HEADLINE

DPR Sahkan Perppu, Kemendagri Bantah ada Ormas Lain yang akan Dibubarkan

DPR Sahkan Perppu, Kemendagri Bantah ada Ormas Lain yang akan Dibubarkan

KBR, Jakarta- Kementerian Dalam Negeri  membantah pihaknya tengah bersiap membubarkan organisasi masa (Ormas) lain selain Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit  mengatakan  masih melakukan kajian dan menunggu laporan terkait ada atau tidaknya Ormas  anti-Pancasila.

"Pertama setelah HTI ini, ya ada yang melaporkan, kalau ada yang melaporkan ya kita kaji. Terus kita lihat kita teliti, kita cocok kan, perilakunya, hari-harinya, pedomannya, dokumennya, fotonya atau filmnya, atau saksi-saksinya kan begitu. Pokoknya ada laporan dari masyarakat gitu. Pasti kita maunya kan kepingin hidup di negara ini kita sudah tahu bahwa ada 4 pilar yang disebut dengan Pancasila, Undang-undang 45, Bhineka, NKRi itu kan sudah harga mati," ujar Widodo saat dihubungi KBR, Selasa (24/10/2017).

Widodo juga menambahkan jika ada laporan terkait Ormas anti-Pancasila, maka  akan langsung memberikan sanksi pembubaran. Kata dia,   akan diadakan kajian lalu pendekatan sesuai dengan kebutuhan. Jika Ormas tersebut masih bisa diarahkan dan kembali pada dasar Pancasila maka Ormas tersebut tidak akan dibubarkan.

"Begitu dilaporkan kita kaji, dipelajari, didatangi itu kan dikaji artinya, diingatkan itu seperti keluarga besar kita, oh salah tidak begitu lalu diajak ngobrol mereka mau kembali ke jalan benar, ke jalan Pancasila mau ya tidak jadi (dibubarkan) ya diubah," ujar Widodo.

Terkait  5 Ormas anti-Pancasila yang terdaftar pada lembaga   Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Jawa Tengah, ia membenarkan hal tersebut. Namun  ia mengatakan semua Ormas tersebut masih dalam pengkajian.

Sebelumnya Kesbangpol Jawa Tengah mengatakan selain HTI ada beberapa Ormas yang ditengarai anti-Pancasila yakni Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANAS), Jamaah Ansharud Tauhid (JAT), Majelis Mujahid Indonesia (MMI), Forum Umat Islam (FUI) dan FPI. namun Widodo menegaskan bahwa semua Ormas tersebut masih dalam kajian.

Senada disampaikan Kementerian Hukum dan HAM. Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Karjono mengatakan, kementeriannya akan menunggu informasi dan rekomendasi Badan Intelijen Negara (BIN) mengenai Ormas  yang terindikasi anti-Pancasila dan layak dibubarkan. Selain itu, kata dia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto sebelumnya juga pernah berpesan agar berhati-hati dalam membubarkan Ormas anti-Pancasila.

"Sementara ini HTI saja, yang memang betul-betul informasi BIN valid. Kan kita juga tidak mau gegabah. Informasinya kan dari BIN, jadi kita tidak bisa main, melawan Pancasila, sikat. Kemarin memang tidak ada wacana begini-begini, tetapi waktu hasil di Menkopolhukam, sudah satu saja yang betul-betul terbukti, sedangkan yang lain sebagai terapi, dalam arti agar mereka tidak berkiblat ke sana," kata Karjono kepada KBR, Selasa (24/10/2017).

Karjono mengatakan, sementara ini memang hanya HTI yang terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila. Dengan demikian, kata Karjono, penundaan pembubaran ormas kembali, juga untuk menghindari kehebohan publik. Apalagi, menurutnya, dengan pembubaran HTI, ormas lainnya juga akan lebih berhati-hati dalam menyusun ideologinya.

Baca: 5 Ormas di Jateng Terindikasi Anti-Pancasila 

Selasa siang (24/10) Paripurna DPR mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan. Keputusan itu dicapai melalui pemungutan suara setelah pemerintah sepakat akan merevisi undang-undang itu segera setelah disahkan.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta masyarakat tidak khawatir dengan aturan baru itu. Ia berjanji pemerintah akan berhati-hati melaksanakan Undang-Undang Ormas.

"Siapapun tidak akan bisa (sewenang-wenang). Negara menjamin dengan konstitusi orang berkelompok, berhimpun, berserikat, buat Ormas, boleh. Orang buat partai politik tidak ikut pemilu juga boleh. (Poin revisi?) Kita lihat. Saya belum berani sendiri. Kan akan kita bahas sendiri. Aspirasi fraksi dikumpulkan di Badan Legislasi, dikumpulkan di komisi II,"ujar Tjahjo usai rapat paripurna, Selasa (24/10).

