HEADLINE

Dapat Saham Freeport, Suku Amungme Tetap Tuntut 'Uang Dapur' Rp288 Triliun

""Ganti rugi itu yang kami perjuangkan, bagaimana caranya ganti rugi itu bisa berjalan. Kami tuntut bagian kita, istilah kami itu uang dapur," kata tokoh masyarakat Suku Amungme, Markus Bugaleng."

Dian Kurniati, Ria Apriyani, Dwi Reinjani

Dapat Saham Freeport, Suku Amungme Tetap Tuntut 'Uang Dapur' Rp288 Triliun
Ilustrasi. Aksi masyarakat adat Amungme terhadap Freeport di Timika, Jumat (7/4/2017). (Foto: tribratanews.polri.go.id/Publik Domain)

KBR, Jakarta - Tokoh masyarakat suku Amungme Mimika, Markus Bugaleng menyatakan saat ini masyarakat pemilik hak ulayat masih memperjuangkan uang tuntutan terhadap PT Freeport Indonesia sebesar USD 20,8 miliar atau setara Rp288 triliun.

Tuntutan itu tetap diajukan meski Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan telah mengumumkan memberi porsi 10 persen saham Freeport untuk Papua. 

Markus mengatakan masyarakat pemilik hak ulayat tetap menuntut uang ganti rugi triliunan rupiah sebagai kompensasi atas pengerukan sumber daya di tanah ulayat oleh PT Freeport selama 51 tahun. 

Markus mengatakan saat ini masyarakat Amungme tengah merampungkan peta tanah ulayat yang akan diklaimkan sebelum nantinya diserahkan kepada pemerintah pusat untuk dijadikan bahan negosiasi dengan Freeport.

"Sekarang, kami prioritas pada tuntutan ganti rugi itu, bukan masalah sahamnya. Kami mau supaya selama 51 tahun ini Freeport bayar ganti rugi. Ganti rugi itu yang kami perjuangkan, bagaimana caranya ganti rugi itu bisa berjalan. Kami tuntut bagian kita, istilah kami itu uang dapur. Sekarang kami lagi berusaha bagaimana mengatur penataan ulayatnya. Tahun depan kami mulai proses negosiasi dengan pemerintah pusat. Sekarang sudah mulai kami siapkan seluruhnya," kata Markus kepada KBR, Senin (9/10/2017).

Markus mengatakan, upaya ganti rugi itu merupakan tuntutan wajar, lantaran Freeport sudah banyak mendapat keuntungan dari tanah ulayat. Sedangkan warga di Mimika tidak menikmati sama sekali. 

Warga pemilik hak ulayat, kata Markus, berharap bisa bersama pemerintah bernegosiasi dengan Freeport untuk menuntut 'uang dapur' ganti rugi tersebut. Dia memperkirakan, pemetaan lahan ulayat akan rampung tahun ini, sehingga proses negosiasi bisa dimulai tahun depan.

Markus mencontohkan kerugian yang ditimbulkan Freeport misalnya kerusakan 14 gunung di lahan ulayat. Menurut Markus, ganti rugi atas kerusakan itu tidak sebanding dengan kerugian materiil maupun non-materiil, serta potensi kekayaan alam Papua yang masih ada di dalam bumi, namun dikuasai Freeport. 

Markus mengatakan uang ganti rugi sebesar USD20,8 miliar itu rinciannya berupa ganti rugi kepada masyarakat ulayat senilai USD3,6 miliar, serta 7,5 persen dari nilai cadangan bahan tambang di bawah tanah Papua mencapai USD229 miliar atau setara USD17,2 miliar dollar AS. Dengan demikian, nilai yang harus dibayarkan Freeport mencapai USD 20,8 miliar.

Baca juga:

Nilai saham

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan memperkirakan nilai 51 persen saham Freeport Indonesia sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp54 triliun. Angka itu dihitung dari kontribusi keuntungan Freeport Indonesia ke induknya, Freeport McMoran. 

Pada penutupan perdagangan hari Minggu lalu, nilai Freeport McMoran di bursa saham New York sebesar US$20,74 miliar. Jonan mengatakan kontribusi Freeport Indonesia hanya sebesar 40 persen dari angka itu.

