BERITA

Mewujudkan Capaian SDGs Terkait Kemiskinan Lewat Rokok Harus Mahal

"“Kita ingin melindungi masyarakat kita, terutama masyarakat miskin, supaya mereka sehat, lebih produktif lebih sejahtera. Jangan sampai uang yang begitu sulit didapatkannya itu, habis untuk rokok.""

Mewujudkan Capaian SDGs Terkait Kemiskinan Lewat Rokok Harus Mahal

Pengendalian konsumsi rokok menjadi salah satu agenda kunci yang bisa mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan. 

Mulai 2015, Indonesia bersama 193 negara lain, bersepakat mengadopsi agenda pembangunan global baru (SDGs) yang menggantikan Tujuan Pembangunan  MDGs. SDGs ditetapkan oleh PBB pada akhir September 2015 di New York dengan masa berlaku mulai Januari 2016 hingga Desember 2030. Ada 17 poin penting di dalam SDGs yang salah satunya adalah terciptanya dunia tanpa kemiskinan.

Dalam hal ini pengendalian tembakau selain berperan dalam pencapaian tujuan kesehatan dalam SDGs, juga berkontribusi pencapaian poin pemberantasan kemiskinan. Bahkan, Dr Arum Atmawikarta, M.P.H, Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas mengatakan, rokok juga mempengaruhi poin-poin SDGs yang lain. 

“Juga ada kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan dengan rokok, itu letaknya pada goals nomor 3. Sebenarnya isu tentang rokok dan tembakau itu bukan hanya di situ. Itu akan berkaitan dengan isu nomor 1 yaitu kebijakan tentang kemiskinan, isu nomor 4 tentang pendidikan, isu nomor 2 tentang pangan dan gizi, dan isu-isu lainnya,” jelas Arum. 

Belanja rumah tangga yang dialokasikan untuk rokok menggusur belanja barang kebutuhan pokok keluarga serta pendidikan anak-anak.

“Pertama mungkin kita lihat dari isu rokok dan kemiskinan. Yang kita lihat bahwa, dengan misalnya mengalokasikan uang untuk membeli rokok terutama penduduk miskin, itu menyebabkan tingkat pendapatan yang siap untuk dipakai oleh keluarga itu makin menurun,” lanjut Arum. 

Selain berkurangnya belanja keluarga, rokok pun rentan menimbulkan masalah kesehatan kata Arum.

“Jelas bahwa orang yang merokok itu jelas resiko terhadap kesehatannya itu meningkat. Kemudian dia mudah sakit, dan begitu sakit dia memerlukan pelayanan atau uang yang lebih banyak. Kemudian produktifitas dia akan menurun untuk bekerja, karena memang orang yang perokok itu umumnya tidak sehat,” ujarnya lagi. 

Sementara itu Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan ada dua kelompok yang paling rentan mengkonsumsi rokok yaitu komunitas anak-anak dan remaja dan perokok miskin atau rumah tangga miskin. 

Tulus mengatakan di Indonesia rokok bisa diakses siapapun termasuk masyarakat kelas menengah ke bawah hingga anak-anak. Padahal sebagai produk yang dikenakan cukai, rokok harusnya lebih terkontrol. 

“Padahal kalau kita lihat dari produk yang ada, rokok ini kan benda yang kena cukai, barang yang dilekati cukai. Nah, cukai ini kan pertama ditanggung oleh konsumen, dibayar oleh konsumen, dan kedua sebagai instrumen pengendalian bagi konsumen yang merokok. Sehingga harusnya dengan barang yang kena cukai ini seharusnya tidak boleh dijual sembarangan, tidak boleh diiklankan,” katanya.

Inilah kata Tulus yang membuat semua orang terbiasa dengan rokok dan nikotin  yang dikandung membuat orang ketagihan. 

“Kita tahu bahwa rokok dalam kandungannya kan ada nikotin, nikotin ini kan adiksi. Siapapun yang sudah teradiksi itu, tidak kenal kaya, tidak kenal miskin, sehingga dia akan kencanduan untuk itu. Nah ketika di satu sisi ada adiksi dan ada aspek keterjangkauan bagi mereka, itu yang kemudian jadi klop,” kata Tulus.

