BERITA

'Mereka Menyebut Saya Anak yang Dilacurkan'

'Mereka Menyebut Saya Anak yang Dilacurkan'

KBR, Jakarta - Suara riuh tepuk tangan peserta seminar "Inklusi Sosial bagi Anak yang Dilacurkan" menghentak langit-langit sebuah hotel di kawasan Jakarta, Rabu lalu.

Beberapa yang hadir mengelu-elukan nama anak si pembuat ketakjuban hadirin.


Anak itu adalah RR, siswa SMA usia 17 tahun asal Bandung, Jawa Barat, yang berhasil memenangkan lomba membuat sinema dengan tema 'anak yang dilacurkan'.


Dari atas panggung, RR membagikan kisah dalam filmnya. Seorang anak SMP yang akrab dengan narkoba dan minuman beralkohol, bahkan si anak itu kerap mengonsumsinya.


Tidak hanya itu, tokoh anak dalam film buatan RR dan teman-temannya ini adalah anak yang sudah kerap kali melakukan hubungan seks.


"Kisah dalam film kami ini diambil dari kisah nyata saya. Dan saya tidak malu. Sekarang saya sudah berubah menjadi yang lebih baik!" pekikan suara RR lantang menggaung di telinga hadirin.


Emosi mengaduk-aduk hadirin di ruangan itu. Ada yang terisak menahan tangis. Kisah pilu RR mengetuk simpatik ratusan hati.


RR turun panggung bersama pemenang lomba lainnya. Ia pun melangkahkan kakinya menuju lingkaran meja-meja yang ditempati remaja sebayanya. Membaur tanpa sekat dengan saling bertukar senyum.


"Saat SMP saya keluar sekolah, itu sudah mau ke SMA. Dua tahun ke belakang berarti usia 15 tahun. Nakal, main, seks bebas, narkoba, clubbing gitulah. Namanya masih muda, masih kecil. Bisa terjadi kaya gitu karena memang dari kecil saya nggak bersama orang tua saya. Waktu SD saya hanya tinggal sama nenek saya. Seperti hidup sendiri saja. Saya pun melakukan itu cuma ingin mencari kenyamanan," kata RR.  


Banyak tetangganya kemudian menganggap RR membawa pengaruh buruk dalam pergaulan teman-temannya. Satu persatu teman dekatnya menjauh, karena dilarang bermain dengan RR.


Sementara, komunikasi dari keluarganya tidak cukup bisa membuat RR merasa diperhatikan.


Korban pelacuran


RR tidak sendiri. Data yang dilansir dari Fakultas Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menyebut sekurangnya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi tiap tahun.


Angka itu meningkat 100 persen lebih dari statistik badan PBB untuk anak, Unicef, pada 1998 yang mencatat sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi.


Berdasarkan data ILO, pada 2002-2006 ditemukan dari 165 ribu pelacur sekitar 30 persennya atau 49 ribu jiwa adalah anak di bawah usia 18 tahun. Sekitar 70 persen dari anak korban pelacuran berusia antara 14 hingga 16 tahun.


Kejahatan yang menimpa mereka bervariasi, dari sindikat pelacuran, pedofilia, pornografi dan sebagainya.


"Penegakan hukum terhadap orang-orang yang memanfaatkan seksualitas anak itu sangat penting," kata Ketua Pengurus Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMI), Odi Salahuddin.


Odi juga menyoroti peran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak yang mestinya memperkuat perlindungan terpadu berbasis masyarakat.


"Sehingga masyarakat semuanya peduli dan juga melakukan pencegahan, termasuk juga empati. Sehingga mereka melakukan upaya-upaya  pemulihan bagi anak-anak itu," kata Odi Salahuddin.


Dikuasai politik praktis


Sosiolog dari UGM, Arie Soejito menilai upaya yang dilakukan pemerintah sudah banyak.

Namun wacana terkait tentang anak yang dilacurkan masih belum menjadi perhatian bersama.


Wacana pada ruang publik masih dikuasai oleh isu politik praktis. Padahal isu anak yang dilacurkan adalah isu kemanusiaan.


"Diskursus publik masih banyak ditumpangi oleh isu lain. Publik lebih senang dengan isu politik praktis. Tapi diskursus kekerasan anak dan perempuan tidak atau jarang diangkat ke ruang publik. Padahal ini isu kemanusiaan," kata Arie Soejito.


Arie Soejito pun menelaah akar permasalahan dari anak yang dilacurkan. Menurutnya, penyebab pertama adalah belum terpadunya arus utama isu di tingkat negara dalam bentuk regulasi kelembagaan dan alokasi anggaran dengan gerakan sosial.


Kedua, fakta adanya eksploitasi anak kurang mendapat perhatian serius dari negara. Meski konstitusi menjamin perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan dan pornografi anak dan perempuan, namun keinginan politik di tingkat praksis gagal menjadikan isu ini sebagai aktivitas berkelanjutan.


"Negara, dalam hal ini pemerintah, perlu mengoreksi pendekatan yang kurang efektif. Selain itu lingkungan masyarakat secara sosiokultural sering kali bertentangan. Bahkan melecehkan anak dengan guyon bahasa macam-macam," kata Arie Soejito.


Arie mengatakan masih banyak orang tidak sadar dengan praktik pelecehan seperti itu, sehingga mengendap di tingkat bawah sadar.


"Itu nantinya akan membiarkan anak yang dilacurkan ini. Selanjutnya tidak ada edukasi untuk mencegah praktik seperti itu," kata Arie.


Editor: Agus Luqman 

  • kekerasan seksual
  • korban pelecehan seksual
  • Eksploitasi Seksual Komersial Anak
  • kejahatan seksual pada anak
  • anak yang dilacurkan
  • perlindungan perempuan
  • perlindungan anak

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!