BERITA

Mahfud MD: Lebih Etis Setya Novanto Mundur dari Ketua DPR

Mahfud MD: Lebih Etis Setya Novanto Mundur dari Ketua DPR

KBR, Jakarta - Pakar hukum tata negara Prof Mahfud MD memaklumi keputusan Fraksi Partai Golkar di DPR maupun DPP Partai Golkar yang tetap mempertahankan Ketua Umum Golkar Setya Novanto sebagai Ketua DPR.

Mahfud MD mengatakan jika dipandang melalui kacamata undang-undang, keputusan mempertahankan Setya Novanto itu memang sah. Apalagi, dugaan keterlibatan Setya Novanto dalam perkara korupsi KTP elektronik belum berkekuatan hukum tetap.


Meski begitu, karena perkara ini mendapat sorotan besar dari publik, Mahfud menilai Setya Novanto sebaiknya mundur dari jabatan Ketua DPR.


"Kalau dilihat secara etis dan biar tidak mengganggu kerja DPR sebagai lembaga, sebaiknya mundur. Karena kalau secara yuridis, itu harus menunggu keputusan inkrah dan itu prosesnya lama," kata Mahfud di DPR, Selasa (18/7/2017).


Mahfud mengatakan jika Setya Novanto menunggu kasusnya berkekuatan hukum tetap lebih dulu maka waktu yang dibutuhkan sangat panjang. Sedangkan, sebagai ketua, ada fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh Setya Novanto.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik, Senin (17/7/2017). KPK mengklaim memiliki alat bukti yang cukup dimana Setya Novanto diduga memperkaya diri sendiri atau orang lain melalui proyek itu, serta telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Ketua Fraksi Golkar pada saat proyek itu dimulai sejak 2009.


Baca juga:


Saran Fraksi

Sejumlah anggota DPR juga menyarankan agar Setya Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR.


Anggota Fraksi Partai Hanura, Dadang Rusdiana mengatakan jika dilihat dari pendekatan hukum, pimpinan DPR itu bisa diberhentikan sebagai pemimpin ketika sudah ada keputusan hukum yang tetap. Dadang menganggap wajar jika Setya Novanto merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku, dan tetap ingin memimpin DPR.


"Tapi, kita memandang secara etis mundur itu suatu yanng terhormat untuk pak Setnov. Tapi kami kembalikan lagi ke Pak Setnov. Kami tidak memaksa, kami hanya memberikan pandangan saja. Semuanya dikembalikan lagi kepada Pak Setnov dan fraksinya," kata Dadang kepada KBR, Selasa (18/7/2017).


Dadang menambahkan, secara etika penetapan Setya Novanto sebagai tersangka bakal berdampak pada DPR sebagai lembaga negara yang bermartabat. Saat ini, kata dia, masyarakat tentu memandang citra DPR dengan sangat buruk. Hal itulah dikatakannya jika DPR dalam kondisi yang tidak menyenangkan.


"Mosi tidak percaya pun tidak bisa memberhentikan pimpinan DPR, semua harus ada keputusan hukum yang mutlak, jika sudah inkrah. Teman-teman fraksi yang lain memang banyak yang menyarankan, Pak Setnov seharusnya mundur saja. Tetapi kan itu kembali lagi ke Pak Setnov dan Golkar," jelasnya.


Sekretaris Fraksi PPP Arsul Sani tidak membantah ada gejolak di internal DPR mendesak Setya Novanto mundur dari kursi Ketua DPR. Hanya saja Arsul mengatakan fraksi-fraksi belum saling berkomunikasi.


Arsul mengatakan PPP menghormati keputusan fraksi Golkar yang mempertahankan ketua umum duduk di kursi Ketua DPR. Namun Arsul mengatakan situasi bisa berubah tergantung keputusan politik fraksi-fraksi.


"Apapun yang diputuskan di DPR termasuk soal pimpinan itu keputusan politik. Sangat tergantung situasi. Kalau tiap hari ada demo besar-besaran bisa saja kemudian ada sikap lain," kata Arsul, Selasa (18/7/2017).


Pada 2015 silam ketika perkara "Papa Minta Saham" menjegal Setya Novanto, muncul tuntutan dari sejumlah anggota DPR agar Setya Novanto mundur dari kursi ketua DPR. Saat itu setidaknya 30 anggota dewan lintas fraksi sepakat kasus Novanto telah merusak citra lembaga DPR.


Arsul mengakui status Novanto sebagai tersangka kali ini akan mempengaruhi kinerja DPR. Namun ia berharap itu tidak lantas menurunkan kinerja anggota.


"Rasa sakit hati, marah, dendam kepada KPK juga jangan diperbesar. Rasional aja," kata Arsul.

 

Tidak ada payung hukum

Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Maman Immanulhaq mengatakan MKD tidak bisa memberhentikan Setya Novanto dari kursi ketua DPR sampai ada putusan hukum tetap (inkrah).


Anggota MKD dari Fraksi PKB itu mengatakan posisi MKD sulit karena tidak ada payung hukum yang bisa dijadikan dasar untuk memberi sanksi kepada Setya Novanto. Karena itu, kata Maman, politisi Partai Golkar itu masih bisa menjadi pimpinan DPR hingga ada keputusan hukum final dari pengadilan.


"Di Pasal 87 UU MD3 lebih jelas bahwa soal pimpinan DPR itu diberhentikan apabila ia dinyatakan sebagai terdakwa dan melakukan tindak pidana yang diancam pidana dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Dalam konteks ini ya proses hukum KPK kita hormati bersama sampai ada putusan hukum inkracht dan selama itu pula Setya Novanto tetap menjadi pimpinan DPR," kata Maman Immanulhaq kepada KBR, Selasa (18/7/2017).


Maman menambahkan, MKD juga akan menyerahkan soal jabatan pimpinan DPR kepada Fraksi Golkar. Karena, kata dia, sesuai Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang berhak menduduki kursi Ketua DPR harus berasal dari Fraksi Golkar. Sehingga diganti atau tidaknya Setya Novanto sebagai Ketua DPR diserahkan ke fraksi partai berlambang beringin tersebut.


"Karena UU MD3-nya belum diubah, maka kita serahkan kepada Fraksi Golkar," tambah Maman.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • Setya Novanto
  • korupsi e-ktp
  • tersangka e-KTP
  • Kasus E-KTP

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!