HEADLINE

51 Tahun Tragedi 65, Penyintas Tunggu Sikap Jokowi

51 Tahun Tragedi  65, Penyintas Tunggu Sikap Jokowi



KBR, Jakarta- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 masih menunggu sikap Jokowi terkait hasil rekomendasi Simposium 1965, sebelum menggugat ke Komisi Informasi.  Sekretaris YPKP 65, Edi Sugianto,  menyatakan masih berupaya bertemu presiden untuk  mendengar jawaban langsung. Sebab, rekomendasi Simposium 1965, baik yang dilakukan di Aryaduta dan Balai Kartini, keduanya telah diberikan kepada orang nomor 1 RI itu.

 “Kedua materi itu sudah diberikan kepada presiden tapi dari Jokowi belum ada reaksi penerimaan,” kata dia ketika dihubungi KBR, Jumat (30/9/2016) siang.

 

“Jadi kami ingin mendapat tanggapan yang jelas dari Jokowi,” tambahnya lagi.


Sebelumnya, YPKP 65 berniat mengajukan gugatan ke Komisi Informasi untuk membuka dokumen rekomendasi Simposium 65. Sebab, dokumen itu tidak pernah dbuka ke publik meski sudah rampung sejak Mei lalu. Saat itu, dokumen berada di tangan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan yang kemudian digantikan oleh Wiranto.

 
Ketika meminta audiensi dengan Wiranto, YPKP 65 ditolak dengan alasan Kemenkopolhukam masih menunggu keputusan pemerintah.


Simposium 1965 yang didukung kantor Menkopolhukam digelar April lalu, menghadirkan pemerintah, pelaku, para korban, bekas tahanan politik, serta aktivis HAM. Simposium kedua dilakukan oleh pihak yang menolak simposium itu, dengan menghadirkan TNI tanpa melibatkan korban.


Korban pelanggaran HAM 1965 telah tindak lanjut dokumen tersebut ke Ketua Pengarah Simposium 1965, Agus Widjojo, yang saat ini jadi gubernur Lemhanas. YPKP juga telah beraudiensi dengan Dewan Pertimbangan Presiden. Kedua pertemuan ini dilakukan Agustus lalu. 


Editor: Rony Sitanggang

  • #tragedi65
  • Sekretaris YPKP 65
  • Edi Sugianto
  • Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965”
  • Presiden Jokowi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!