BERITA

Krisis Tembagapura, Penggunaan Aparat Gabungan Dinilai Berlebihan

Krisis Tembagapura, Penggunaan Aparat Gabungan Dinilai Berlebihan

KBR, Jakarta-  Pengerahan aparat gabungan  untuk mengatasi krisis di Tembagapura, Papua dinilai berlebihan. Analis Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth beralasan  apabila TNI dan Polri menyebut mereka kelompok kriminal bersenjata (KKB), berarti tak logis apabila memperlakukannya seperti kelompok separatis.

Kata Adriana, pemilihan kata untuk menyebut kelompok masyarakat Papua yang menginginkan merdeka juga belum jelas, sehingga menimbulkan kebingungan.

"Ketika ada pasukan gabungan ke sana, Polri bersama TNI, menurut saya menjadi berlebihan reaksinya. Kalau dari berita saja, mereka kan disebut kelompok kriminal bersenjata. Kalau kelompok kriminal kan bukan separatis dong. Kenapa harus dihadapi dengan pasukan gabungan? Itu kan harus jelas. Didatangkan atau tidak didatangkan itu persoalan. Tetapi ada bisnis yang dikelola Polri, ada bisnis yang dikelola TNI, itu ada. Yang menguasai daerah konflik siapa? Yang punya sistem, yang punya struktur sampai ke daerah itu siapa? Berarti kan orang-orang itu yang paling tahu," kata Adriana kepada KBR, Senin (20/11/2017).

Adriana menilai, akar masalah di Tembagapura adalah soal daerah tailing antara pendatang dan masyarakat Kampung Banti dan Kimbely. Kata Adriana, penyebutan KKB dan Organisasi Papua Merdeka oleh Polri dan TNI, merupakan persoalan politis lantaran saat ini mendekati tanggal 1 Desember yang merupakan hari ulang tahun OPM. Sehingga, kata dia, pengiriman tim gabungan TNI/Polri juga tak diperlukan.

Adriana berujar, sebetulnya polisi dan militer menjadi bagian dari kelompok yang sangat diuntungkan dalam eksploitasi sumber daya Papua. Adriana berkata, TNI dan Polri menjadi kelompok yang sangat mengerti dan mampu mengendalikan wilayah Papua. Meski kedua institusi itu selalu berkelit dengan menyebut oknum, kata Adriana, keterlibatan TNI dan Polri dalam bisnis di Papua juga tak terbantahkan.

Adriana menyarankan pemerintah memperjelas situasi di Tembagapura saat ini, untuk mencari solusi kongkret atas krisis yang terjadi. Adriana beralasan, pemerintah juga wajib bersikap tegas kepada siapapun yang terbukti menjadi otak dan diuntungkan dari krisis Tembagapura. Sementara itu, penyelesaian dengan mengirim tim polisi maupun militer tak akan langsung menyelesaikan masalah.

Menanggapi dugaan keterlibatan aparat,   Juru bicara Polda Papua AM Kamal membantah.  Menurut dia selama ini polisi memang terlibat menjaga kawasan tambang PT Freeport Indonesia. Namun selama ini belum pernah ada keluhan dari masyarakat terkait ulah  aparat.

"Rekan-rekan TNI dan Polri di sana ada Satgas Amole. Belum pernah ada keluh kesah dari warga yang terjadi seperti itu," kata Kamal, Senin(20/11).

Dia berjanji kepolisian akan mendalami soal itu. Kamal mengatakan  di kawasan Tembagapura memang banyak pendulang emas ilegal.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/11-2017/komnas_ham__mediasi_di_papua_harus_disertai_gencatan_senjata/93520.html">Komnas HAM: Mediasi di Papua Harus Disertai Gencatan Senjata</a> </b><br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/11-2017/krisis_tembagapura__tni_bantah_intimidasi_dan_batasi_pasokan_pangan/93440.html">Krisis Tembagapura, TNI Bantah Intimidasi dan Batasi Pasokan Pangan</a> <span id="pastemarkerend">&nbsp;</span></b></li></ul>
    

    Warga Desa Banti, Martina, membenarkan adanya kegiatan penambangan ilegal di sekitar Desa Banti dan Kimbeli. Kata dia, Kegiatan itu dilakukan oleh warga pendatang. Menurut dia, selama ini, para penambang ilegal itu dibawa masuk ke kawasan desa oleh aparat keamanan yang bertugas.

    "Itu anggota yang bawa naik bayar mobil Freeport. Mobil Freeport dibayar satu kepala Rp 1 juta. Dari Timika ke Tembagapura. Itu Koramil, sama anggota yang tugasnya di sini, dari Polri juga sama bisnis mereka," ujar Martina kepada KBR, Senin (20/11).

    Selama ini, akses keluar-masuk kawasan Tembagapura dijaga ketat oleh aparat keamanan. Warga yang mau keluar dari desa diharuskan meminta izin dan menunjukkan surat-surat identitas. Namun menurut Martina, para pendatang yang berasal dari desa lain maupun dari luar Papua justru diselundupkan masuk oleh oknum TNI/Polri.

    Martina juga menyebut sejak Jumat (17/11) pagi, aparat keamanan secara bertahap membawa turun para pendatang. Dia mengatakan mayoritas warga yang dievakuasi sehari-hari bekerja sebagai pendulang emas liar. Proses evakuasi ujarnya masih berlanjut hingga hari ini, Senin (20/11).

    Sementara itu warga asli desa menolak pergi. Mereka tidak merasa terancam sehingga mereka harus meninggalkan rumah mereka. Aparat keamanan sempat menyisir rumah warga pada hari Sabtu (18/11). Martina mengatakan mereka mengecek setiap benda tajam yang ada di rumah.

    "Dia (aparat) bilang begini, Saya bawa turun saya punya masyarakat dulu. Nanti baru belakangnya bicara kamu."

    Sementara itu, pemerintah menuding konflik di Tembagapura diakibatkan gerakan kemerdekaan Tentara Nasional Organisasi Papua Merdeka. Mereka menuduh TPN-OPM menyandera ribuan warga desa-desa di Tembagapura. Secara agresif, pemerintah pun melancarkan operasi militer.

    Meski begitu menurut pengakuan Martina, TPN-OPM sebetulnya tinggal di belakang gunung. Mereka jarang berkomunikasi dengan warga desa kecuali di waktu tertentu ketika meminta makanan. Selain itu, menurut dia, warga juga tidak merasa terintimidasi dengan kehadiran TPN-OPM.

    Editor: Rony Sitanggang

  • konflik bersenjata Papua
  • Aktivis Papua Merdeka
  • konflik papua
  • Organisasi Papua Merdeka
  • TPN-OPM
  • Organisasi Papua Merdeka (OPM)
  • kekerasan Tembagapura
  • TPN-PB
  • Krisis Tembagapura
  • Papua Merdeka

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!