OPINI

Duka Pidie Jaya

Masjid Jamik Nur Abdullah ambruk akibat gempa.

Hari masih gelap dan warga di Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, masih terlelap. Jelang pagi, goncangan kuat selama 30 detik membangunkan mereka. Gempa berkekuatan 6,4 skala Richter itu, menurut salah satu warga, sampai menjatuhkan barang-barang seperti lemari, televisi, juga perabotan rumah tangga. Beberapa rumah dan masjid roboh. Saat itu juga, warga berlarian keluar rumah, berhamburan di jalanan.

Hingga semalam, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, ada 90an korban tewas, 120an luka berat, dan hampir 500 orang luka ringan. Sementara itu, dua ratusan rumah dan ruko rusak berat hingga roboh. Untuk korban yang luka ringan-berat, Rumah Sakit Umum (RSU) Pidie Jaya kewalahan. Belakangan mereka dirujuk ke Sigli, Bireuen, dan Banda Aceh.

Gempa juga membuat warga Aceh ketakutan, khawatir smong datang. Meski sudah 12 tahun berlalu, peristiwa gempa disusul smong pada 26 Desember 2004, masih membekas. Ketika itu, kurang lebih 500 ribu nyawa melayang -  tercatat sebagai bencana terbesar dalam sejarah.

Sebagai daerah yang rawan gempa, maka sudah semestinya pemerintah mencegah korban jatuh lebih banyak. Setidaknya menyarankan warganya membangun rumah yang tahan gempa. Di Desa Nglepen, Yogyakarta, misalnya, warga membangun rumah berbentuk kubah atau dome. Bentuk pondasinya melingkar sehingga ketika ada gempa, struktur pondasi bakal mengikuti gerakan tanah. Jepang, negara yang rawan gempa, yang memperkenalkan rumah ini. Peristiwa gempa Pidie Jaya mesti jadi alarm bagi pemerintah: tak hanya cepat tanggap yang dibutuhkan, tapi juga mitigasi. 

  • gempa Pidie Jaya
  • BNPB
  • mitigasi bencana

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!