SAGA

Muslihat Freeport Menghabisi Perlawanan Buruh

Selasa 01 Mei 2018, 09.52 WIB

KBR, Jakarta - “Kartu (BPJS) dilihat tak bisa. Diblokir. Akhirnya saya masukkan suami ke ruang umum, karena mengejar nyawa,” ujar Siti Khalimah kepada KBR. 

Siti Khalimah berkejaran dengan waktu, saat suaminya Irwan Dahlan pulang dalam kondisi sakit parah. 

“(Irwan) diantar sampai ke rumah, soalnya sudah parah. Pakai kursi roda. Tidak bisa jalan jarak jauh. Beda sekali dengan dulu. Berat badan turun drastis,” sambungnya. 

Pada 5 November 2017, Siti menyewa mobil untuk berangkat ke Bandar Udara Internasional Juanda di Surabaya, menjemput sang suami. Kepulangan ini tak lepas dari paksaan. Sebab sehari sebelumnya, ia memohon kepada teman-teman suaminya agar bersedia mengantar Boby –sapaan akrab Irwan, sampai ke rumah mereka di Blitar. Maka terbanglah Boby bersama dua temannya dari Bandar Udara Mozes Kilangin di Timika, Papua. 

Sehari di rumah, kesehatan Boby makin mengkhawatirkan. Tubuhnya yang dulu kekar berubah kurus kering. Dia lalu buru-buru memboyongnya ke RS Mardi Waluyo.

Tapi ketika Siti menyodorkan kartu BPJS Kesehatan milik suaminya, ditolak pihak rumah sakit. 

“Saya urus lagi (kartu BPJS) tetap tidak bisa. Pihak BPJS bilang masih terkait dengan perusahaan bapaknya.” 

Selama dirawat beberapa hari, biaya terus membengkak. Sementara duit menipis, karena suami tak lagi menerima gaji sejak Mei 2017 –atau pasca ikut mogok kerja. 

“Saya nekat, demi nyawa. Utang sana-sini dari teman-temannya.”

Sepuluh hari dirawat, Boby tak tertolong. Meninggal pada 16 November 2017. Siti pun menumpahkan kesal dan amarahnya pada perusahaan tempat suaminya bekerja; PT Freeport Indonesia. 

Sebab, kalau saja Freeport tak seenaknya memberhentikan Boby, pastilah pria 53 tahun itu masih hidup. 

Maka gugatan perdata dilayangkan ke PT Freeport Indonesia dan BPJS Kabupaten Timika. Di situ, ia menuntut dua pihak itu membayar ganti rugi sebesar Rp1,9 miliar. Rinciannya kerugian materiil sebesar Rp12,9 juta, imateriil Rp1,76 miliar, dan biaya pembelaan hukum sebesar Rp200 juta.

 

red

Sidang perdana digelar 28 Maret 2018. Tapi Freeport mangkir. Sementara Kuasa hukum Siti dari Lokataru, Haris Azhar, memperkirakan ada puluhan ribu orang yang kena imbas dari penghentian pelayanan kesehatan sepihak oleh BPJS. 

“Kalau imbas BPJS, saya perkirakan 25 ribu orang. Karena yang dibayarkan juga anggota keluarga. Hitungan kasar saya, kalau pekerja 8 ribu ditambah anak-istri,” jelas Haris Azhar ketika ditemui KBR di kantor Lokataru.

Hitungan itu merujuk pada 8 ribuan pekerja PT Freeport Indonesia yang diPHK karena mogok kerja pada 1 Mei 2017. Sebab pasca PHK massal itu, BPJS Kesehatan mereka dinonaktifkan. 

Penonaktifan itu berasal dari surat yang dikirimkan PT Freeport Indonesia ke BPJS Kesehatan Cabang Jayapura tertanggal 15 Mei 2017. Surat Pemberitahuan Pengunduran Diri Pekerja itu isinya memohon bantuan agar nama-nama pekerja dan tanggungannya dikeluarkan dari daftar tagihan bulan Juni 2017. Masalah inilah yang diperkarakan. Haris Azhar mengatakan, BPJS main mata dengan perusahaan. 

