Article Image

SAGA

Pro Kontra Perda Kawasan Tanpa Rokok Kota Bogor

Jumat 14 Jul 2017, 15.13 WIB

Wali Kota Bogor, Bima Arya, sedang mengkampanyekan Perda Kawasan Tanpa Rokok di angutan umum. Foto: Rafik Maeilana/KBR.

KBR, Bogor - Pengujung Mei 2017, Wali Kota Bogor Bima Arya sedang gencar-gencarnya menyosialisasikan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok. Ini kali, sosialisasi diselipkan bersamaan dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia –yang kemudian mencetuskan gerakan Angkot Tanpa Rokok. 

Di Tugu Kujang, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menempel stiker larangan merokok di bagian belakang mobil angkutan umum. Tak hanya itu, dia juga konvoi bersama angkot yang telah ditempeli stiker –mengelilingi Istana Bogor. 

“Kita berusaha mendorong agar angkot ini bisa bersih dari rokok. Sekarang kita mengkampanyekan dan ada 16 angkot yang ditempel stiker anti-rokok. Kami meminta kalian untuk mengupload ke sosial media, perihal gerakan tanpa rokok ini,” kata Bima Arya dengan suara lantang.

Mengapa Bima Arya menyasar angkot atau angkutan umum? Sebab aturan larangan merokok di angkutan umum sebetulnya sudah ada sejak 2012 tapi kerap dilanggar. Hal lain, angkutan umum adalah ruang publik yang mestinya jauh dari bahaya asap rokok.

Pada perayaan itu pula, Bima Arya menyampaikan niatnya memperkuat Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) untuk kota berjulukan sejuta angkutan umum ini. Dan, satu poin dalam perda itu bakal melarang penggunaan rokok elektrik di ruang publik. 

“Perda KTR akan dikuatkan lagi lewat revisi. Salah satunya memasukkan larangan untuk rokok elektrik. Rokok elektrik ini membahayakan juga, tapi kita sedang memeriksa dalil-dalilnya lagi,” katanya.

Pelarangan rokok elektrik ini mencuat, setelah anak-anak muda di Kota Bogor marak mengisap vape –sebutan untuk rokok elektrik. Bahkan pada beberapa tempat di sini, tersedia ruang berkumpul untuk para pecinta vape. Apalagi, setahun terakhir jumlah kafe yang menjadi tempat nongkrong penggandrung vaping terus bertambah.  

Seperti yang saya temui di Kafe E Cornerz. Di sini, remaja tanggung berkerumun sambil mengisap vape. Rizky Dewantara salah satu pengguna vape. Dia setuju saya jika vape diatur. “Saya setuju saja, biar tidak mengganggu,” ujar Rizky.

Tapi, Rizky memberi catatan. Kata dia, Pemkot Bogor harus terlebih dahulu menegakkan Perda Kawasan Tanpa Rokok yang selama ini berlaku. Toh, meski sudah ada ruang-ruang yang melarang adanya rokok tak digubris. “Ya jangan sampai jadi perda gadungan saja, diatur tapi tidak ditegakkan,” sambungnya.

Berbeda dengan Rizky, Andri Ame tak setuju vape dilarang sepenuhnya. Dia mengusulkan agar penggunaan vape dibatasi. “Setuju kalau diatur, ditertibkan. Jadi tidak sembarang di tempat umum,” ungkap Ame.

Andri juga bercerita, selama menggunakan vape tak menghentikan niatnya untuk merokok. Mengapa ia beralih ke vape, karena lebih murah dibanding rokok. “Kalau rokok misalkan sehari satu bungkus harganya Rp20 ribu, sebulan sudah Rp600 ribu. Tapi kalau vaping cuma keluar Rp100 ribu sebulan untuk liquidnya saja,” tambahnya.

Vape merupakan rokok elektrik yang kali pertama dikembangkan pada 2003 oleh perusahaan di Cina. Tapi kehadirannya menuai pro dan kontra di sebagian besar negara. Beberapa seperti Australia, Kanada, dan Brasil bahkan mencap vape sebagai produk ilegal dan terlarang.

