HEADLINE

Setara Institute: Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Meningkat

Setara Institute: Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Meningkat

KBR, Jakarta - Kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tahun ini meningkat dibandingkan 2017 lalu. Kondisi ini tergambar dari catatan lembaga yang menyoroti isu hak asasi manusia dan kebebasan beragama serta berkeyakinan, Setara Institute. Menurut Direktur Setara Institute Halili, hingga pertengahan 2018 ini terdapat total 109 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kasus-kasus itu tersebar di 20 provinsi di Indonesia.

"Atau tepatnya akhir Juni 2018, Setara institute mencatat total 109 peristiwa pelanggaran KBB dengan 136 tindakan," papar Halili saat konferensi pers di kantor SETARA institute, Jakarta, senin (20/8/2018).

Ia menyandingkan, jumlah itu lebih tinggi dibanding data tahun lalu pada periode yang sama. Hingga akhir Juni 2017, Setara mencatat terjadi 80 peristiwa dengan 99 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. "Artinya medio 2018 terjadi peningkatan sebesar 20 peristiwa dan 37 tindakan," tambah dia.

Peningkatan itu, menurut Halili, disebabkan beberapa faktor pokok. Di antaranya intensitas politisasi agama, peningkatan intoleransi, kompleksitas persoalan penodaan agama, dan kegiatan media sosial juga kebangkitan kelompok ekstrimisme serta anti-pancasila.

"Naik dari 2017 lalu hingga medio pertengahan tahun yang sama. Banyak faktor pokok pemicunya karena faktor peran serta pemerintah kurang maksimal untuk meminimalisir terjadinya peristiwa pelanggaran KBB."

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/nasional/01-2018/setara_institute__kasus_pelanggaran_kebebasan_berkeyakinan_menurun_selama_2017/94485.html">Pemantauan Setara Institute Soal Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Selama 2017</a><br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/berita/07-2018/ngobrol_bareng_ariel_heryanto__mulai_dari_sumber_kebencian_hingga_kerinduan_akan_yang_asli/96639.html"><b>Ngobrol Bareng Ariel Heryanto, Mulai dari Sumber Kebencian hingga Kerindungan akan Yang Asli</b></a>&nbsp;<br>
    

Untuk tahun ini, ia menjelaskan, peringkat pertama pelanggaran terjadi di DKI Jakarta. Dari 109 kasus, 23 di antaranya terjadi di ibukota. Kata Halili, ini kali pertama terjadi sepanjang 11 tahun lembaganya melakukan riset pemantauan. DKI Jakarta menjadi daerah dengan jumlah pelanggaran tertinggi mengungguli Jawa Barat--yang biasanya jadi langganan.

"Kalau Polanya tidak berubah ya, DKI akan tetap sebagai yang tertinggi. Tetapi kan sangat mungkin Jawa Barat menyalip lagi," kata Halili.

"Peristiwa itu karena tiga hal yaitu pertama negara sebagai katalisator, kedua kelompok intoleran kelompok menjadi variabel terjadi, ketiga masyarakat sipil," jelasnya lagi.

Halili pun memaparkan, dari 136 tindakan pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan, 40 di antaranya melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor utama. Pelanggaran paling banyak itu adalah tindak kriminalisasi sebanyak tujuh tindakan.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/02-2017/intolerasi__wahid_foundation__trend_dari_kekerasan_bergeser_ke_kriminalisasi/88928.html">Intolerasi, Wahid Foundation: Trend dari Kekerasan Bergeser ke Kriminalisasi</a> </b><br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/01-2017/korban_pelanggaran_kebebasan_beragama_tertinggi_bergeser_dari_syiah_ke_kelompok_gafatar/88403.html">Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama Tertinggi Bergeser dari Syiah ke Kelompok Gafatar<span id="pastemarkerend">&nbsp;</span></a></b></li></ul>
    

    Dari 100an lebih tindakan tersebut, kepolisian menjadi aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sementara pelaku pelanggaran dari aktor non-negara dengan jumlah 25 tindakan dilakukan oleh individu.

    "Paling tinggi aktor negara dari kepolisian ada 14 tindakan karena potensi kriminalisasi yang awalnya diterima aduan yang masuk. Perspektif toleransi yang baik agar setiap laporan yang masuk tidak serta merta langsung dikriminalkan," tutur Halili.

    Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos pun mengatakan miris atas temuan lembaganya tersebut. Pasalnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan telah dijamin dan diatur pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Ditambah lagi, diperkuat dengan Pasal 28E ayat (1&2) UUD 1945, UU Nomor 39/1999 tentang HAM dan UU Nomor 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.

    "Semua sudah jelas dalam pasal-pasal yang diatur, dan berharap pemerintahan Jokowi di sisa waktunya dapat mengendalikan permasalahan KBB ini," tutup Bonar.

    Baca juga:

      <li><b><a href="http://kbr.id/berita/11-2017/penelitian_setara__jakarta__paling_intoleran/93494.html">Penelitian Setara: Jakarta Paling Intoleran</a> </b><br>
      
      <li><b><a href="http://kbr.id/berita/03-2017/kongres_kebebasan_beragama__komnas_ham_minta_pemerintah_beri_solusi/89256.html">Kongres Kebebasan Beragama, Komnas HAM Minta Pemerintah Beri Solusi<span id="pastemarkerend">&nbsp;</span></a></b></li></ul>
      




      Editor: Nurika Manan

  • kebebasan berkeyakinan
  • toleransi
  • pelanggaran
  • intoleransi
  • Bonar Tigor
  • Setara Institute
  • pelanggaran kebebasan beragama
  • kebebasan beragama
  • intoleran

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!