ASIACALLING

Aktivis dan Pengacara Peraih Penghargaan: Mia Yamamoto

Aktivis dan pengacara yang aktif membela para migran tidak berdokumen dan membantu para wisatawan da

Pengacara dan aktivis Amerika keturunan Jepang, Mia Yamamoto, telah menjalani kehidupan yang luar biasa. Di usia 74 tahun, dia tetap aktif membela para migran tidak berdokumen dan membantu para wisatawan dari beberapa negara Muslim yang terimbas larangan Presiden Trump.

Dari Los Angeles, California, Lena Nozizwe menyusun kisahnya untuk Anda.

Film hitam putih dengan latar belakang gemerisik dan pengisi suara dramatis ini diproduksi oleh sebuah perusahaan film propaganda pemerintah AS dalam Perang Dunia II.

Ini menjelaskan mengapa 120 ribu orang Amerika keturunan Jepang ditahan sebagai tahanan di kamp pengungsian.

Mia Yamamoto lahir sebagai tawanan di salah satu kamp pengasingan itu.

“Saya lahir di kamp di Poston, Arizona. Kalau ibu saya mengingat kembali tempat itu dia akan berkata ‘Saya punya anak yang lahir di pengungsian. Saya tidak tahu apakah kami akan dibebaskan. Saya tidak tahu jika perang makin buruk apa yang akan mereka lakukan terhadap kami,’” kisah Mia.

Kamp-kamp pengungsian itu ditutup tahun 1946. Tapi Yamamoto mengatakan prasangka terhadap orang-orang Amerika keturunan Jepang terus berlanjut setelah perang. Keluarganya kemudian  pindah ke Los Angeles Timur dan mereka tidak pernah menggunakan bahasa Jepang di depan umum.

“’Bunuh orang Jepang,” adalah kata-kata yang sering saya dengar kala itu. Itu biasanya diteriakkan sebelum seseorang mendatangi kami. Rasanya seperti perang proxy.”

Yamamoto juga menghadapi perang batin karena identitas gendernya. Dia lahir di kamp pengungsian Arizona sebagai anak laki-laki bernama Michael, bukan Mia.

Tapi pada usia delapan atau sembilan tahun, pergolakan untuk mengekspresikan dirinya yang sebenarnya, mulai terjadi.

“Saya ingat orangtua tidak suka saya memakai pakaian ibu atau melakukan hal-hal seperti itu. Itulah alasan mengapa pada usia tertentu saya sadar. Kalau ada orang seperti saya di dunia ini, itu seperti pengungkapan bagi saya,” kata Mia.

Orang itu adalah Christine Jorgensen, bekas tentara di era Perang Dunia II dan merupakan perempuan transgender Amerika pertama yang dipublikasikan secara luas.

“Dan itu adalah sebuah kejadian tragis di mata ibu saya yang mulai menangis begitu mendengar pengungkapan itu. Dia mengatakan kepadanya kalau saya seperti Christine Jorgensen,” ujar Mia.

Meski Yamamoto mengidentifikasikan diri sebagai perempuan, dia tetap merahasiakan hal ini dari orang di luar keluarga.

Dia tetap merahasiakannya saat bersekolah, kuliah dan bahkan saat menjadi tentara selama Perang Vietnam. Meski saat lahir dianggap sebagai musuh negara, saat perang dia membela Amerika.

“Itu hal yang biasa. Saya merasa menjadi bagian dari masyarakat yang menganggap berperang untuk negara mereka adalah sesuatu yang benar. Yang terpenting adalah tidak peduli apa yang terjadi, tidak peduli apa yang telah mereka lakukan terhadap kami, kami tetap setia.”

Tapi dia mengakui kalau dia bukan tentara yang hebat.

“Saya sangat lemah. Saya tidak bisa melempar granat untuk melindungi diri. Saya tidak bisa sampai ke tempat persembunyian. Ini jadi masalah (Laughter).”

Setelah perang Vietnam, Yamamoto memperoleh gelar sarjana hukum dan mulai bekerja di kantor Pengacara Publik.

Medan pertempuran barunya kini membantu klien yang tidak mampu membayar seorang pengacara. Tapi dia masih sebagai Michael Yamamoto.

Secara pribadi, dia sedang memperjuangkan hidupnya. Hidup berpura-pura sebagai seorang pria kerap membuatnya ingin bunuh diri dengan berbagai cara.

“Biasanya saya menggunakan narkoba. Saya benci meninggalkan tengkorak dengan lubang di dalamnya. Atau membuat keluarga malang saya menemukan saya tergantung,” kenang Mia.

Baru setelah dia mencapai ulang tahunnya yang terpenting, dia tampil sebagai Mia dan membunuh Michael.

“Saya berusia 60 tahun. Dan mereka mengadakan pesta besar untuk saya. Dan semua orang mencintai saya. Saya ingat sangat membenci diri sendiri karena menganggap diri sebagai seorang pengecut. Saya palsu dan tidak autentik. Dan pada saat itu saya bilang saya akan mati sebagai perempuan apapun caranya. Saya akan mati sebagai perempuan.”

Meski sudah berusia 74, dia tetap bersemangat. Saat kami bertemu, terlihat jelas kerutan di matanya dan rambut putihnya terlihat mencolok. Dia memakai jaket dan pakaian hitam yang apik dan sepasang sepatu bot kulit hitam setinggi lutut. Matanya terlihat bersinar.

Dia bekerja di perkantoran mewah di pusat kota Los Angeles sebagai pengacara pribadi.

Yamamoto menangani kasus-kasus hukuman mati dan yang terkait keadilan sosial. Lahir di pengungsian katanya membuat dia terus mencari keadilan.

“Saya menyebutnya warisan penjara. Ini artinya saya punya hubungan dengan dunia, narapidana, dan setiap orang yang dipenjara entah mereka benar atau salah. Saya punya koneksi dengan mereka dan mereka sama seperti orang lain.”

Awal tahun ini, dia bergabung dengan pengacara aktivis lainnya di Bandara Internasional Los Angeles untuk menawarkan bantuan. Saat itu larangan perjalanan yang dikeluarkan Presiden Trump terhadap wisatawan dari beberapa negara Muslim tiba-tiba berlaku.

Dia juga menawarkan bantuan hukum kepada penerima DACA - migran tidak berdokumen yang dibawa ke Amerika Serikat saat masih kecil. Selain itu dia menentang usulan Trump yang ingin melarang transgender bergabung dalam militer.

Dia pun menerima banyak penghargaan atas kerja kerasnya ini.

Yamamoto yang pernah mencoba bunuh diri mengatakan hidupnya adalah contoh bagaimana keadaan bisa menjadi lebih baik.

 

  • Lena Nozizwe
  • Mia Yamamoto
  • Pengacara dan aktivis
  • Transgender
  • Orang Amerika keturunan Jepang

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!