BERITA

Menjaga Anak dari Deretan Challenge di Dunia Maya

"Bagaimana respons orangtua terhadap aktivitas anak di media sosial? Apakah mendiamkan dengan alasan membiarkan anak berkreativtas merupakan pilihan bijak?"

Menjaga Anak dari Deretan Challenge di Dunia Maya
Ilustrasi (Foto: CommScope/Flickr/Creative Commons)

KBR, Jakarta Kiky dance challenge, Momo challenge, serta Choking game challenge adalah sebagian dari sederet challenge yang sempat viral di Indonesia. Aksi yang beberapa di antaranya mengandung unsur bahaya ini diikuti lintas umur, tidak terkecuali oleh anak-anak.

Lalu sebenarnya apa yang mendorong anak-anak mengikuti aksi tantangan yang sedang viral di media sosial? Psikolog Aully Grashinta menyebut, luapan hormon jadi salah satu faktor pemicu.

"Pada dasarnya aksi challenge ini banyak dilakukan oleh remaja, bahkan anak-anak karena di usia tersebut hormon-hormon mereka sedang bergejolak, khususnya hormon dopamine. Hormon ini yang mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang sifatnya agak risky," jelas Aully Grashinta, dosen Psikolog Universitas Pancasila dalam program Ruang Publik KBR.

Perkembangan teknologi dan penggunaan media sosial menurutnya turut mendorong penyebaran aksi kian cepat. Lantas, jadi semakin luas dikonsumsi banyak orang. Aully pun mengamati, kini muncul tren yang menunjukkan bahwa sebagian orang lebih menikmati 'hidup' di dunia maya ketimbang menghadapi realita. 

"Jadi ketika kita memiliki follower di media sosial, itu akan mendorong kita melakukan challenge dengan harapan orang-orang yang menjadi follower kita akan melihat dan mengikuti."

Semua orang ingin menjadi terkenal secara instan melalui media sosial. Sehingga, sebagian dari mereka cenderung nekad melakoni sesuatu yang sebenarnya berbahaya, semata untuk beroleh perhatian dari orang lain.

Hal berikutnya yang menentukan para anak-anak dan remaja mengikuti pelbagai tantangan di media sosial itu lantaran faktor konformitas. Yakni sebuah dorongan untuk melakukan sesuatu agar lebih diterima dalam sebuah kelompok.

"Konformitas ini yang membuat para anak-anak kita yang berusia muda dan sedang mencari identitas dirinya melakukan sesuatu untuk diterima dalam kelompok pertemanan mereka. Jadi mereka mikirnya, kalau dia ngelakuin, saya ngelakuin juga deh," imbuh Aully.

Kalau sudah begitu, apa yang mestinya dilakukan orangtua untuk menghadapi sang anak di tengah fenomena beragam challenge?

"Gadget itu tidak boleh secara otonom dimiliki oleh anak," tegas Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto memberi saran. Menurutnya, pengaturan waktu penggunaan gawai, jadi benteng pertama orangtua untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif dunia maya.

Para orangtua juga dituntut lebih terbuka dengan kemajuan teknologi dan sangat disarankan, menjalin pertemanan dengan media sosial yang diikuti sang anak. Bukan hanya itu, bila perlu orangtua harus mengetahui password yang digunakan anak. Termasuk, mengetahui kontak-kontak dalam telepon genggam anak.

Hal tersebut bukan berarti membatasi privasi sang anak, namun menurutnya tindakan itu diharapkan membuat orangtua mengikuti perkembangan sang anak. Yang, boleh jadi tak bisa diamati langsung oleh para orangtua.

Senada, psikolog Aully mengimbau para orangtua untuk mengedukasi anak tentang penggunaan smatphone. Ia juga berharap, orangtua membuka wawasan sang anak. Misalnya dengan memberi tahu pelbagai bahaya akibat challenge-challenge tersebut.

"Justru di usia yang masih belia itu para orangtua sebenarnya bisa menanamkan pemahaman dasar tentang bahaya dari risky behavior. Jadi misalnya di kiky challenge, orangtua bisa tuh memberikan pengetahuan kepada anak tentang peraturan lalu lintas, atau di choking game challenge, orang tua bisa jelaskan pentingnya oksigen bagi tubuh manusia," terang Aully Grashinta.

"Para orangtua juga harus bisa kasih lihat contoh dampak negatif dari melakukan challenge-challenge tersebut. Jadi di sini orangtua dituntut aktif dalam memberikan edukasi kepada anak, bukan cuma diam saja," tambahnya.

Ketika edukasi dan contoh konkret diberikan, Aully meyakini pada akhirnya anak akan bisa membedakan mana tindakan yang baik dan mana berbahaya bagi hidup mereka.

Selain ke orangtua, KPAI mendorong pembuat kebijakan di sekolah-sekolah untuk ikut mengedukasi siswa mengenai pemanfaatan gawai. "Kepada pendidik kita mau anak bukan hanya diajarkan hard skill dari teknologi, tapi juga diajarkan soft skill. Jadi anak punya self prevelience yang kuat, hingga tidak mudah terpapar terhadap challenge-challenge tersebut," tutup Susanto.



 

Editor: Nurika Manan

  • anak
  • orang tua
  • media sosial

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!