BERITA

Selamatkan Keluarga, Perempuan Dukung Rokok Harus Mahal

Selamatkan Keluarga, Perempuan Dukung Rokok Harus Mahal

“Jadi kakak ipar saya itu setiap hari marah-marah aja, sama suaminya karena setiap hari merokok. Padahal gajinya gak seberapa lah, sangat kecil, sehari tuh Rp. 20.000.00. Harga rokok di Indonesia kan Rp. 20.000.00 lah satu bungkusnya. Jadi setiap hari marah-marah saja, akhirnya udah bubar sih, sudah cerai, gara-gara rokok itu. Gara-gara rokok jadi bubar keluarganya.”

Itu sepenggal cerita Pak Bayu di Cirebon soal dampak rokok terhadap kehidupan kakak iparnya. Ada banyak cerita dampak rokok terhadap keluarga yang bisa kita temui di masyakata Indonesia, terutama di kalangan masyarakat miskin yang tidak hanya berpenghasilan rendah tapi juga tidak tetap.

Communication Manager Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Nina Samidi, mengutip data Badan Pusat Statistik yang menyebut belanja rokok di Indonesia, terutama di keluarga miskin itu sangat tinggi. Angkanya bahkan menempati urutan kedua setelah beras.   

“Jadi kalau mereka ditanya, Pak ini ada nasi, ada rokok, ada tahu-tempe, tapi bapak uangnya cuma Rp. 10.000.00, bisa pilih dua saja, yang mana yang mau dibeli? Dia akan pilih nasi dan rokok. Lebih baik makan tanpa lauk, tanpa protein, dibanding dia tidak bisa merokok,” ujarnya. 

Nina menambahkan keadaan masyarakat yang sudah miskin makin berat ketika sang suami dan ayah yang adalah pencari nafkah sakit-sakitan akibat merokok. Selain tidak bisa mencari nafkah, uang yang keluarga itu miliki harus dialokasikan untuk membeli obat-obatan. Lantas, ibu atau istrilah yang paling merasakan dampaknya. Ibu yang mengatur keuangan keluarga harus memutar otak untuk menghidupi keluarga dengan uang yang pas-pasan. Uang belanja untuk kebutuhan keluarga kerap dipotong untuk membeli rokok. Maka ketika harga rokok mahal dan tidak lagi terjangkau oleh masyarakat miskin, diharapkan uang untuk rokok itu bisa diberikan kepada ibu untuk belanja konsumsi keluarga. 

Dan peran ini tidak hanya sampai di situ. Perempuan yang mencari nafkah dengan membuka warung juga bisa berperan dalam mengendalikan penjualan rokok. Nina Samidi bercerita beberapa tahun lalu Komnas Pengendalian Tembakau memberikan penghargaan kepada seorang ibu, pengusaha di daerah Jawa Tengah. 

“Dia punya jaringan ritel yang benar-benar tidak menjual rokok. Awalnya dia menjual, tapi kemudian dia menyadari, dia seperti beban moral, kok saya jual barang yang gak bagus ya, padahal ini akan merusak, apa lagi anak-anak. Dan apa yang terjadi? Tidak ada kekurangan pendapatan sama sekali, bahkan peningkatan, peningkatan yang wajar karena dia terus mengembangkan retailnya,” kisah Nina. 

Jadi menurut Nina belum terbukti sama sekali bahwa jualan rokok kalau dihentikan oleh toko akan mengakibatkan toko itu bangkrut. 

Selain itu, bila harga rokok mahal tidak akan mudah terjangkau anak-anak. Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia IAKMI Riau, dokter  Fauziah M.kes, mengaku prihatin melihat anak-anak SMP bahkan SD yang bisa membeli rokok karena harganya yang murah. 

“Pada saat saya penyuluhan ke sekolah, itu anak SMP berpakaian sekolah di luar sekolah santai merokok. Bahkan kemarin barusan, saya melihat lagi di jalan raya, sangat miris kita melihatnya, anak berpakaian SMP dengan santainya mengisap rokok,” ujarnya.

red

Dokter Fauziah mengingatkan bahaya rokok termasuk kepada anak-anak. “Salah satu yang merusak kesehatan adalah karbon monoksidanya, yang akan menyebabkan penyakit CA paru. Kita lihat sekarang berapa angka kematian yang disebabkan oleh salah satu penyebabnya adalah rokok. Penyakit jantung koroner, salah satu penyebabnya adalah rokok,” tegas dokter Fauziah. 

Tapi gerakan untuk mendorong rokok harus mahal ini bukannya tanpa penolakan, terutama terkait kesejahteraan petani tembakau. Ada kekhawatiran, ketika harga rokok dibuat mahal untuk membatasi konsumsinya, ini akan berpengaruh kepada kesejahteraan petani.

Tapi Nina Samidi, Communication Manager Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, membantah hal ini. Dia mengatakan kehidupan petani tembakau tidak ada hubungannya dengan harga rokok. 

“Jadi selama ini mereka sengsara ya sengsara aja. Apa lagi sekarang impor tembakau untuk rokok di Indonesia sudah 60%. yang terbesar dari Cina, Amerika, ada dari Brazil paling bagus,” kata Nina.

 

  • ctfk

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!