ASIACALLING

Pemberhentian Perdana Menteri Pakistan Munculkan Pertanyaan Soal Demokrasi

Protes soal Panama Papers di Pakistan. (Foto: Naeem Sahoutara)

Juli lalu, Mahkama Agung Pakistan memberhentikan Perdana Menteri Muhammad Nawaz Sharif. Dia dinyatakan bersalah karena menyembunyikan asetnya di wilayah bebas pajak saat menjabat.

Keputusan pengadilan tertinggi ini keluar setelah mereka menyelidiki dugaan korupsi itu selama beberapa bulan.

Ini adalah kali ketiga Nawaz Sharif tidak menyelesaikan tugasnya sebagai Perdana Menteri. Sejak Pakistan merdeka 70 tahun silam, tidak ada Perdana Menteri sipil yang bisa menyelesaikan masa jabatannya.

Dari Karachi, koresponden Asia Calling KBR, Naeem Sahoutara, mencari tahu apa dampak putusan ini terhadap demokrasi negara itu.

Rakyat Pakistan sedang menunggu. Di seluruh pelosok negeri, lewat saluran televisi, rakyat mendengarkan keputusan  Mahkamah Agung atau MA yang bersejarah bulan lalu. MA telah menyelidiki dengan seksama tuduhan korupsi yang pertama kali muncul dalam Panama Papers tahun lalu. 

Mereka menemukan kalau Perdana Menteri Muhammad Nawaz Sharif gagal menjelaskan asetnya di luar negeri. Dan juga gaji bulanan yang dia terima sebagai Pimpinan di perusahaan milik anaknya yang berbasis di Uni Emirat Arab.

Perdana Menteri dan masyarakat sangat terkejut dengan putusan MA itu. Dalam tujuh dekade sejak Pakistan merdeka, ini kali pertama Perdana Menteri yang sedang menjabat dianggap bertanggung jawab atas kasus korupsi.

Meski ada bukti kuat kalau Perdana Menteri korupsi, banyak mengkritik putusan MA itu. Dr Tauseef Ahmed, profesor Komunikasi Massa di Universitas Karachi, mengatakan putusan itu cacat.

“Ini adalah penilaian yang keliru, yang merugikan demokrasi di Pakistan dan ruang bagi politisi sipil,” kata Dr Tauseef.

Pakistan punya sejarah panjang kediktatoran dan demorasi yang lemah. Para diktator militer memerintah negara itu, secara langsung maupun tidak, selama 36 tahun. Tauseef Ahmed mengatakan putusan MA itu telah merusak demokrasi di Pakistan.

“Kelangsungan hidup sistem demokrasi dipertanyakan. Karena penggulingan Perdana Menteri ke-27 ini berdampak langsung pada demokrasi. Ironisnya dari 27 Perdana Menteri negara ini, belum ada satu pun yang menyelesaikan masa jabatan mereka karena kekuasaan. Kekuasaan artinya tentara dan birokrasi,” jelas Dr Tauseef. 

Muhammad Nawaz Sharif adalah pemimpin sipil. Ini adalah kali ketiga dia terpilih sebagai Perdana Menteri dan ketiga kalinya pula dia digulingkan dari jabatannya sebelum menyelesaikannya.

Pada 1993 Sharif mengundurkan diri dari jabatannya di bawah tekanan Angkatan Bersenjata Pakistan. Saat itu tuduhannya juga korupsi. Dia terpilih kembali untuk kedua kalinya pada 1997. Tapi dalam waktu tiga tahun, dia digulingkan oleh diktator militer Jenderal Pervez Musharraf yang kemudian memberlakukan darurat militer.

Sharif bukan satu-satunya pemimpin sipil yang digulingkan oleh militer. Perdana Menteri sebelumnya mengalami nasib yang sama.

“Masalah penggulingan Perdana Menteri sipil ini sudah ada sejak awal,” kata peneliti sekaligus jurnalis Akhtar Balouch. Dia mengatakan ancaman penggulingan terus-menerus membuat partai politik rentan.

“Ketika partai politik mulai berkuasa, mereka fokus untuk menyelamatkan pemerintahan karena khawatir akan digulingkan. Mereka abai dalam memperkuat partai. Itu sebab jika terjadi kudeta militer, partai politik itu tidak bisa bertahan,” tutur Akhtar.

Pengamat mengatakan militer berulang kali menuduh pemerintah sipil korupsi dan memerintah dengan buruk. Alasan ini digunakan militer untuk mengambil alih kekuasaan. Tapi pada saat yang sama, korupsi merajalela di Pakistan.

Menurut perkiraan pemerintah sendiri, sekitar 160 trilyun rupiah dikirim ke luar negeri dan disimpan di bank asing setiap tahun. Banyak politisi dan birokrat menghadapi tuduhan korupsi yang serius tapi sangat jarang mereka dimintai pertanggungjawaban.

“Partai politik sendiri tidak percaya pada sistem pemerintahan daerah. Padahal ini merupakan tempat tumbuhnya kepemimpinan politik dan tempat belajar untuk menyelesaikan masalah publik. Itu sebab mengapa sistem politik yang ada di Pakistan tidak pernah menjadi demokrasi partisipasi,” jelas Akhtar.

Partai politik takut kehilangan kekuasaan di tingkat akar rumput dan berusaha menghindari terlibat dalam pemerintahan daerah. Tahun ini, pemilihan pemerintahan daerah berlangsung untuk kali pertama dalam 10 tahun. Itu pun setelah ada campur tangan Mahkamah Agung.

Balouch mengatakan pemerintahan demokratis yang lemah membuat negara rentan diambil alih diktator. “Karena ada beberapa 'pemimpin parasut' atau diktator yang tidak dilatih untuk menyelesaikan masalah secara politik, menjadi anggota Parlemen.”

Sementara itu meski dinyatakan bersalah, bekas Perdana Menteri Muhammad Nawaz Sharif akan melawan pemberhentiannya di Mahkamah Agung. Dan dia juga berencana mencalonkan diri lagi dalam pemilihan tahun depan.

“Wakil rakyat yang terpilih mewakili 200 juta orang tidak boleh diperlakukan seperti ini. Perlakuan yang menghina semacam ini tidak bisa ditolerir. Dan sejarah akan menentukan apakah putusan pengadilan ini baik untuk Pakistan atau tidak,” kata Nawaz.

 

  • Naeem Sahoutara
  • Perdana Menteri Pakistan
  • Muhamad Nawaz Sharif
  • Situasi Politik Pakistan
  • Perdana Menteri Pakistan dipecat
  • Panama Papers Pakistan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!