BERITA

Dari Aceh, Nursiah Kisahkan Jahatnya Rubella

Dari Aceh, Nursiah Kisahkan Jahatnya Rubella

KBR, Jakarta-  Syakila asik membolak balik halaman majalah yang ia pegang lalu menyobeknya. Dia tidak memedulikan sekelilingnya. Lembar demi lembar halaman majalah yang berhasil ia sobek dibiarkan terserak memenuhi lantai. Pagi itu, Selasa (18/9/2018), Syakila turut serta bersama Ibunya Nursiah memenuhi undangan KBR untuk berbagi cerita tentang dampak Rubella di program Ruang Publik.

8 tahun sudah Syakila hidup dengan sindrom rubella kongenital (Congenital Rubella Syndrome/CRS). Ketika usianya menginjak dua bulan, Syakila diketahui mengalami gangguan pernapasan dan pendengaran. Dokter kemudian meminta orangtua membawa bayi mungil itu ke rumah sakit yang berada di tengah kota. Menurut pemeriksaan dokter, ada katarak di matanya.  Setelah melewati beberapa tes, Syakila didiagnosa menderita rubella.

"Dokter menyarankan Syakila operasi jantungnya supaya bisa operasi katarak juga. Namun dokter anestesi menolak tindakan tersebut karena berat badan Syakila tidak mecukupi. Syakila juga pada usia dua tahun melakukan tes BERA dengan hasil telinga kanan dan kiri hanya mampu mendengarkan suara sebesar 80 dB (intensitas tinggi)," jelas Nursiah.

Nursiah menceritakan awal mula virus Rubella bersarang lalu merenggut keceriaan buah hatinya. Ketika itu usia kandungan memasuki bulan kedua, sekujur tubuh Nursiah keluar bintik-bintik merah. Ruam merah diikuti rasa lemas dan nyeri pada tulang. Diagnosa dokter ketika itu, dirinya terkena campak. Memasuki bulan keenam kehamilan, janin di dalam tubuhnya tidak bergerak.

Warga Lhokseumawe, Aceh, ini menuturkan, saat itu rubella belum menjadi isu yang masif seperti sekarang, maka penanganan dari dokter pun belum terlalu intens.

"Bahkan tidak terdeteksi kalau itu adalah awal mula dari rubella. Jadi saat itu saya hanya dikasih semacam vitamin tanpa ada penanganan lanjutan yang lebih serius lagi," terang Nursiah.

Syakila yang sempat tidak menangis ketika dilahirkan melalui operasi sesar itu kini mesti menjalani masa kanak-kanak yang sunyi.  Dia tidak bisa mendengar dan bicara.

Mengutip penjelasan dokter, Nursiah menjelaskan kalau saraf otaknya yang bertugas memproduksi suara tidak berfungsi, meski sudah diupayakan dengan memasang alat bantu. Dokter juga mengatakan Syakila menderita ADHD dan berpotensi menjadi autis.

"Jadi solusi dari itu semua, Syakila kami ajak terapi terus. Terapi okupasi, terapi sensori. Masalahnya di pendengaran. Satu-satunya cara harus masang implan dengan harga mencapai Rp100 juta."

Nursiah mengatakan saat ini untuk pengobatan Syakila ketika sakit, dirinya mengandalkan BPJS. Hanya saja tidak semua kebutuhan buah hatinya tercakup dalam BPJS. Untuk terapi okupasi dan sensori yang diwajibkan oleh terapis, misalnya, dirinya memanfaatkan Askes. Sayang asuransi hanya bisa menanggung sebanyak 2 kali terapi dalam seminggu dari 4 kali terapi yang diwajibkan terapis. Sisanya, Nursiah  mesti berjuang mencari biaya sendiri agar Syakila tetap bisa mendapat terapi. Untuk mengupakan pendengaran bagi Syakila, Nursiah juga menggalang donasi melalui https://kitabisa.com/kokleasyakila

Beratnya membesarkan anak yang terkena Rubella juga dialami oleh Nadif. Sama seperti Nursiah, Nadif  terinfeksi virus Rubella ketika masa kehamilan.  Kepada KBR, Nadif menyesalkan penolakan dokter saat dirinya berinisiatif meminta untuk divaksin MMR sebelum masuk masa kehamilan.

“Ketika itu dokter tidak memberikan dengan alasan penyakit rubella adalah penyakit yang langka,”kenangnya.

Atas pengalaman berjuang membesarkan anak yang terkena rubella, Nadif mendirikan Rumah Rubella. Sebuah komunitas di Facebook yang bertujuan untuk meningkatkan awareness atas bahaya virus Rubella.

“Ini sudah dilakukan sejak 2013. Kami mengajak masyarakat untuk mewaspadai virus Rubella. Kalau hamil harus cek TORCH untuk mengetahui apakah ia pernah terkena Rubella atau belum, kalau belum harus dikasih vaksin MMR atau MR.”

“Saat itu pemerintah belum fokus pada bahaya virus itu, sehingga usaha kami tidak terlalu terdengar,” lanjut Nadif.

Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan kini terus mengejar target pemberian vaksin campak rubella sebesar 95% hingga akhir September.  Namun penolakan pemberian vaksin masih terjadi di beberapa daerah, salah satunya di Aceh.  Pemerintah Provinsi Aceh masih menunda pelaksanaan vaksinasi meski  Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan penggunaan vaksin tersebut guna mencegah penyebaran Rubella.

Kembali ke Nursiah, disela waktunya mengasuh dan membesarkan Syakila, kini dia aktif mendorong perempuan di Aceh untuk bersuara, mendorong pemerintah provinsi Aceh mencabut ketetapan penundaan pemberian vaksin MR.

“Rubella itu sangat jahat. Jadi tolong pemerintah lihat kami, penderitaan anak-anak kami,” tutup Nursiah.

Editor: Malika 

 

  • rubella
  • anak
  • vaksin MR

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!