Rokok elektrik ini dirancang untuk membantu pecandu rokok tembakau berhenti merokok. Cairan dalam vape mengandung nikotin, propilen glikol atau gliserin, serta penambah rasa, seperti rasa buah-buahan dan cokelat. Hanya saja, seberapa buruk vape bagi kesehatan? Masih diperdebatkan. 

Namun Pakar kesehatan, Alex Papilaya, menyebut vape atau rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok. Itu lantaran uap yang berasal dari vape mengandung cairan dari bahan kimia dan memiliki kandungan yang adiktif. 

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor, Siti Rubaedah, menyatakan pelarangan rokok elektrik dalam revisi Perda Kawasan Tanpa Rokok masih dalam kajian. “Saat ini sedang dikaji karena cairan yang biasa digunakan dalam rokok elektrik itu kan berbahaya ya,” tutur Siti Rubaedah.

Selain berniat melarang rokok elektrik, Pemkot Bogor juga berniat melarang rokok di ruang privat atau rumah.  

Wali Kota Bogor, Bima Arya, menempel stiker di angkutan umum berupa seruan bebas asap rokok di angkot. Foto: Rafik Maeilana/KBR.

Kritik itu, diakui Bima Arya. Penegakan hukum, menurutnya lembek ketika diterapkan di lapangan. Namun, dia berdalih lembeknya penegakan hukum itu karena kurangnya petugas di lapangan dan minimnya anggaran. 

“Minimnya petugas menjadi kendala, anggaran operasi tipiring kan tidak kecil. Sebenarnya yang lebih kita butuhkan itu partisipasi warga untuk melaporkan ini,” dalih Bima Arya.

Di sisi lain, dia cukup bangga sebab Perda KTR sukses menggusur reklame iklan rokok di ruang terbuka publik. Tapi di lingkungan sekolah, pemerintahan daerah dan mal, alat peraga iklan rokok masih mudah dijumpai.

Kembali ke polemik larangan rokok di ruang privat. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) dan Komnas Perlindungan Anak pernah melakukan kajian, jika lingkungan rumah menjadi salah satu sebab lahirnya perokok pemula. Ini lantaran anak-anak melihat ayahnya atau salah seorang keluarganya merokok.

Tak hanya itu, berdasarkan data Global Youth Tobacoo Survey, rata-rata usia anak yang mencoba merokok berawal dari usia 12 sampai 13 tahun. 

Dengan merujuk pada statistik itu, Komunitas No Tobacco,mendukung gagasan Pemkot Bogor. Ketuanya, Bambang Priono, mengatakan Kota Bogor harus bersih dari asap rokok, mulai dari lingkungan rumah tangga hingga ke ruang publik.

“Bagus juga kalau pemda mau melarang merokok di lingkungan rumah. Secara pribadi saya mendukung, tapi pemerintah harus memikirkan lagi bagaimana penegakan hukumnya. Karena itu ranah pribadi,” kata Bambang Priono.

Namun Bambang menyarankan agar Bima Arya konsisten menegakkan Perda tersebut. Kata dia, kelemahan penerapan aturan KTR selama ini minimnya sanksi bagi pelanggar, termasuk pada lembaga. Semisal denda yang diberikan terlalu ringan. 

Dan saat ini, di lingkungan Balai Kota Bogor juga mayoritas mal, masih banyak yang belum mematuhi Perda KTR. Sebab berdasarkan data yang didapat NoTC, mayoritas pelanggar KTR adalah instansi pemerintahan, perkantoran dan mal. Dimana instansi pemerintahan berada di posisi paling atas sebagai pelanggar KTR. 

Kota Bogor memang pernah dan masih menjadi panutan karena berhasil menghapus peredaran iklan rokok di ruang publik. Penerapan Perda Kawasan Tanpa Tembakau itu dianggap sebagai salah satu upaya penting dalam mengendalikan konsumsi produk tembakau saat pemerintah pusat ragu meratifikasi konvensi WHO untuk Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau FCTC. 

Sikap ragu pemerintah itu pula yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang belum meratifikasi FCTC yang lahir 2003 silam.

 

	<td>Rafik Maeilana&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: