SAGA

[SAGA] Kenalin Yuk, Sepuluh Duta Petani Muda

[SAGA] Kenalin Yuk, Sepuluh Duta Petani Muda


KBR, Jakarta - “Itu membuat saya tergerak. Bagaimana caranya agar petani bisa lebih makmur. Misalnya dengan mengedukasi mereka, menghubungkan dengan pasar, termasuk saya juga berkecimpung di dalamnya,” ujar Rici Solihin.

Namanya Rici Solihin, usianya masih 26 tahun. Bermodalkan ilmu dari Manajemen Bisnis di Universitas Padjajaran Bandung, ia lantas memberdayakan petani paprika di Desa Pasir Langu, Bandung Barat.


Rici –begitu ia disapa, ingin melepaskan petani dari jerat tengkulak yang kerap melaratkan. Pasalnya, petani hanya mendapat 30 persen, sisa untungnya dinikmati tengkulak.


“Kenapa mereka memilih untuk mendistribusikan hasil pertaniannya ke tengkulak? Mereka tidak memiliki pemahaman informasi dan akses pasar seperti apa. Kedua, mereka tidak memiliki modal. Ketiga, mereka juga tidak mengetahui cara mengelola hasil pertanian.”


Pria berkacamata ini mulai mendampingi para petani sejak 2012 silam. Dari situ, ia merintis tanaman paprika. Di saat bersamaan, ia juga menggandeng para petani lokal untuk mendirikan komunitas yang dinamakan Segar Barokah.


Melalui komunitas itu, Rici akhirnya bisa memotong rantai panjang yang selalu menguntungkan tengkulak.


“Yang menjadi pembeda saya dengan orangtua saya adalah; jika orangtua saya lebih fokus pada pemasarannya. Lalu saya mengubah mindset teman-teman petani untuk membangun kedaulatan pangan lokal, sehingga tidak bergantung pada produk impor.”


Kini, kebun paprika miliknya yang seluas 3.000 meter persegi menghasilkan satu ton paprika dengan omzet sekitar Rp20 juta per bulan. Dan jika digabung dengan paprika kebun petani binaan, omzet mencapai Rp50 juta per bulan.


Distribusi paprikanya malah telah sampai ke Bandung, Jakarta, dan Kepulauan Riau, Batam, Jambi, Pontianak. Bahkan pada 2012-2013, paprika desanya dieskpor ke Singapura.


Serupa dengan Rici Solihin, ada I Gede Artha Sudiarsana, pemuda berusia usia 21 tahun ini memelopori budidaya jamur tiram di Karangasem, Bali.


“Saat saya melihat fenomena di desa saya, anak-anak mudanya kebanyakan memilih sektor lain semisal parawisata, cafe-cafe, perhotelan dan lain sebagainya. Hal itu lah yang menyebabkan saya ingin kembali ke desa, setelah kuliah di Universitas Udayana. Saya ingin mengembangkan potensi desa saya. Sebab potensi yang ada di desa sangat luar biasa apabila dikembangkan dengan serius," kata I Gede Artha Sudiarsana.


"Saya melihat petani adalah orang-orang yang sudah tua. Secara teknologi dan pengetahuan masih kurang. Saya merasa diperlukan anak-anak muda untuk mengembangkan potensi desa sehingga kedaulatan pangan bisa tercapai.”


Kerja keras Artha berlanjut dengan membentuk ‘Gede Jamur’ –usaha pertanian jamur. Belakangan, dia menjadi produsen jamur terbesar di Bali dengan memanfaatkan limbah kayu sebagai medium tanaman jamur.


Malahan, produk jamurnya ditangani secara organik tanpa menggunakan bahan kimia.


Pemuda yang masih berstatus sebagai Mahasiswa di Universitas Udayana ini punya cita-cita, setelah lulus nanti ingin menekuni profesi orangtua dan saudara-saudara kandungnya; petani.


“Di desa saya, masih saya saja anak muda yang memilih sektor pertanian. Tapi saya sudah membentuk kelompok tani yang saya namakan Pertiwi Besari. Tujuannya untuk mengajak generasi muda untuk bertani. Kemudian saya juga memberikan pemahaman kepada petani setempat untuk menggunakan teknologi yang tidak konvensional,” sambungnya.


Dan dari usaha jamur itu, omzet yang dikantongi Rp50 juta per bulan.




Duta Petani Muda


Rici Solihin dan I Gede Artha, adalah duta petani muda pilihan LSM Oxfam Indonesia. Selain dua pemuda ini, ada delapan lagi.


Mereka terpilih dari lima ratusan yang mendaftar. Salah satu juri, Dini Widiastuti mengatakan, Duta Petani Muda merupakan program yang tujuannya memotivasi para petani muda –mengingat jumlah petani muda saat ini terus menurun.


“Kami ingin mencari petani muda. Tapi bukan petani seperti orangtuanya, yang selalu memegang cangkul saja. Melainkan petani yang lebih mengedepankan teknologi, petani yang bisa membuka jaringan hingga ke sektor logistik dengan memanfaatkan teknologi. Misal melalui branding dan packaging yang bagus, sehingga bisa diterima pasar luas,” kata Dini Widiastuti.


Bersandar pada sensus pertanian 2015, usia petani muda di atas 45 tahun mencapai 59,3 persen dengan pendidikan terbesar adalah tingkat SD yakni 70,66 persen.


Dini juga menyebut, rendahnya minat anak muda terhadap profesi petani karena mereka menilai pekerjaan tersebut tak menjanjikan. Selain itu, petani juga dianggap selalu bergelut dengan kemiskinan.  


“Gerakan untuk mendorong pertanian sudah banyak. Tapi pertanyaannya, siapa yang ingin bekerja di sektor pertanian? Tidak ada anak-anak mudanya. Sementara jumlah petani anak-anak muda terus menurun. Banyak mereka yang tidak tertarik lantaran petani identik dengan kemiskinan. Sedangkan kalau dilihat dari sisi non-ekonominya, anak-anak muda banyak yang tidak memilih menjadi petani karena menganggap profesi petani tidak menarik, tidak cool, dan tidak kekinian. Kami ingin mencoba mengubah paradigma semacam itu.”






Editor: Quinawaty

 

  • petani muda
  • duta petani muda
  • oxfam indonesia
  • rici solihin
  • i gede artha sudiarsana

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • hani7 years ago

    keren banget, semoga makin banyak bibit bibit muda berkualitas lainnya di sektor pertanian, aamiin