BERITA

Amnesty International Minta DPR Kaji Ulang Keterlibatan TNI di Papua

Amnesty International Minta DPR Kaji Ulang Keterlibatan TNI di Papua

KBR, Jakarta - Lembaga Amnesty International Indonesia mendesak Komisi I DPR untuk mengkaji ulang pengerahan pasukan TNI dalam jumlah besar untuk pengamanan konflik di Papua. 

Pelibatan pasukan TNI itu dilakukan pemerintah dengan alasan untuk mengejar kelompok bersenjata dari Organisasi Papua Merdeka (OPM)---yang oleh pemerintah disebut Kelompok Kriminal Bersenjata.

Direktur Amnesty Indonesia, Usman Hamid mengatakan anggota DPR khususnya di Komisi I harus memberi target berapa lama waktu penjagaan dan banyaknya petugas jaga yang diizinkan, sehingga pengerahan pasukan tidak menimbulkan ketakutan pada masyarakat, yang akhirnya menimbulkan masalah baru. 

Ia juga mengatakan banyak aspek yang belum jelas, yang seharusnya dipertimbangkan oleh DPR sebagai pemberi putusan politik untuk menurunkan anggota militer---mengingat pelibatan militer dalam penjagaan harus dilandasi dengan kebutuhan.

"Seberapa besar ancaman bersenjata itu di Papua? Ini harus di-assesment ulang oleh Komisi I DPR. Bukankah, misalnya, seberapa cukup itu ditangani kepolisian? Seberapa tidak mampu kepolisian menghadapi ancaman kelompok bersenjata di Papua? Bukan berarti militer langsung dilibatkan. Polisi juga punya wewenang menangani KKB semacam itu, dalam hal penegakan hukum, penertiban publik, menjaga keamanan masyarakat, mengontrol kejahatan, atau keterlibatan publik," kata Usman kepada wartawan di gedung LIPI, Jakarta, Selasa (21/11/2017).

Baca juga:

Butuh Persetujuan DPR

Usman Hamid mengatakan selain perlu mempertimbangkan waktu dan jumlah dalam pelibatan TNI di Papua, DPR juga harus mempertimbangkan penggunaan senjata serta anggaran yang dikeluarkan untuk para anggota militer yang diturunkan.

"Kalau polisi dianggap tidak mampu, apa alasannya? Kalau TNI diturunkan seberapa besar? Berapa lama? Itu kan pelibatan TNI harus atas persetujuan Komisi I DPR. Dan pelibatan TNI itu tidak bisa permanen, harus diukur sesuai kerangka waktu yang dibutuhkan," tambah Usman.

Untuk menciptakan keamanan di Papua, kata Usman Hamid, seharusnya pemerintah mengutamakan pendekatan secara damai dengan berdialog. Menurut Usman, konsorsium United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pernah mengupayakan dialog antarmasyarakat Papua dan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik tersebut. Namun pemerintah memilih mengedepankan pengamanan dengan aparat militer.

"Seharusnya pemerintah lebih mengutamakan jalan berdialog. Saya pikir upaya itu gencar dilakukan bahkan oleh masyarakat OPM. Itu sangat dibutuhkan untuk menghindari adanya kekerasan dan pelanggaran HAM," ujar Usman.

Usman mengatakan jalan damai untuk konflik Papua seharusnya bisa diselesaikan seperti saat pemerintah menyelesaikan konflik di Aceh.

Bekas Koordinator LSM Kontras Usman Hamid juga menambahkan banyak masalah yang mendasari konflik di Papua bukan hanya melulu soal ekonomi. Beberapa kajian, kata Usman, menyebut bahwa konflik Papua terjadi karena masalah sengketa lahan, penyelundupan binatang, penebangan liar sampai penyelundupan senjata. Beberapa aspek tersebut juga dianggap menjadi latar belakang terjadinya konflik di Papua.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman 

  • Tembagapura
  • Krisis Tembagapura
  • pelanggaran HAM papua
  • Kondisi keamanan Papua
  • krisis keamanan Papua
  • konflik papua
  • amnesty international
  • Amnesty Indonesia

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!