HEADLINE

'Film G30S Arifin C Noer, Rekonstruksi Sejarah 65 Versi Militer'

""Ada rentang waktu 12 tahun, antara klip versi pertama itu dengan film Arifin C Noer. Artinya apa? Saya yakin betul, Arifin membuat filmnya itu merujuk dari apa yang direkonstruksi Angkatan Darat.""

'Film G30S Arifin C Noer, Rekonstruksi Sejarah 65 Versi Militer'
Pemerintahan Orde Baru menjadikan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya sebagai simbol kemenangan menggagalkan kudeta 30 September 1965. (Foto: www.kemdikbud.go.id)

KBR, Jakarta - Film 'Penumpasan Pemberontakan G30S/PKI' karya Arifin C Noer yang rilis tahun 1984 membius banyak orang hingga era 1990-an. Film itu menggambarkan kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam upaya kudeta pemerintahan.

Pemerintahan Orde Baru menggunakan film tersebut sebagai film resmi melalui stasiun TVRI. Bahkan film itu wajib ditonton para siswa sekolah. Saking wajibnya, ada sekolahan yang punya program nobar (nonton bareng) film G30S setiap akhir September. Siswa yang tidak menonton dicatat dan diinterogasi sekolah.


Pada akhir Orde Baru dan awal Reformasi, kebenaran film sejarah G30S/PKI itu pun ramai dipertanyakan. Setelah ramai dperdebatkan, film itu lantas tidak tayang lagi di TVRI maupun bioskop. Meski begitu, acara nonton bareng masih kerap digelar di instansi militer seperti di kantor Koramil, Korem, Kodim dan sebagainya.


Banyak sejarawan, peminat sejarah dan publik yang mempertanyakan kebenaran film itu. Penelitian demi penelitian dilakukan, menganalisa kepingan-kepingan sejarah. Termasuk yang dilakukan Hafiz Rancajale, seorang pembuat film dokumenter bersama kawan-kawannya dari Forum Lenteng.


"Beberapa tahun terakhir, terutama dua tahun terakhir, saya dan kawan-kawan dari Forum Lenteng ingin membuat sesuatu untuk mengenang 50 tahun peristiwa 65 itu," kata Hafiz.


Karena Forum Lenteng berminat pada arsip dan film, maka yang mereka lakukan tidak jauh-jauh dari seputar film. Apalagi, mereka mendengar kabar mengejutkan dari seorang peneliti tentang arsip di gedung Arsip Nasional: ada versi lain film G30S, yang bukan dibuat oleh Arifin C Noer.


"Saya tertarik. Yang kita tahu selama ini kan hanya ada satu versi yang dibuat zaman Orde Baru itu," kata Hafiz.


Informasi itu lantas ditindaklanjuti Hafiz dan kawan-kawannya dari Forum Lenteng. Mereka mendatangi gedung Arsip Nasional. Selama beberapa bulan, mereka membongkar harta karun berlimpah ruah yang tersimpan di gedung tersebut, khususnya arsip film, video dan klip-klip lain.


"Akhirnya kita temukan arsip itu. Clip temuan yang cukup mengagetkan. Karena film yang kita lihat itu adegannya hampir sama persis dengan film Pengkhianatan G30S PKI yang disutradarai Arifin C Noer," kata Hafiz.


Clip yang ditemukan Hafiz dan kawan-kawan dari Forum Lenteng hanya berdurasi dua menitan, tentang adegan upaya penculikan di rumah Abdul Haris Nasution.


Di film karya Arifin C Noer, istri Nasution yaitu Joanna diperankan Ade Irawan. Di klip ini, bukan Ade Irawan yang bermain.


"Setelah saya telisik-telisik, saya konfirmasi lagi, saya cari-cari siapa orang ini. Akhirnya saya temukan bahwa yang berperan menjadi istri Nasution di klip film adalah Joanna Nasution sendiri," kata Hafiz.


Lalu yang berperan menjadi Nasution siapa? "Hampir 90 persen itu adalah Nasution sendiri yang memerankan diri sendiri," kata Hafiz.


Klip film ini diperkirakan dibuat sekitar 1970-an atau sekitar lima tahun setelah peristiwa G30S. Sedangkan film Pengkhianatan G30S PKI versi Arifin C Noer dibuat sekitar tahun 1982 dan rilis 1984.


Ada banyak kemiripan antara klip di Arsip Nasional itu dengan film Penghianatan G30S karya Arifin C Noer. Bahkan, Hafiz menyebutnya, hampir persis sama.


"Cuma ada beberapa adegan tambahan di film karya Arifin C Noer. Misalnya, ada adegan Nasution melihat ke belakang ketika dia meloncat pagar. Di versi dua menit tidak ada. Lalu di film dua menitan itu ada adegan Nasution mengintip dari pintu, ketika rumahnya didobrak. Di film Arifin ndak ada. Tapi rekonstruksi bagaimana peristiwa itu, Ade Irma Suryani dibunuh, itu hampir persis sama," jelas Hafiz.


"Ada rentang waktu 12 tahun, antara klip versi pertama itu dengan film Arifin C Noer. Artinya apa? Saya yakin betul, Arifin membuat filmnya itu merujuk dari apa yang direkonstruksi Angkatan Darat," kata Hafiz.


Hafiz meyakini klip misterius yang ditemukan di Arsip Nasional itu merupakan upaya rekonstruksi sejarak tragedi 1965 yang dilakukan militer untuk kepentingan propaganda.


Hanya saja, Hafiz menyatakan keyakinannya itu perlu diteliti lagi. Karena ia baru mendasarkan pada klip satu adegan yang ditemukan di Arsip Nasional berdurasi dua menitan. Ia yakin, ada adegan-adegan lain dalam peristiwa 1965 yang direkonstruksi TNI.


"Mungkin ada rekonstruksinya. Karena kendala dana, kami sulit mengakses. Di Arsip Nasional itu kan harus bayar untuk mendapatkan arsipnya. Untuk melihat sih boleh. Tapi untuk mendapat arsipnya harus bayar," lanjut Hafiz.


Melalui film karya Arifin C Noer itu, Hafiz Rancajale dari Forum Lenteng meyakini betapa media khususnya film bisa begitu efektif mencuci otak publik dengan menghadirkan sejarah yang direka oleh militer Orde Baru. Film itu membangun stigma (stempel) tertentu terhadap peristiwa 1965, terhadap para korban, trauma terhadap kejahatan PKI dan sebagainya.


"Salah satu kecanggihan Orde Baru adalah memanfaatkan media dalam mengaburkan sejarah atau membuat sejarah versinya sendiri, versi penguasa. Orde Baru atau militer butuh alat untuk mengkampanyekan bagaimana kejamnya pembunuhan tujuh jenderal itu. Terutama bagi kalangan militer sendiri. Saya kira film rekonstruksi ini juga diputar untuk kalangan militer untuk mendoktrin, begini lho yang dikerjakan PKI. Makanya doktrin itu melekat di kepala kalangan militer sampai sekarang," kata Hafiz Rancajale.


 

  • G30S
  • PKI
  • Komunis
  • TNI
  • Militer
  • orde baru
  • Soeharto
  • Peristiwa 1965
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_merah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!