BERITA

PUKAT UGM: Masinton Dicopot dari Pimpinan Pansus KPK karena Kerap Kebablasan

PUKAT UGM: Masinton Dicopot dari Pimpinan Pansus KPK karena Kerap Kebablasan

KBR, Jakarta - Peneliti dari Pusat Kajian Antikotupri (PUKAT) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Fariz Fahrian menilai pencopotan Masinton Pasaribu dari jabatan Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK, lantaran politikus PDI Perjuangan  itu kerap bersikap kebablasan dan memperburuk citra partai. 

Meski belum banyak catatan politik dari pengganti Masinton, Eddy Wijaya Kusuma, Fariz memperkirakan PDIP menginginkan agar perwakilan partai di Pansus lebih bersikap kalem. Namun Fariz mengatakan meski jabatan wakil pansus diganti, arah kebijakan politik PDI Perjuangan di Pansus tidak akan banyak berubah, yakni tetap mengupayakan pelemahan KPK. 

"Mungkin itu bagian dari strategi PDIP, karena memang PDIP sering kali dicap sebagai partai yang ingin melemahkan KPK dan cukup keras di Pansus. Mungkin ini akan berdampak buruk dalam Pilkada di tahun 2018. Masinton dicopot bukan karena vokal, tapi karena dia seringkali berlaku kebablasan. Pansus yang kemudian ingin memperbaiki kinerja KPK, ternyata melemahkan KPK," kata Fariz kepada KBR, Rabu (20/9/2017).

Fariz Fahrian menyebut berbagai pernyataan dan sikap Masinton selama menjabat Wakil Pansus Angket terlalu berlebihan dan justru merugikan partai. 

Dia mencontohkannya pernyataan Masinton yang pertama kali menyatakan keinginan agar Pansus memutar rekaman pemeriksaan politikus Partai Hanura Miryam S Haryani oleh penyidik KPK. 

Selain itu, sikap Masinton yang mendatangi KPK secara demonstratif dan minta ditahan, juga dinilai Fariz berlebihan dan menimbulkan kesan tak percaya pada lembaga antikorupsi tersebut. 

Fariz Fahrian mengaku tidak terlalu mengetahui rekam jejak politik Eddy, pengganti Masinton. Fariz hanya menduga, PDI Perjuangan menempatkan Eddy di posisi Wakil Ketua Pansus Angket untuk memperbaiki citra PDIP yang terlanjur buruk karena getol melemahkan KPK. 

Eddy Widjaja merupakan pensiunan polisi berpangkat Inspektur Jenderal. Ia menjadi anggota DPR melalui proses Pergantian Antar Waktu (PAW), menggantikan Herdian Koosnadi dari wilayah Banten. Herdian diberhentikan dari DPR setelah ditangkap KPK dan kemudian dipenjara karena korupsi.

Menenai keinginan Pansus untuk berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo, sebelum penyampaian laporan akhir di sidang paripurna DPR, Fariz Fahrian menyebut langkah itu tidak penting. 

Ada atau tidaknya pertemuan antara Jokowi dengan Pansus Angket, kata Fariz, yang menjadi sorotan publik adalah sikap Jokowi atas rekomendasi Pansus nanti. 

Fariz menduga, revisi Undang-undang KPK yang diinginkan Pansus Angket selama ini bakal menjadi barter kebijakan dengan Undang-undang Pengampunan Pajak yang tahun lalu menjadi inisiatif pemerintah. Padahal, sebelumnya, UU Pengampunan Pajak merupakan inisiatif DPR, sedangkan UU KPK diajukan pemerintah.

"Saya pikir nanti juga akan keluar sih, rekomendasi revisi Undang-undang KPK. Saya hanya mencermati bagaimana nanti rekomendasi itu ditindaklanjuti Presiden. Jika kemudian DPR tidak bertemu Presiden, bukan berarti barter kebijakan tidak terjadi. Jika Presiden menemui Pansus, maka persepsi masyarakat akan muncul bahwa pemerintah tidak serius mencegah pelemahan KPK," kata Fariz.

Menurut Fariz, Jokowi memiliki kesempatan untuk menunjukkan keseriusan ucapannya soal mendukung penguatan KPK. Apabila Jokowi konsisten dengan ucapannya, maka dia akan menolak semua rekomendasi yang akan diajukan Pansus Angket, seperti halnya saat Pansus Angket merekomendasikan pemecatan Menteri BUMN Rini Soemarno saat kisruh PT Pelindo II.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman 

  • Pansus Angket KPK
  • pansus hak angket kpk
  • Pansus Angket
  • Pansus E-KTP
  • hak angket e-ktp
  • hak angket KPK
  • Pansus Hak Angket
  • Masinton Pasaribu
  • PUKAT UGM
  • pelemahan KPK
  • pembubaran KPK

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!