SAGA

[SAGA] Menolak Menyuap, Karyawan Perusahaan Farmasi diPHK

"“Kami entertain ke user. Apapun dia mau dikasih, seperti hiburan segala macam. Jadi sewaktu-waktu dia telepon, minta diantar pakai mobil kantor.”"

[SAGA] Menolak Menyuap, Karyawan Perusahaan Farmasi diPHK
Ilustrasi. (Foto: Commondreams.org/Creative Commons)

KBR, Jakarta - Lepas tengah hari, Andi, menghabiskan waktu bersama beberapa rekannya di sebuah kafe di Depok, Jawa Barat. Meski percakapan itu penuh gelak tawa, sejatinya ia tengah digelayuti rasa gelisah pasca di-PHK.

April lalu, PT Metiska Farma –tempat Andi bekerja selama hampir satu dasawarsa, memecatnya tanpa pesangon. Hal yang sama juga dialami enam rekannya. Dia menduga PHK sepihak ini lantaran dirinya berhenti melakukan suap. Praktik semacam itu sudah dilakukannya sejak pertama kali bekerja di Metiska Farma pada 2007.


"Jadi kami datang ke user, dengan bawa brosur yang isinya obat-obat. Ditawarkan ke rumah sakit atau ke pratek-praktek pribadi," tutur Andi.


Pemuda berusia 33 tahun ini bercerita, ia diharuskan menjual produk obat-obatan kepada pengguna atau user yakni tenaga medis, terutama para dokter. Kepada mereka, Andi menawarkan berbagai macam imbalan agar mau menuliskan resep produk obat Metiska Farma kepada pasien.


"Jadi ditawarkan ke user, kalau mau pakai dikasih fee. Tapi kalau diskonnya, rata-rata 20 persen dari harga obat."


Selain menawarkan potongan harga yang besar, Andi juga siap memberi komisi, semisal berupa mobil atau uang hingga puluhan juta. Kerap pula, Andi menyiapkan layanan tambahan lain sesuai permintaan. Perusahaannya memakai istilah atau kode berbeda-beda untuk menyamarkan praktik ini. Saat Andi bekerja, kode yang digunakan entertain.


“Kami entertain ke user. Apapun dia mau dikasih, seperti hiburan segala macam. Jadi sewaktu-waktu dia telepon, minta diantar pakai mobil kantor.”


“Ada yang sampai bawain handuknya. Servisnya lebih dari pejabat negara.”


Kepada saya, Andi menunjukkan salinan kesepakatan ‘suvenir’ dengan seorang dokter di RSCM sebagai bukti.  


Andi juga bercerita, praktik semacam ini sudah lazim dilakukan semua perusahaan farmasi. Semua pihak yang terlibat; agen perusahaan maupun dokter, tahu sama tahu. Penawaran hingga kesepakatan dilakukan sembunyi-sembunyi.


“Semuanya pasti ngumpet-ngumpet lah, enggak mungkin vulgar.”


Andi sempat mempertanyakan kehalalan atau keabsahan model bisnis ini. Namun, karena titah perusahan dan semua rekannya melakukan hal serupa, ia tetap bertahan. Dia juga tak mengelak, penghasilannya lumayan besar selama bekerja di perusahaan farmasi. Insentif yang dibawa pulang setiap bulan bisa menembus belasan juta. Karir Andi pun cepat menanjak. Pada 2010, ia memangku jabatan supervisor.


Namun, zona aman Andi mulai terguncang dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes nomor 58 tahun 2016) tahun lalu yang melarang gratifikasi di kalangan dokter. Ia dihantui rasa takut bakal tertangkap tangan. Apalagi, akhir-akhir ini operasi tangkap tangan (OTT) sering terjadi. Sementara perusahaan, sudah pasti bakal lepas tangan.


“Takut lah. Karena kita sendiri yang kena. Jadi semua ditanggung sendiri. Saya jadi enggak berani, karena sekarang banyak kasus OTT.”


Keresahan yang sama dirasakan enam temannya. Sejak akhir tahun lalu, mereka sepakat menyetop pemberian suap dan gratifikasi. Hasilnya? Mudah ditebak, penjualan mereka langsung anjlok lebih dari separuh.


"Pokoknya lebih dari 50 persen hancurnya. Padahal target saya 100 juta sebulan."


Sejak Januari, setiap bulan Andi diganjar demosi atau turun jabatan akibat penjualan yang seret. Pada April, Andi yang sudah berada di posisi terendah, tiba-tiba dimutasi atau dipindah ke Bengkulu. Anehnya, dalam surat mutasi, tidak tercantum alamat kantor cabang di Bengkulu maupun nomor kontak yang jelas. Alhasil, ia dianggap tidak hadir saat proses mutasi dan dianggap mengundurkan diri. Andi juga tidak bisa melontarkan protes apapun karena seluruh saluran komunikasi dengan perusahaan diputus.


“Gaji turun, tunjangan hilang. Sampai Maret, April dimutasi saya nggak datang. Kalau mau protes kemana? Ke HRD enggak diterima juga.”


Merasa diperlakukan tak adil, Andi dan enam temannya menggugat perusahaan. Mereka menunjuk pengacara dan siap bertarung di jalur hukum –menuntut Metiska Farma membayarkan pesangon dan memenuhi hak-hak sebagai pekerja.


“Coba komunikasi dengan owner pun enggak bisa. Ya sudah, ke kuasa hukum aja cari keadilan. Kekeluargaan sudah enggak bisa. Saya minta pesangon dibayar, plus gaji, sama THR. Pokoknya gajinya yang belum dibayar April-Juni.”


Kuasa hukumnya, Odie Hudiyanto mengatakan telah menempuh mediasi dengan perusahaan. Dinas Tenaga Kerja Bogor bahkan mengeluarkan anjuran agar Metiska memenuhi tuntutan para pekerja. Namun, anjuran itu tak digubris.


“Disnaker itu tegas menyatakan bahwa PHK yang diajukan pekerja itu beralasan dikabulkan karena ada perintah dari pengusaha itu untuk memberikan gratifikasi kepada dokter. Dan itu melawan hukum,” terang Odie Hudiyanto.


Odie mengancam akan melaporkan kasus ini ke Kementerian Kesehatan, saber pungli serta maju ke pengadilan hubungan industrial apabila perusahaan tetap bergeming.


Sementara phak Metiska Farma menolak permintaan wawancara. Direktur Utama Metiska Farma, Soni Janto, hanya memberikan tanggapan melalui pesan singkat bahwa perusahaan tidak melakukan PHK sepihak. Soni mengklaim semua langkah terkait tujuh karyawan Metiska sudah sesuai prosedur dan undang-undang.


“Satu hal yang perlu saya garis bawahi adalah perusahaan tidak melakukan PHK sepihak. Semua sesuai SOP dan undang-undang,” ujar Soni Janto.





Editor: Quinawaty

  • PT Metiska Farma
  • PHK
  • menjual produk obat-obatan
  • odie hudiyanto

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!