Baca juga:

Jadi apa yang harus dilakukan agar konsumsi rokok oleh masyarakat miskin dan anak serta remaja bisa berkurang?

Tulus dari YLKI mengatakan dari pengalaman empirik di seluruh dunia, itu rokok memang dijual mahal. Hanya di Indonesia rokok dijual murah. Menurutnya agar rokok mahal maka cukai yang dikenakan harus tinggi.

“Pertama yang harus dilakukan adalah harusnya ada revisi UU cukai agar harganya bisa lebih tinggi dari pada itu. Tapi sekarang cukai yang ada implementasinya baru ada sekitar 38 persen. Jadi masih ada ruang yang sangat cukup untuk level 52 persen sehingga rokok betul-betul mahal dan secara ekstrim tidak tercapai oleh keluarga miskin dan anak-anak,” kata Tulus.

Langkah ini didukung Arum Atmawikarta, Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas. Menurutnya jika harga rokok mahal dan tidak terjangkau kelompok miskin maupun anak-anak, uangnya bisa untuk belanja barang kebutuhan pokok. 

“Jelas ini bahwa jika harga rokok dinaikkan itu akan mempengaruhi juga sikap dari penduduk miskin untuk lebih mencoba memilih hal-hal yang lebih diperlukan, karena sekarang itu kalau pada keluarga miskin itu untuk rokok itu lebih tinggi dari pada misalnya untuk beras, atau untuk membeli ikan, membeli susu dan sebagainya itu. Saya kira ini kalau harganya dinaikkan, mau tidak mau, dia juga akan merubah sikapnya, pengeluarannya sehingga paling tidak akan mengerem untuk belanja hal itu,” jelas Arum. 

Sebuah kajian yang dilakukan Pusat Kajian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM–UI) mengungkapkan temuan bahwa masyarakat tidak akan membeli lagi rokok jika harganya sekitar 50 ribu rupiah. 

“Mayoritas akan berhenti merokok ketika harganya 50 ribu rupiah per bungkus. Nah itu presentase tertinggi ketika mereka akan berhenti merokok jika harga rokok 50 ribu. Itu saya kira akan menjadi instrumen paling efektif untuk pengendalian rokok di kalangan keluarga miskin,” tutur Tulus.

Langkah menaikkan harga rokok ini dinilai Tulus lebih efektik ketimbang hanya mengeluarkan aturan soal bungkus rokok yang harus memuat gambar yang mengerikan dan peringatan tertulis atau melarang iklan rokok pada jam tertentu atau tempat tertentu. 

“Kalau perokok yang sudah kecanduan gak akan terpengaruh oleh apapun. Nah iklan itu memang bukan untuk orang yang sudah kecanduan rokok. Jadi iklan itu lebih ditunjukkan kepada kalangan non perokok, jangan sampai ada pertumbuhan perokok-perokok pemula karena melihat iklan rokok,” katanya. 

Tulus menyebut karakter konsumen di Indonesia itu secara umum sensitif harga. Maka jika harga rokok mahal maka mereka akan berpikir untuk mengurangi konsumsi rokoknya terutama rumah tangga miskin.

Ketika masyarakat miskin mengurangi konsumsi rokoknya kata Arum diharapkan uang yang ada bisa digunakan untuk kebutuhan lain seperti makanan bergizi dan pendidikan. 

“Kita ingin melindungi masyarakat kita, terutama masyarakat miskin, supaya mereka sehat, lebih produktif lebih sejahtera. Jangan sampai uang yang begitu sulit didapatkannya itu, habis untuk rokok,” jelasnya.

Bila jumlah masyarakat miskin yang sejahtera makin meningkat maka terciptanya dunia tanpa kemiskinan pun akan lebih mudah diwujudkan.

Baca juga:

 

  • #RokokHarusMahal
  • ctfk
  • Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
  • SDGs
  • Rokok dan kemiskinan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!