BERITA

[SAGA] Anak Lelaki yang Berdoa di Seberang Istana

[SAGA] Anak Lelaki yang Berdoa di Seberang Istana

Empat hari sebelum Natal, pemerintah belum juga membuka segel gereja Yasmin yang sah. Bertahun-tahun jemaat merayakan kelahiran juru selamat di seberang Istana. Selama itu pula anak-anak GKI Yasmin, seperti Edo, tumbuh besar dalam kebingungan. Jurnalis KBR Rio Tuasikal bertemu dengan Edo saat ibadah di seberang Istana, kemarin. Dia trauma dengan ulah keji kelompok intoleran. Berikut kisahnya.

---

Siang terik di seberang Istana Merdeka, Jakarta. Untuk ke-79 kalinya, jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia beribadah sambil menagih janji negara. Masih dengan payung warna warni dan kursi plastik yang dijejerkan di aspal.

Mengenakan topi putih, Edo, 13 tahun, mengeluarkan handuk dan melap keringat di mukanya.


“Harapan utamanya sih untuk membuka segel gereja. Karena kan IMB-nya juga sepengetahuan Edo sudah sah. Mau ibadah saja kok susah sih? Ini ibadah buat Tuhan loh, bukan untuk siapa-siapa."


Tidak sekhusyuk di gereja langsung. Jadi antara terkena sinar matahari, dan beribadah kepada Tuhan, serta berharap presiden memberikan respon. Jadi tercampur aduk pikirannya.


Sudah dua tahun, setiap bulannya, Edo ke istana bersama sang ibu.


“Dulu belum begitu mengerti. Masih bingung juga. Ini ibadah ngapain sampai ke Jakarta, kan gerejanya di Bogor? Ngapain panas-panas? Kenapa di depan istana? Pertama kali itu,” jelas dia.


Edo ingat 2010 lalu, ketika kelompok intoleran memprotes gerejanya sambil berkata kasar.


“Ngapain mereka di sini? Kenapa mereka bawa kayu dan ada yang bawa golok juga? Ini mau ibadah loh, bukan mau tawuran. Ngapain bawa alat kayak gitu sih? Ya bingung. Rasa takut dan rasa marah tuh jadi satu."


Sejak itu pula, Edo berusaha melawan prasangka. Dia enggan mencap seluruh muslim jahat.


141221-68h-sik-saga-Edo moslem

“Kalau melihat teman-teman muslim Edo sih, Edo mengganggap mereka sebagai saudara ya. Ada juga di tempat les itu nanya, dengar Edo bikin surat, dia memberi kata-kata tetap semangat. Membuat Edo hanya tidak menyukai orang-orang muslim yang memprotes, yang sempat membawa alat-alat dan mengancam GKI Yasmin,”


Tapi sekeras apa pun Edo mencoba, dirinya tetap takut setiap kali melihat orang berbaju muslim.


“Kalau melihat orang yang memakai pakaian seperti itu tiba-tiba lewat, agak gemetar, rasa takutnya masih ada dalam diri Edo. Edo masih merasakan teror. Di dalam pikiran itu seperti ada rasa khawatir,” katanya.


Bagi pelajar SMP seperti Edo, pengalaman ini datang terlalu cepat. Dia hanya bisa diam jika melihat anak-anak kristiani beribadah dengan damai di gereja mereka.


“Yang paling pertama itu iri. Kenapa mereka bisa ibadah, dan Edo nggak. Mereka tuh bisa duduk dengan tenang, duduk diam tidak takut. Sedangkan Edo? Berdiri di depan gereja saja sudah gemetaran, sudah ada rasa teror."


Dari kasus gerejanya, Edo jadi meragukan Indonesia.


“Pelajaran PKN, bhinneka tuggal ika. Itu tidak Edo rasakan di GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Semboyannya dikemanakan? Apa dibuang begitu saja? Sila kelima, keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Yang lain bisa beribadah. Tapi kenapa GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia ini tidak diperlakukan secara adil?”


Pagar gereja Yasmin kini telah rusak, tampak bolong. Belum lama, Edo diajak ibunya menyelinap ke gerejanya, dan melihat halaman gereja dipenuhi ilalang satu meter, sementara bangunan gereja ditutupi tanaman rambat. Di dalam, Edo melihat sisa hiasan Natal empat tahun lalu.


“Kesan yang pertama dapat. Sudah lama banget ya berjuang. Dan itu sedih sih sebenarnya. Jadi, setelah melihat itu ya, sudah lama banget kenapa nggaka da respon, nggak ada pemerintah. Jadi sedih gitu ya,” lalu Edo diam dan tertunduk.


“Yaa.. nggak bisa dikata-katakan lagi lah,” ujarnya.


Edo lalu diam, menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca.***


 

  • GKI Yasmin
  • intoleransi
  • natal

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!