BERITA

Keluarga Korban Tagih Janji Jokowi Tuntaskan Kasus Penghilangan Paksa

Keluarga Korban Tagih Janji Jokowi Tuntaskan Kasus Penghilangan Paksa

KBR, Jakarta - Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan para keluarga korban pelanggaran HAM mendesak Presiden Joko Widodo memenuhi janjinya menuntaskan kasus-kasus penghilangan orang secara paksa.

Penuntasan sejumlah kasus orang hilang masih mangkrak, mulai dari peristiwa 1965-1966, kasus Aceh, Timor Leste, hingga hilangnya 13 aktivis politik pada periode 1997-1998.


Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Yeti menagih janji presiden Joko Widodo untuk membentuk tim pencarian di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.


"Keluarga korban hanya ingin mendapat kejelasan dari Presiden atau dari Menkopolhukam. Dimana keberadaan anaknya yang hilang, hidup atau matinya. Mereka tidak ingin hal-hal lain. Pengadilan memang harus ada, agar ada kejeraan bagi orang yang sudah menghilangkan orang secara paksa," ujar Yeti di kantor Amnesty Internasional, Jakarta, Rabu (30/8/2017).


Baca juga:


Yeti mengatakan Pemerintahan Jokowi sudah berjanji menuntaskan kasus penghilangan paksa sejak dua tahun lalu. Namun, hingga kini, kata Yeti, keluarga korban belum pernah sekalipun diajak bertemu. Pemerintah juga tidak pernah menindaklanjuti rencana pembentukan tim pencari tersebut.

Kasus penghilangan paksa ini pernah diselidiki Panitia Khusus di DPR periode 2009-2014. Ketika itu, Pansus menghasilkan empat rekomendasi. Pertama, membentuk pengadilan HAM adhoc khusus kasus penghilangan paksa. Kedua, mencari 13 aktivis yang masih hilang sejak tahun 1997-1998. Ketiga, pemerintah harus memberi kompensasi dan rehabilitasi bagi keluarga korban. Keempat, meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa.


Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia mengatakan pemerintah tidak pernah menindaklanjuti empat rekomendasi DPR itu. Padahal, Ombudsman RI sudah tiga kali menyurati pemerintah untuk menagih kepatuhan mereka. Namun surat terakhir yang dikirimkan Ombudsman tahun 2016 tidak dijawab.


"Di sidang Universal Periodic Review (UPR) ada pertanyaan dari negara-negara soal penghilangan paksa, khususnya di Papua. Representatif Indonesia saat itu berjanji akan membentuk pengadilan HAM untuk Wasior dan Wamena. Itu harus diuji dan ditagih, jangan hanya di level internasional," kata Putri Kanesia.


Data yang dihimpun Kontras, hutang pemerintah untuk kasus penghilangan paksa masih menumpuk. Untuk periode 1965-1966 terdapat 32.774 orang yang dibunuh atau hilang. Periode 1982-1985 ketika marak penembak misterius (petrus) setidaknya 23 orang hilang.


Kontras juga mencatat ada 88 orang hilang saat peristiwa Talangsari 1989, sebanyak 1.935 orang hilang ketika darurat militer di Aceh 2003-2004, serta enam orang hilang ketika peristiwa Wasior (2001) dan Wamena (2003).


Selain itu, ketika konflik Timor Leste tahun 1999, komisi gabungan antara pemerintah Indonesia dan Timor Leste mencatat ada sekitar 5000 orang hilang. Sebagian besar adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • penghilangan paksa
  • kasus penghilangan paksa
  • penghilangan aktivis 98
  • korban penghilangan paksa 1997/1998
  • Ratifikasi Konvensi Penghilangan Orang Secara Paksa
  • Orang Hilang
  • Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
  • kontras
  • IKOHI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!