"Menurut saya dalam lima tahun terakhir, maksimum 40 persen. Kalau begitu, nilai 100 persen Freeport Indonesia, matematisnya ya US$8 miliar," kata Jonan di DPR, Senin (9/10/2017).

Jonan mengatakan negosiasi soal harga dan tahapan pelepasan 51 persen saham Freeport Indonesia masih berlangsung. Pemerintah bahkan akhirnya memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara bagi perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu selama tiga bulan. Ini dilakukan untuk menjamin kepastian usaha Freeport di Indonesia selama menunggu negosiasi selesai.

Presiden Joko Widodo, kata Jonan, memberi amanat agar negosiasi bisa menguntungkan kedua belah pihak. Pemerintah telah melunak dengan menyetujui permintaan skema pajak nailed down, yang diminta Freeport. Meski besaran pajak tidak akan dinamis mengikuti besaran keuntungannya, bekas Menteri Perhubungan itu memastikan besaran yang diterima pemerintah akan lebih besar dari sebelumnya.

Baca juga:

Menunggu kepastian

Sekjen Presidium Dewan Papua, Mohammad Thaha Al Hamid belum bisa berkomentar banyak mengenai pembagian saham bagi masyarakat adat Papua. Ia mengatakan masih menunggu kepastian mekanisme pembagian dan besaran saham yang akan diterima masyarakat adat Papua dari pembagian saham 51 persen Freeport kepada pemerintah Indonesia. 

Ia mengatakan hanya mengetahui ada divestasi saham yang diberikan kepada pemerintah, namun tidak mengetahui besarannya. Karena itu meminta masyarakat adat menunggu keputusan yang diberikan oleh pemerintah.

"Saya kira, seharusnya karena yang berhubungan langsung dengan Freeport itu pemerintah pusat, menteri atau tim dari jakarta. Jadi sebaiknya mereka detail, langsung memutuskan detail. Jangan lagi dorong itu perkara ke Jayapura Papua. Sebentar lagi kan pilkada dan seterusnya itu bisa jadi bacaan dan isu menjadi starting poin," ujar Thaha, saat dihubungi KBR, Senin (9/10/2017).

Mengenai kesepakatan adanya pembagian saham 10 persen yang disampaikan Menteri ESDM Ignatius Jonan dan Gubernur Papua Lukas Enembe, Thaha Al Hamid mengatakan itu adalah kesepakatan antara pemerintah pusat dengan pemerintah Provinsi, dan bukan mewakili masyarakat adat. Sehingga, kata Thaha, seharusnya pemerintah tidak mengatas namakan masyarakat adat.

"Kalau itu dari Pemprov berarti kesepakatan dengan Pemprov. Jangan bilang atas nama masyarakat adat. Nanti masyarakat pikir dia punya uang, padahal itu kan pemerintah daerah Papua. Sama saja dengan uang Otonomi Khusus. Dibilang masyarakat yang punya, tapi kapan masyarakat pegang uang itu? Kan itu dikelola pemerintah? Jangan timbulkan salah presepsi yang menimbulkan konflik," kata Thaha.

Ia mengatakan seharusnya pembagian saham dilakukan secara terpisah untuk pemerintah dan untuk masyarakat adat, karena masyarakat adat di Mimika Papua terdiri dari dua suku seperti Amungme dan Kamoro. 

Ia juga mengatakan seharusnya pembagian tersebut tidak hanya dibicarakan dengan pemerintah pusat, melainkan dengan Lemasa dan Lemasko yang merupakan representatif dari lembaga adat Kamoro dan Amungme.

Ia juga meminta kepada pemerintah dan Freeport agar permasalahan divestasi saham tidak menjadi urusan tersembunyi atau dibawah meja, ia mengatakan harus dilakukan secara terbuka dan transparan, karena bukan hanya menyangkut kepentingan masyarakat Papua namun seluruh Indonesia. 

Baca juga:

Editor: Agus Luqman 

  • PT Freeport Indonesia
  • divestasi freeport
  • divestasi saham
  • divestasi saham PT Freeport
  • divestasi 51 persen saham Freeport
  • Suku Amungme
  • Hak Ulayat
  • hak ulayat Freeport

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!