HEADLINE

Apa Kabar Kelanjutan Gugatan Warga ke Pemerintah Soal Kasus Karhutla?

Apa Kabar Kelanjutan Gugatan Warga ke Pemerintah Soal Kasus Karhutla?

KBR, Jakarta - Gugatan Warga Negara atau Citizen Law Suit kasus kebakaran hutan dan lahan sejak 1997 hingga 2015 di Kalimantan Tengah, masih belanjut. Setelah hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah memperkuat kemenangan gugatan warga di Pengadilan Negeri Palangkaraya, pemerintah lantas mengajukan kasasi.

Sebelumnya hakim memutus pihak tergugat termasuk Presiden Joko Widodo divonis bersalah atas terjadinya karhutla. Pemerintah diperintahkan untuk melaksanakan sejumlah poin di antaranya, menerbitkan peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan karhutla. Selain itu, pemerintah diharuskan meninjau ulang dan merevisi izin kelola hutan, serta melakukan penegakan hukum.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai salah satu pihak tergugat menyatakan telah mengajukan kasasi sejak beberapa bulan lalu. Kepala Biro Hukum KLHK Krisna Rya menyebut, putusan hakim mengesampingkan pembelaan pemerintah. Ia mengklaim pemerintah telah menjalankan tugas dan menempuh pelbagai kebijakan penanganan karhutla.

"Kami sudah sampaikan itu, sudah ada. Dan itu juga ada Permennya, dan setahu saya banyak. Malah yang Permen 17 itu digugat oleh pengusaha, karena kami mewajibkannya banyak. Jadi sebagian yang diminta itu sudah, dan sudah disampaikan," kata Krisna kepada KBR, Rabu (22/8/2018).

"Jadi apa yang kurang? Yang sebagian yang diminta itu sudah. Apa lagi yang diminta? Cuma memang karena terjadi ke Kalimantan Tengah, mereka juga membidik pemda Kalimantan Tengah, untuk lebih," tambahnya.

Baca juga:

Krisna Rya berdalih sejak 2015 hingga kini, telah menempuh pelbagai kebijakan. Bahkan menurutnya, aturan soal kualitas lingkungan hidup dan penanganan karhutla kini sudah lengkap. Meski tak merincinya, ia memberi contoh di antaranya berupa PP nomor 57 tahun 2016 yang merupakan perubahan atas PP nomor 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Selain itu, aturan turunan berupa Peraturan Menteri LHK nomor 17 tahun 2007 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut.

Hal lain selain peraturan, hakim juga memerintahkan pemerintah untuk mewajibkan pembebasan biaya pengobatan bagi warga yang sakit akibat pencemaran udara. Menurut Krisna, hal itu juga sudah dilakukan Kementerian Kesehatan melalui program jaminan kesehatan. Adapun soal kewajiban membuat tempat evakuasi ruang bebas pencemaran, menurutnya adalah tanggung jawab pemerintah daerah, yang memang belum terwujud.

Dengan begitu menurut Krisna, sebagian perintah di antaranya sebetulnya sudah dijalankan oleh pemerintah. Itu sebab, ia optimistis pada kasasi nanti majelis hakim bakal mempertimbangkan upaya penanganan Karhutla yang sudah ditempuh pemerintah.

"Insyaallah Mahkamah Agung sudah melihat, pemerintah jangan terlalu disalahkan. Kami mau minta riil saja. Kalau ada yang perintah baru, oke. Tapi yang sudah kami lakukan juga dihargai," kata Krisna.

Baca juga:


Respons Penggugat

Kontra kasasi menurut salah satu penggugat kasus ini, Arie Rompas, telah dilayangkan ke Mahkamah Agung sekitar sebulan setelah putusan dibacakan. Dalam laman Mahakamah Agung tercatat, hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah membacakan putusan pada September 2017.

Arie pun membantah pembelaan pemerintah dalam kasasi tersebut. Ia menilai pemerintah masih punya sederet pekerjaan rumah terkait penanganan karhutla. Menurutnya, sejumlah putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya belum dipatuhi, khususnya terkait penegakan hukum.

Aktivis lingkungan itu menyebut selama ini penegakan hukum yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh perusahaan-perusahaan besar.

"Faktanya di Kalimantan Tengah ada beberapa perusahaan yang membakar di 2015, ditemukan lagi pembakaran di wilayah konsensi mereka. Belum ada efek jera untuk korporasi. PT KNL di Kapuas misalnya. Perusahaan kecil yang diseret, padahal perusahaan besar juga ada yang bertanggung jawab," kata Arie saat dihubungi KBR, Rabu (22/8/2018).

Ia menambahkan, pengadilan juga mengharuskan pemerintah membuka data perusahaan pemegang izin yang lahannya terbakar kepada publik. Tapi hingga kini, hal tersebut belum pernah dilakukan.