Dalam waktu dekat, Tjahjo menegaskan  pemerintah belum berencana membubarkan Ormas lain selain  Hizbut Tahrir Indonesia.


red
(Aksi tolak pengesahan Perppu Ormas di depan gedung DPR, Selasa (24/10). Foto: (Antara))

Sejauh ini, ada beberapa poin revisi yang berkembang. Pertama, memasukkan kembali mekanisme pengadilan dalam pembubaran Ormas. Kedua, menghilangkan hukuman pidana bagi anggota atau pengurus suatu Ormas yang dibubarkan. Terakhir, penghilangan pasal penodaan agama dari Perppu itu.

Keputusan mengesahkan Perppu  Ormas menjadi undang-undang didukung 314 anggota dari 445 orang yang hadir. Namun pantauan KBR, pengambilan suara dilakukan tidak dengan mekanisme per individu, namun per fraksi.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon saat pemungutan suara menanyakan kepada setiap fraksi soal sikapnya terhadap pengesahan Perppu itu. Lantas, Fadli menanyakan apakah ada anggota fraksi yang berbeda pendapat.

Mulusnya proses pemungutan suara kali ini, menurut dia, dikarenakan sudah ada lobi-lobi sebelum pemungutan suara dilakukan.

"Tadi saat lobi juga sudah disepakati bahwa pengesahan Perppu ini akan dilanjutkan dengan revisi."

Sementara itu  Ahli tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan mengusulkan perbaikan  dalam kurun 30 hari setelah pengesahan UU Ormas   sebelum mengundangkannya.

"Saya setuju dengan beberapa catatan, yang pertama, kriteria Ormas yang akan mengganti atau mengubah Pancasila, dengan ideologi lain. Itu harus jelas betul parameternya. Sebab kalau tidak, ketika orang jalankan perintah agama misalnya dalam Ormas itu, bisa disebut juga anti-Pancasila. Kedua, supaya ukurannya jauh lebih jelas lagi, lebih pasti lagi, harus melalui proses peradilan. Untuk Parpol itu di MK, sedangkan kalau di MK boleh, atau di pengadilan biasa juga boleh," kata Asep kepada KBR, Selasa (24/10/2017).

Asep mengatakan, berbagai kriteria sangat diperlukan, agar tak ada multitafsir undang-undang dan terjadi kesewenang-wenangan. Kata dia, rumusan kriteria yang jelas, misalnya terdapat dalam UU Parpol, yang telah menyebutkan kriteria parpol dan aktivitasnya yang anti-Pancasila.

Selain soal kriteria dan mekanisme peradilan, Asep juga mengusulkan ada perbaikan ketiga, yakni soal penerapan  hukuman pidana untuk anggota atau pengurus Ormas yang dianggap anti-Pancasila. Asep berargumen, ancaman hukuman sampai seumur hidup yang kini tercantum dalam Perppu, sangat tidak logis rumusan normanya, serta menyimpang dari kaidah pidana.

Asep berujar, berbagai catatan itu bisa dimasukkan pemerintah, dalam waktu 30 hari setelah Perppu Ormas diundangkan. Namun, Asep juga menilai apabila semua catatan itu dimasukkan, UU Ormas itu tak akan signifikan dibandingkan UU nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang dibatalkannya.

Uji Materi

Pascapengesahan tiga fraksi yang menolak pengesahan Perppu Ormas akan mendesak undang-undang itu segera direvisi sesuai janji pemerintah. Anggota DPR dari fraksi Gerindra Fadli Zon mengatakan fraksinya kini menggantungkan harapan pada uji materi di Mahkamah Konstitusi. Fadli berharap MK bisa menganulir sejumlah pasal, terutama mengembalikan mekanisme pengadilan dalam tahapan pembubaran Ormas.

"Langkah selanjutnya bagi mereka yang masih menolak ada di Mahkamah Konstitusi. Kita akan berusaha maksimal. Kita tunggu hasil MK, mudah-mudahan MK bisa gunakan kewenangannya untuk mengoreksi sejumlah pasal yang kita anggap represif. Sementara itu terbuka peluang untuk revisi," ujar Fadli usai paripurna, Selasa (24/10).

Tiga fraksi yang menolak menurutnya juga  sudah sepakat akan aktif mendorong pemerintah merevisi undang-undang itu. Hal itu sudah dijanjikan oleh pemerintah saat proses lobi-lobi dengan perwakilan fraksi.

"Kalau bukan hukum yang menentukan jalannya aturan main, siapa? Ini akan berbahaya kalau tidak ada hukum sebagai pihak tengah yang mengadili."

