BERITA

Kapal Perempuan: Agama dan Adat Hambat Penghapusan Perkawinan Anak

""Kalau kita lihat perda-perda berbasis pada syariah dan adat, itu mengatur seluruh otonomi perempuan, baik otonomi di ranah privat maupun publik.""

Dian Kurniati

Kapal Perempuan:  Agama dan Adat Hambat Penghapusan Perkawinan Anak
Ilustrasi (foto: Antara)


KBR, Jakarta- Institute Kapal Perempuan menyebut agama dan adat kerap menjadi penghambat upaya penghapusan perkawinan anak di Indonesia. Direktur Kapal Perempuan Misiyah mengatakan, nilai agama dan adat itu kerap menjadi bahan pertimbangan pemerintah daerah saat menyusun aturan di wilayahnya.

Menurut Misiyah, pada beberapa kasus, peraturan daerah (perda) yang diterbitkan itu justru melanggengkan pernikahan anak.

"Perda diskriminatif, memang ini sebenarnya produk yang tidak secara langsung seperti undang-undang perkawinan. Kalau kita lihat perda-perda berbasis pada syariah dan adat, itu mengatur seluruh otonomi perempuan, baik otonomi di ranah privat maupun publik. Dan ketika perda itu diberlakukan, maka proses-proses untuk penyadaran bahwa perkawinan anak itu harus dihapuskan menjadi tersumbat," kata Misiyah di Menteng, Jumat (25/11/16).


Misiyah mengatakan, ketentuan dalam UU nomor 1 tahun 1974 yang mematok usia minimal perempuan menikah adalah 16 tahun sudah tidak sesuai, karena usia anak-anak mencapai 18 tahun. Di beberapa daerah, perkawinan anak justru terkesan dilanggengkan dengan beberapa aturan daerah. Misiyah mencontohkannya dengan peraturan jam malam di Purwakarta. Pada ketentuan itu, remaja dilarang berkencan pada malam hari melebihi pukul 21.00. Apabila melanggar, maka pasangan, yang bisa saja masih anak-anak itu, akan dikawinkan. Kata dia, dampak peraturan itu akan meningkatkan perkawinan usia anak.


Meski begitu, kata Misiyah, lembaganya juga mencatat ada daerah yang bergerak progresif membuat aturan untuk menekan perkawinan anak. Misalnya, Peraturan Bupati Gunungkudul dan Kulonprogo, serta di Desa Ngadisari, Probolinggo yang menyatakan, anak di bawah 18 tahun dilarang dikawinkan. Selain itu, ada pula yang menyiapkan penghargaan bagi desa yang berhasil menurunkan angka perkawinan anak tertinggi. Kata Misiyah, penghentian perkawinan anak memerlukan keterlibatan semua pihak, karena regulasi di tingkat pusat masih mandek.


Komitmen Pemerintah

Pegiat perempuan yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Indonesia Beragam   mendesak pemerintah membuat komitmen politik menghentikan perkawinan anak. Koordinator Indonesia Beragam Dwi Rubi Kholifah mengatakan, perkawinan anak memiliki banyak dampak buruk, yang kemudian akan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sekaligus Indeks Pembangunan Gender.

Kata dia, Presiden Joko Widodo memiliki kewajiban menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak, karena Parlemen tidak menunjukkan keseriusannya merevisi UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

"Kalau pada 2014, Indonesia Beragam telah meluncurkan sepuluh agenda politik dan telah masuk dalam Nawacita Jokowi-JK, maka kami punya komitmen untuk mengawal implementasinya, termasuk penghentian pernikahan anak. Kita ingin menutut pemerintah, yang pertama adalah Presiden dan Wakil Presiden untuk memberikan komitmen politik dengan mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang tentang Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak," kata Dwi di Menteng, Jumat (25/11/16).

Dwi berujar, Indonesia Beragam juga menuntut Kementerian Kesehatan menerbitkan Keputusan Menteri tentang gerakan nasional penghentian perkawinan anak sebagai upaya menekan angka kematian ibu. Selain itu, ada pula desakan kepada Kementerian Agama agar menerbitkan kebijakan penghapusan perkawinan anak, melakukan penyadaran melalui kursus pranikah, serta memastikan petugas Kantor Urusan Agama tidak melegitimasi praktik perkawinan anak.


Kepada Menteri Pendidikan, Indonesia Beragam ingin agar program wajib belajar 12 tahun benar-benar dijalankan di semua wilayah. Adapun kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, organisasi ini ingin agar kementerian itu menjalankan rekomendasi Komite PBB untuk merevisi UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 tentang penentuan batas minumum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki, yakni 18 tahun.

Indonesia Beragam mencatat, sekitar 2 juta dari 7,3 juta perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Adapun data Badan Pusat Statistik pada 2014 mencatat 1,2 juta anak atau 1,6 persen dikawinkan pada usia 10 hingga 17 tahun, dengan mayoritas anak perempuan. Perkawinan anak itu menimbulkan problem lain, misalnya tingginya kasus kematian ibu melahirkan.

Perppu Mandek

Aktivis perempuan menyatakan draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak masih mandek di Kantor Staf Presiden (KSP), dan belum diterima Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan, bahkan Jokowi sendiri yang meminta usulan Perppu itu.

Kata dia, draf yang diserahkan pada KSP itu juga merupakan hasil kajian semua organisasi pegiat anak dan perempuan dengan melibatkan kementerian dan lembaga negara.

"Pada 4 Mei 2016, draf itu sudah diserahkan pada Kantor Staf Presiden, yang janjinya akan diserahkan kepada Presiden. Saya kurang tahu kenapa belum diserahkan kepada Presiden, entah waktunya tidak tepat atau bagaimana, saya tidak tahu, tetapi sampai hari ini belum diserahkan kepada Presiden oleh KSP. Jadi mandek di KSP. Di sisi lain, pada 6 Mei, Perppu itu juga sudah disampaikan pada Menteri Agama," kata Dian di Menteng, Jumat (25/11/16).


Dian mengatakan, draf Perppu itu telah melewati lima kali pertemuan antara para aktivis dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam perpajalannya, pembahasan itu juga mengundang berbagai kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri.


Dian berujar, sebetulnya para aktivis perempuan itu sudah mengupayakan revisi UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang masih mematok usia minimal perempuan menikah adalah 16 tahun, sejak 2002 dengan mendesak Parlemen. Namun, hingga sekarang tidak ada keseriusan Parlemen untuk mulai membahasnya. Kini, mereka sudah melobi berbagai kementerian dan lembaga agar secara bersama menyusun draf Perppu yang penerbitannya di tangan Presiden.


Editor: Rony Sitanggang

  • pernikahan anak
  • Koordinator Indonesia Beragam Dwi Rubi Kholifah
  • Direktur Kapal Perempuan Misiyah
  • UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!