OPINI

Berdagang HAM

Ilustrasi. Aksi Kamisan menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM. (Foto: Antara/Fanny Octavianus)

Hari-hari ini, pelbagai tragedi berdarah masa lalu tampaknya tak lebih dari sekadar dagangan politik. Semula Presiden Joko Widodo menjanjikan penyelesaian, tapi hingga hampir di ujung masa jabatan, tak satu pun berkas penyelidikan Komisi Nasional HAM yang dieksekusi. Menkopolhukam Wiranto yang menerima tongkat estafet tak juga meneruskan penyelesaian kasus dari Luhut Binsar Pandjaitan. 

Bekas Panglima pada masa kritis Orde Baru itu hanya berwacana membentuk tim ini itu untuk mencari hambatan penyelesaian kasus HAM. Mulai dari  Dewan Kerukunan Nasional (DKN) sebagai panasea, sampai tim terpadu yang akan membedah satu persatu dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pak Wir, hambatan penyelesaian kasus HAM setidaknya berkutat pada dua hal. Pertama, keengganan Jaksa Agung Prasetyo menjalankan fungsi penyidikan, dua; aparatur sipil dan militer yang enggan menyerahkan dokumen terkait kasus pelanggaran HAM. Komnas HAM bukannya tak ingin melengkapi bukti, tapi tak bisa. Undang-undang hanya menugasi lembaga ini untuk melakukan penyelidikan. Berkasnya pun tak kunjung beranjak dari tangan Jaksa Agung.

Kalau serius memberesi persoalan HAM masa lalu, maka sisa waktu yang ada mesti dipakai untuk menelinga dan membahu membongkar hambatan tadi. Ini berlaku buat Jokowi juga partai pendukungnya di DPR. Juga buat politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar yang baru-baru ini memberi penghargaan bagi puluhan pejuang kemanusiaan; termasuk Munir, Marsinah dan Wiji Thukul. Langkah tak boleh berhenti di penghargaan, tapi harus mewujud konkret di Senayan. Kasus HAM masa lalu tak boleh hanya jadi bahan dagangan di Pilpres 2019. Karena sesungguhnya, kita tidak akan kemana-mana bila pelbagai tragedi berdarah tersebut belum selesai. 

  • penyelesaian kasus pelanggaran HAM
  • Menkopolhukam Wiranto
  • Dewan Kerukunan Nasional DKN
  • Wiji Thukul

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!