Arie mengaku optimistis Mahkamah Agung akan menolak upaya kasasi pemerintah. Pasalnya, fakta di lapangan menunjukkan dengan jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan masih terjadi. Ketiadaan aturan turunan Undang-undang Lingkungan Hidup diyakininya menjadi faktor utama gagalnya penanganan karhutla.

Baca juga:


Menimbang Kasasi

Senada, ahli hukum Universitas Airlangga Iman Prihandono menyebut pelbagai upaya penanganan pemerintah itu tak lantas bisa mengesampingkan kelalaian yang terjadi akibat Karhutla pada 1997-2105. Iman yang juga menjadi saksi ahli dalam perkara ini justru menyarankan pemerintah menarik kasasi. Sebab menurutnya langkah hukum itu buang-buang energi belaga.

Argumen yang diajukan pemerintah lemah karena karhutla sampai saat ini masih terjadi.

"Akan lebih bijaksana kalau pemerintah melaksanakan putusan pengadilan tingkat pertama dan banding. Mengajak para penggugat duduk bersama merumuskan apa yang harus dilakukan pemerintah," kata Iman saat dihubungi KBR, Rabu (22/8/2018) malam.

Iman menegaskan upaya kasasi tidak menutup fakta bahwa karhutla masih terjadi tahun 2015 hingga saat ini. Sebaiknya menurut dia pemerintah fokus menjalankan poin-poin putusan pengadilan. 

Pengadilan Negeri Palangkaraya sudah memerintahkan pemerintah melakukan sejumlah langkah untuk mengatasi karhutla mulai dari memperbaiki penegakan hukum, membuka data perusahaan pembakar, hingga membangun rumah sakit khusus penanganan korban karhutla.

Namun hampir setahun sejak pengadilan tinggi mengukuhkan putusan pengadilan negeri, Iman menyoroti masih ada sejumlah poin yang belum dipatuhi pemerintah.

"Sebagian sudah, misal menerbitkan PermenLHK soal pengendalian kebakaran hutan. Tapi di putusan itu diantaranya juga ada membangun rumah sakit khusus bagi korban asap. Ini salah satu yang sepertinya enggan dijalankan pemerintah."

Baca juga:


Kesaksian Warga

Salah satu warga Kalimantan Tengah, Fathur Fathurahman mengungkapkan kabut asap yang muncul akibat karhutla, sangat membahayakan. Menurutnya, dampak karhutla di daerahnya merugikan tak hanya dari segi kesehatan, melainkan juga mata pencaharian. Kepulan asap selama berbulan-bulan memaksa banyak warga berhenti bekerja.

"Batas PM10 itu tingkat berbahaya sekitar 350, di Kalteng pada tanggal 20 Oktober angkanya hampir tembus 4000. Bayangkan saja, 350 itu sudah pada tingkat berbahaya, dan di Kalteng hampir menyentuh angka 4000," cerita Fatur kepada KBR.

Karena itu, warga menggugat pemerintah melalui mekanisme Citizen Lawsuit atau gugatan warga negara. Pada pengadilan tingkat pertama dan kedua, para penggugat menang sehingga hakim pengadilan negeri dan tinggi mengharuskan pemerintah menyusun aturan agar peristiwa serupa tak berulang. Selain itu, para penggugat meminta Kementerian Kesehatan untuk membuka rumah sakit khusus paru-paru.

Fathur Fathurrahman yang juga menjadi salah satu penggugat berharap kasus ini tak dipolitisasi oleh pihak manapun. Ia menduga ada yang sengaja menaikkan isu ini di tahun politik. Sebab, putusan pengadilan sebenarnya telah beredar sejak tahun lalu.

Sejak pengajuan kasasi pemerintah, hingga kini, belum ada keputusan dari Mahkamah Agung. Saat dikonfirmasi mengenai ini, juru bicara MA Abdullah mengatakan belum memeriksa perkembangan proses hukum perkara. "Nanti saya cek dulu ya," jawabnya singkat.

Kebakaran hutan dan lahan terbesar tercatat terjadi pada 2015. Karhutla yang melanda sejumlah wilayah seperti Sumatera dan Kalimantan mengakibatkan 24 orang meninggal dan 60 juta orang terdampak.

Kerugian akibat karhutla itu mencapai Rp221 triliun. Meski pemerintah mengklaim jumlahnya terus menurun, tetapi karhutla terus terjadi hingga saat ini. Di Kalimantan Barat, tercatat sudah ada 4 orang meninggal dunia akibat karhutla.

Baca juga:




Editor: Nurika Manan
  • Karhutla
  • Kasasi
  • Presiden Jokowi
  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!