Senada disampaikan Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto. Dia optimistis  gugatan uji materi Perppu Ormas akan dikabulkan MK.Ismail mengatakan, beberapa ahli yang bersaksi dalam sidang MK tersebut memiliki argumen kuat bahwa Perppu Ormas memuat unsur kesewenang-wenangan pemerintah saat membubarkan HTI.

Selain itu, kata dia, HTI juga meyakini gugatan pembubarannya oleh Kementerian Hukum dan HAM ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, juga akan dikabulkan, dengan persidangan perdananya akan digelar pekan depan.

"Kita kalau melihat realitasnya, itu saya kira hampir pasti Perppu ini bakal menjadi undang-undang. Kalau disahkan nanti kita akan melanjutkan judicial review di MK. (Kalau yang di PTUN?) Itu kan petitumnya di PTUN kan ada dua, yaitu penundaan dan pembatalan. Nanti di persidangan akan ada putusan, apakah penundaan itu diterima atau tidak. Putusan sela itu," kata Ismail kepada KBR, Selasa (24/10/2017).

Ismail mengatakan, sidang di MK saat ini telah memproses permohonan lima dari delapan pemohon pengujian kembali Perppu Ormas. Kata dia, HTI masih tetap menanti putusan MK tersebut.

Ismail berujar, saat ini HTI juga masih menanti undangan sidang perdana dari PTUN Jakarta, yang diperkirakan diadakan pekan depan. Kata dia, pada sidang perdana tersebut, PTUN juga akan memutuskan permohonan putusan provisi terhadap pembubaran HTI oleh Kemenkumham.

Sementara itu  Kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia Yusril Ihza Mahendra menyatakan engah menunggu pengundangan Perppu Ormas menjadi undang-undang oleh pemerintah. Yusril mengatakan, dia dan kliennya perlu mempelajari UU Ormas tersebut, lantaran sebelumnya mereka menggugat Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi. Dengan  perubahan Perppu menjadi UU tersebut, berarti obyek gugatan juga menghilang.

Kata Yusril, dia siap mendampingi, apabila kliennya memutuskan untuk menggugat UU Ormas ke MK.

"Kalau sudah seperti itu, biasanya sidang MK akan dihentikan, karena obyek sengketa sudah tidak ada lagi. Jadi kalau misalnya para pemohon ingin meneruskan gugatan itu, mau tidak mau mereka harus menyusun gugatan baru, yang digugat bukan lagi Perppu tapi undang-undang yang baru disahkan itu. (Apa langkah itu segera diambil?) Belum, kan DPR baru ambil keputusan hari ini, dan setelah itu kan perlu waktu seminggu untuk dikirim ke presiden. Nah, kita tunggu dia baru disahkan setelah ditandatangani presiden dan kemudian diundangkan," kata Yusril kepada KBR, Selasa (24/10/2017).

Setelah diundangkan Kementerian Hukum dan HAM, kata Yusril, dia juga akan mempelajari perubahan yang mungkin saja terjadi, antara Perppu dan UU Ormas.

Menurut Ahli tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan apabila ingin melanjutkan sidang di MK, HTI sebagai pemohon uji materi Perppu Ormas, cukup kembali mendaftarkan gugatannya dengan mengubah obyek uji materi menjadi UU Ormas. Dengan permohonan baru tersebut, kata Asep, MK cukup melanjutkan proses persidangan yang kini tengah terlangsung, dan tak perlu mengulangnya, meski obyek uji materinya berubah. Dengan demikian, MK tak perlu lagi meminta keterangan pemohon dan termohon, serta mengundang kembali para saksi ahlinya.

Adapun proses gugatan pembubaran HTI di Pengadilan Tata Usaha Negara, kata Asep, tetap akan bisa berlanjut meski Perppu Ormas telah perubah menjadi undang-undang. Alasannya, PTUN tak hanya mempertimbangkan undang-undang, melainkan juga Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).

"Tidak ada halangan, bisa di PTUN, karena di PTUN ada dua kemungkinannya, bertentangan dengan perundang-undangan, dan bertentangan asas-asas umum yang baik. Jangan-jangan pembubaran HTI itu sesuai perundang-undangan, tetapi bertentangan dengan asas umum yang baik, misal asas kesewenang-wenangan, asas kepercayaan, asas persamaan, dilanggar. Sehingga, boleh jadi dikabulkan terhadap  gugatan HTI di Pengadilan Tata Usaha Negara. Tetapi tidak menghalangi Pengadilan Tata Usaha Negara dengan adanya Undang-undang Ormas yang baru. Saya kita bisa berjalan bersama-sama," kata Asep.

Editor: Rony Sitanggang

  • Perppu Ormas
  • Hizbut tahrir Indonesia

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!