ASIACALLING

Rohingya dan Suasana di Myanmar

Pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine menuju Bangladesh. (Foto: Shakil A

Dalam beberapa pekan terakhir, lebih dari 400 ribu orang Rohingya meninggalkan rumah mereka di Myanmar dan mencari tempat yang aman di negara tetangga Bangladesh.

Orang Rohingya, kelompok etnis minoritas dari negara bagian Rakhine, meninggalkan negara itu karena komunitas mereka diperkosa, dibunuh dan rumah mereka dibakar.

Menurut PBB dan kelompok HAM ini adalah kasus pembersihan etnis. 

Komunitas internasional mengecam meningkatnya bencana kemanusiaan dan kekerasan dengan menyerukan agar pemimpin de facto Aung San Suu Kyi segera mengakhirinya.

Tapi di Myanmar, Aung San Suu Kyi dan operasi militer mendapat dukungan luas.

Koresponden Asia Calling KBR, Kannikar Petchkaew, melihat bagaimana situasi di dalam negeri Myanmar.

Konflik bersenjata dan pelanggaran Hak Asasi Manusia sedang meningkat di Negara Bagian Rakhine. Sementara itu perang kata-kata bermunculan di sosial media Myanmar.

Ujaran kebencian ramai beredar. Konfrontasi sengit pecah. Suara paling keras sejauh ini adalah yang mendukung operasi tentara yang menargetkan minoritas Rohingya.

Suara-suara itu menolak menyebut etnis Rohingya dengan nama mereka, Rohingya. Sebaliknya, mereka memakai istilah orang Bengali.

Sebenarnya kebanyakan orang di Myanmar percaya itulah jati diri orang Rohingya sebenarnya dan banyak yang ingin melihat mereka disingkirkan. 

Di Myanmar, banyak yang mendukung tindakan militer. Juga dukungan untuk pemerintah, terutama kepada Aung San Suu Kyi yang disebut “Ibu Su tercinta.”

Orang Rohingya telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad. Sebagian besar datang dari Bangladesh dan India pada masa penjajahan Inggris.

Kebencian terhadap mereka memiliki akar sejarah yang dalam. Rohingya telah menjadi sasaran sejak negara itu memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1948.

Sejak 1982, orang Rohingya telah ditolak kewarganegaraannya. Mereka tidak punya kartu identitas dan hak dasar, serta tanah mereka disita. Mereka menjadi orang tanpa kewarganegaraan.

Mereka juga telah dicoret dari daftar 135 kelompok etnis resmi di negara itu.

Propaganda kebencian beredar selama beberapa dekade. Itu menyebarkan kepercayaan bahwa kelompok minoritas, termasuk Rohingya, adalah ancaman bagi ras Myanmar yang dominan di Burma.

U Myo Win adalah Direktur Eksekutif Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Smile yang berbasis di Yangon. 

Dia mengatakan sejak 1985, propaganda seperti itu telah beredar dalam serangkaian buku yang dipromosikan oleh pemerintah. Ini membuat negara itu penuh dengan permusuhan terhadap orang Rohinyga.

“Sebenarnya sejak tahun 1985 mereka membuat propaganda sistematis yang strategis. Kampanye terbesar di seluruh negeri melawan minoritas Muslim,” ungkap U Myo Win.

Kelompok media independen, Shwe Myitmakha, dikenal karena membela hak-hak sipil dan minoritas.

Saya mengunjungi kantor mereka di Yangon dan bertemu dengan pendirinya, jurnalis terkemuka May Thingyan Hein.

Dan saya bertanya pendapatnya tentang orang Rohingya. ”Kami menyebut mereka orang Bengali. Karena mereka berasal dari Bangladesh bukan etnis kami,” jelas May.

May Thingyan Hein telah lama mempromosikan hak-hak kelompok etnis minoritas Myanmar. Dia juga berdiri melawan militer. Itu sebabnya dia jadi buron, diinterogasi, ditangkap, dan tulisan-tulisannya dilarang.

Tapi ketika membahas soal Rohingya, May Thingyan Hein setuju dengan Pemerintah.

“Sekarang mereka sedang berjuang. Membakar rumah mereka dan rumah orang lainnya serta membunuh orang lain. Itu tidak baik. Ini adalah konflik, mereka yang membuat konflik. Jika mereka hidup dengan damai, tidak masalah.,” kata May.

Meski dia biasa membela hak asasi manusia, May Thingyan Hein menggemakan apa yang banyak dipercayai orang di Myanmar. Mereka percaya orang Rohingya ingin tanah dan sebuah negara Muslim di Rakhine.

“Menurut saya ini bukan masalah hak asasi manusia. Karena mereka menginginkan tanah. Ini bukan masalah hak asasi manusia. Ini bukan masalah agama. Mereka menginginkan tanah.”

Kebanyakan orang di Myanmar akan setuju dengan pendapat itu.

Orang Rohingya telah menguasai tanah mereka sejak tahun 1960an. Tapi akibat gelombang kekerasan terus menerus sejak tahun 1970an, mereka keluar dari Myanmar. Saat ini lebih banyak orang Rohingya yang tinggal di luar Myanmar daripada di dalam negeri.

Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch Asia, mengatakan gelombang kekerasan dan penganiayaan terbaru ini bukan yang pertama. Ini adalah bagian dari upaya sistematis yang sudah berjalan sejak lama untuk mengusir orang Rohingya dari Myanmar.

“Masyarakat tidak benar-benar menyadari bahwa masih ada lebih dari tiga puluh ribu pengungsi akibat pembersihan etnis yang terjadi pada 1992-1993. Orang-orang Rohingya itu saat ini masih berada di Bangladesh,” jelas Robertson.

Ketika milisi Rohingya menyerang sebuah pos polisi pada 25 Agustus, Thatmadaw atau militer melepaskan kekerasan mengerikan. Mereka mengklaim melakukan 'operasi pembersihan' terhadap teroris Rohingya.

Mengingat kebanyakan orang di Myanmar melihat orang Rohingya sebagai ancaman, tidak sulit untuk membenarkan kekerasan terhadap mereka.

Orang Rohingya mengalami penganiayaan terburuk di Myanmar. Tapi Robertson mengatakan kelompok minoritas di seluruh negeri juga menjadi sasaran militer.

“Kondisi orang Rohingya suram. Tapi menurut saya itu karena situasi HAM di Burma juga suram. Saya pikir orang Rohingya mewakili kasus terburuk dari situasi buruk yang tumbuh di sana,” kata Robertson.

 

  • Kannikar Petchkaew
  • Rohingya Myanmar
  • aung san suu kyi
  • dukungan operasi militer Myanmar

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!