OPINI

Nasib Kritis Gajah Sumatera

Tim forensik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung memeriksa bangkai gajah Suma

Gajah kembali mati di tanah Sumatera. Bagian caling atau gading gajah betina itu diambil, menyisakan jenazah gajah dengan rahang menganga. Gajah berusia 20 tahun ini mati hanya 3,5 kilometer dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Muko-muko, Bengkulu. Persisnya gajah ini mati di Hutan Produksi Air Teramang, habitat populasi terakhir kelompok  besar 40an gajah liar di Bengkulu.

Padahal baru awal Juni lalu kita mendengar kabar matinya Gajah Bunta di Aceh. Saat ditemukan, gading gajah hilang sebelah, dengan cara dibelah di bagian pipi. Bunta diduga diracun pada awal Juni lalu. Kematian Gajah Bunta memicu respons besar - sayembara 100 juta dari Gubernur Aceh, tanda tangan 40 ribu netizen yang menuntut pengusutan kasus ini sampai Menteri Lingkungan Hidup yang mengaku kecolongan soal kematian Bunta karena ia mati di area konservasi. Kasus masih terus diusut polisi.

Mau sampai kapan kita dengar kasus seperti ini? Satwa langka mati karena perdagangan ilegal untuk kesenangan manusia. Padahal jumlah gajah di tanah air sangat kritis; kalah oleh perburuan gading atau hilangnya hutan yang kalah oleh kebun sawit. 

Seruan demi seruan muncul, petisi terus ditandatangani, kita mendorong terus adanya perubahan. Sebab gajah yang punah berarti habis juga hutan kita dengan segala kebaikan yang diberikan demi kehidupan manusia. Kita tak perlu kenal dengan gajah-gajah yang mati itu untuk mulai bergerak melindungi mereka, dengan cara sekecil apa pun. 

  • pembantaian gajah sumatera
  • gajah mati di Hutan Produksi Air Teramang
  • populasi terakhir gajah liar Bengkulu

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!