka Papermoon jauh berbeda dari wayang tradisional Jawa ...

Tapi mereka juga bisa menjadi sarana untuk menyuarakan hal-hal yang tidak bisa disuarakan.

“Beberapa penampilan kami mengambil latar belakang sejarah Indonesia. Bicara tentang bagian tergelap dari sejarah Indonesia, yang tidak banyak orang bisa menyuarakannya dengan keras dan bebas. Kami melihat kalau panggung boneka bisa menjadi medium untuk menyuarakannya,” kata Ria.

Pertunjukkan Papermoon berjudul Secangkir Kopi Dari Playa menceritakan kisah nyata pasangan muda yang dipisahkan oleh kekerasan politik pada tahun 1965, ketika setengah juta orang yang diduga komunis dibantai di seluruh negeri ...

Setelah perpisahan itu, yang perempuan tetap tinggal di Indonesia; sementara yang sang pria tidak pernah bisa kembali ke tanah air. Menjaga janjinya untuk tidak pernah menikah orang lain, Pak Wi, nama sang pria, tetap tinggal sendirian di pengasingan di Kuba.

Cerita ini sebuah upaya untuk mendekatkan penonton pada apa yang dianggap isu sensitif secara politis.

“Pertunjukkan itu adalah proses yang luar biasa bagi kami. Bukan hanya tentang tepuk tangan saat kami di atas panggung. Tapi kami masuk lebih dalam ke hidup seseorang, menguak pengalaman seseorang yang sudah disimpan selama 50 tahun. Itu karena perempuan yang karakternya kami tampilkan tidak pernah menceritakan kisah ini kepada siapa pun,” ungkap Ria.

Bagi Ria, keajaiban masa anak-anak dari boneka menarik penonton dengan cara yang berbeda dari yang dilakukan teater lain.

“Jika kita membawa boneka ke ruang publik, orang-orang akan segera berkumpul, mengambil foto, menyentuhnya, dan ingin lebih dekat.”

Di Festival Boneka, para penonton terlihat sangat dekat dengan boneka dan para pembuatnya, bermain dan berfoto dengan mereka.

 

  • Nicole Curby
  • Maria Tri Sulistyani
  • Papermoon
  • festival boneka
  • Secangkir Kopi dari Playa

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!