SAGA

[SAGA] Menanggung Sakit Karena Rokok, Haykal dan Zainudin Berontak

[SAGA] Menanggung Sakit Karena Rokok, Haykal dan Zainudin Berontak

KBR, Jakarta - “Menghirup udara, kemudian di keluarkan dari saluran makan bukan paru-paru. Jadi kalau kalian suka bersendawa, itu lah yang kami pakai. Itu suara kami untuk komunikasi.”

Zainudin menunjukkan bagaimana caranya ia, mengeluarkan suara dan berbicara. Pria berusia 45 tahun ini, tak memiliki laring. Padahal organ itu begitu penting untuk pembentukan suara –selain bernapas dan menelan. Dan, Zainudin telah kehilangan laring sejak usia 23 tahun.


Semua bermula kala 1995. Zainudin muda merasakan sesak napas yang luar biasa hebat. Orangtuanya lantas buru-buru memboyongnya ke rumah sakit. Di situlah, ia, divonis menderita tumor laring.


“Ke dokter THT, ditarik lidah saya. Dokter bilang, ‘Anak ibu ada tumornya’. Saya langsung lemas dan orangtua juga lemas. Dokter bilang, tenggorokan harus dibolongin. Besoknya dioperasi karena saya sesak napas. Sudah sekarat. Kalau enggak dioperasi saya bisa meninggal,” terang Zainudin.


Dokter yang memeriksa Zainudin lantas bertanya kepada orangtuanya, apakah anak laki-lakinya itu perokok? Sang ibu menggelengkan kepala. Tapi dokter yang ada di hadapannya kembali mencecar apakah di rumahnya ada yang mengisap tembakau?


“‘Ada yang merokok di rumah?’. Kata ibu, ‘Iya’. Karena bapak saya sopir bus luar kota. Sopir kan untuk hilangkan kantuk, ya merokok.”


Keluarga Zainudin tinggal di perkampungan padat penduduk di Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Kumpul-kumpul, menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan. Tiap kali ada acara, sudah pasti saudaranya berdatangan. Dan merokok, tak pernah ketinggalan –termasuk sang ayah.


Di usia 14 tahun, Zainudin mengalami serak dan batuk. Tapi waktu itu, masih dianggap tak berbahaya. Hingga sakitnya tak kunjung sembuh, dia akhirnya berobat ke rumah sakit.


Operasi pengangkatan laring pada 1995, menyelamatkan nyawanya. Hanya saja, Zainudin merasa dunianya tak lagi sempurna. Suaranya hilang –ia tak bisa bicara. Zainudin mengalami depresi.


“Tahun 1995/1966 saya sempat depresi. Saya enggak mau ketemu orang. Karena gimana sih, komunikasi satu-satunya suara, hilang. Mau curhat, keluarkan uneg-uneg, perasaan, enggak bisa.”


Setahun lamanya Zainudin gagu. Untuk berkomunikasi menggunakan kertas dan pensil.


Di masa penyendirian itulah, dokter dan suster yang dulu mengoperasinya membujuk Zainudin agar mau datang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Setidaknya, ia bisa berkumpul bersama teman senasib juga berlatih berbicara.


“Saya dulu setahun tak bisa bicara. Untuk bisa bicara seperti ini tak mudah. Karena butuh kemauan, stamina yang bagus, kondisi yang prima. Soalnya yang kami pakai ini menggunakan saluran makan, dipakai bicara. Namanya esophagus.”


Zainudin bersama teman senasibnya itu, kemudian membentuk paguyuban. Pada 2013, perkumpulan ini dilirik Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI). Gayung bersambut, Zainudin akhirnya bergabung.

red


Di AMKRI, Zainudin bertemu Ibnu Haykal. Pemuda berusia 25 tahun ini divonis menderita asma tak murni karena selama hampir 10 tahun terpapar asap rokok.


“Aku divonis 2 SMP. Karena sering kena asap rokok. Sejak SD-SMP naik angkutan umum tiga kali. Tiap kali naik angkutan, enggak pernah bebas asap rokok,” kenang Haykal.


Mulanya, di usia 13 tahun, Haykal didera nyeri di bagian dada dan sesak napas. Di rumah sakit, dokter melihat paru-parunya bertumpuk asap rokok. Pertanyaan apakah ia merokok dilontarkan.  


“Karena dokter lihat penyebabnya ada banyak tumpukan asap di paru-paru. Dokter nanya, ‘Kamu merokok?’. Nyokap juga marah-marah dan saya dituduh merokok,” sambungnya.


Sejak divonis mengidap asma tak murni, Haykal, harus menjalani pengobatan yang tidak mengenakkan. Pil-pil pahit harus ditelan.


Haykal yang bergabung dengan AMKRI saat duduk di Kelas 2 SMA Tangerang Selatan, mulai berkampanye –mengajak perokok agar mengurangi hingga berhenti merokok. Cara kampanyenya agak unik; menukar rokok dengan lollipop. Itu mengapa saban hari, ia mengantongi tiga permen.


“Ya aku minimal buat diri pribadi itu selalu sedia 3 batang lollipop. Misal di Taman Menteng, lagi olahraga ada yang merokok, atau di angkutan umum. Jadi aku siap sedia untuk menukar rokok dengan lollipop.”


Tak disangka, banyak anak muda yang mengikuti jejak Haykal –yang dinamakan Lollipop Exchange Agen. Mereka tersebar di Jakarta dan Tangerang Selatan.


“Kalau dari grup Just Let Me Breath, kami ada 70 orang di Jakarta dan 50 orang di Tangsel. Jadi ada 120 agen di Jakarta dan Tangsel siap jadi lollipop exchange, jadi kader lollipop untuk menukar rokok dengan lollipop mereka.”


Global Youth Tobacco Survey pada 2014 menyebut 3 dari 5 pelajar terpapar asap rokok di rumah dan di tempat umum. Selain itu, The Tobacco Atlas pada 2015 juga menyatakan rokok membunuh 1 dari 2 perokok dan paparan rokok meningkatkan risiko kanker, jantung, radang paru, dan diabetes.


Dan yang mencengangkan, lebih dari 2,6 juta anak di Indonesia adalah perokok aktif. Hal itu menurut Komnas Anak disebabkan melihat iklan rokok yang menggiurkan.


Helena Liswardi, Ketua Aliansi Masyarakat Korban Indonesia (AMKRI), mengatakan lembaganya berusaha menyadarkan masyarakat tentang bahaya rokok.


“Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kami adalah korban rokok yang inginnya tidak ada korban yang seperti kami ini. Ingin menyadarkan. Kami ikut dalam jaringan teman-teman lewat advokasi dan kampanye,” terang Helena.


Di AMKRI, ada seratusan anggota. Mereka terdiri dari penyintas rokok aktif-pasif juga warga biasa yang peduli. Khusus bagi korban rokok yang kehilangan laring, AMKRI memberikan latihan bicara esophagus.


“Kami setiap sebulan dua kali jemput bola. Ada latihan khusus dengan tuna laring. Latihannya di RSCM karena saya kerja di sana dan komunitasnya terbatas,” tutup Helena.





Editor: Quinawaty

 

  • perokok pasif
  • Ibnu Haykal
  • zainudin
  • AMKRI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!