OPINI

Warisan Lapindo

Aksi menolak rencana penambangan PT Lapindo Brantas

Dua belas tahun sudah warga Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur mengalami mimpi buruk dampak semburan lumpur panas dari lapangan pengeboran gas PT Lapindo Brantas. Pada 2006 lalu, eksplorasi gas perusahaan grup Bakrie itu berujung petaka. Bukan gas yang dipanen, tapi lumpur panas menyembur tak henti selama bertahun-tahun. Lebih dari 600 hektar lahan di 16 desa dan tiga kecamatan terendam dengan dampak susulan yang teramat parah. Triliunan rupiah dikeluarkan untuk mengatasi bencana itu. Toh, semburan lumpur dan gas masih belum bisa tuntas.

Ratusan hektar lahan produktif kini berubah menjadi kolam lumpur raksasa yang berbahaya; mangkrak tak bisa dimanfaatkan. Ribuan korban berubah nasibnya. Dan tak ada orang yang diadili karena bencana itu. Fakta-fakta itu menjadi warisan PT Lapindo Brantas yang tidak bisa dihapus dari buku sejarah.

Problem besar praktik pertambangan di tanah air adalah menambang di kawasan padat penduduk, atau dekat permukiman warga. Sudah banyak para ahli mengingatkan agar kasus lumpur Lapindo menjadi pelajaran bagi perusahaan tambang dan pemerintah. Bahwa kegiatan eksplorasi tambang adalah kegiatan yang tidak bisa dibuat main-main, karena mempertaruhkan nyawa dan nasib banyak orang. Juga kerusakan lingkungan yang amat mahal.

Jika kemudian banyak warga di Sidoarjo trauma dan menolak PT Lapindo Brantas melanjutkan eksplorasi di lokasi yang berjarak 2 kilometer dari semburan lumpur, tentu itu masuk akal. Sulit memahami latar belakang PT Lapindo yang tahun ini ingin kembali ingin menambang gas di kawasan itu. 

  • PT Lapindo Brantas
  • bencana lumpur Lapindo
  • perusahaan grup Bakrie

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!