“Begitu PHK diturunkan secara massal, BPJS para karyawan dimatikan. Padahal menurut UU Jaminan Sosial dan UU BPJS, BPJS Kesehatan karyawan kalaupun dianggap di-PHK, tetap ditanggung selama enam bulan. Tapi BPJS main mata sama perusahaan,” terang Haris.

Persoalan ini rupanya pernah diadukan ke pemerintah. Difasilitasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 19 Juli 2017, semua pihak hadir; mulai dari perwakilan Serikat Pekerja, Freeport, BPJS Kesehatan, dan Disnaker. Dalam risalah yang didapat KBR, masing-masing pihak memberikan keterangan. 

Serikat Pekerja misalnya menyebut diperkirakan ada sekitar 8.200 orang baik karyawan dan kontraktor Freeport yang  kemungkinan kartu BPJSnya tidak aktif, karena diPHK gara-gara ikut mogok kerja pada 1 Mei 2017. Hal lain dikatakan, surat manajemen Freeport tertanggal 15 Mei 2017 tak bisa dijadikan dasar penonaktifan. Sebab, PHK sepihak itu ilegal. 

Sedangkan BPJS merasa telah melaksanakan kewajibannya dengan memberitahu update data termasuk penonaktifan peserta lewat aplikasi E-DABU. 

Sementara Freeport, melalui juru bicaranya Riza Pratama berkukuh penghentian pembayaran iuran BPJS pekerja yang ikut mogok 1 Mei adalah sah. Sebab, mereka dianggap mangkir lalu diberhentikan.  

Di pihak lain, yakni Disnaker Kabupaten Mimika membeberkan akar problem ini dan menyarankan diselesaikan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial.

Dalam risalah pula disebutkan, pangkal problem itu tak lepas dari kebijakan Freeport melaksanakan furlough atau istilah perusahaan “merumahkan”. Program yang meresahkan pekerja itu ditanggapi Serikat Pekerja dengan mengajak berunding. Tapi hingga tiga kali permintaan berunding diajukan, perusahaan tetap menolak. Karena deadlock, ribuan pekerja pun memutuskan mogok kerja pada 1 Mei 2017. 

Di akhir risalah, DJSN mengeluarkan rekomendasi agar Freeport dan BPJS Kesehatan melaksanakan Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN. Isinya tegas; BPJS Kesehatan pekerja harus tetap dibayarkan paling lama 6 bulan sejak seseorang mengalami PHK. Jika pekerja belum mendapat pekerjaan dan perusahaan menolak membayar, pemerintah yang bertanggung jawab membayar BPJS.

Dari pertemuan itu, tiga pihak; Disnaker, BPJS, Serikat Pekerja, setuju dengan rekomendasi DJSN. Tapi Freeport yang diwakili Juresco Estersoro Sihasale, tidak bersedia menandatangani risalah pertemuan.  

Demo buruh PT Freeport Indonesia pada 1 Mei 2017. Foto: Dedy Muchlis.

Kabar pengurangan karyawan sudah terdengar sejak Januari 2017 –berdekatan dengan larangan ekspor konsentrat tembaga. Saat itu Freeport menyebutnya Program Efisiensi terhadap Pekerja. Dan benar saja, beberapa karyawan senior diberhentikan –yang disampaikan lewat surat Interoffice Memorandum tertanggal 11 Februari. 

Serikat Pekerja lantas meminta untuk berunding lewat surat tertanggal 20 Februari. Tapi Freeport menolak. Dalihnya, keputusan furlough adalah salah satu upaya mengurangi biaya operasional perusahaan. Ditambahkan pula, bahwa perusahaan tidak melakukan PHK, maka tak diperlukan perundingan. Kalau hanya berdiskusi mengenai kondisi terkini perusahaan, akan dikabulkan sepekan kemudian.

Mentok di situ, Serikat Pekerja lalu melayangkan surat permohonan bantuan kepada Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri pada 26 Februari. Intinya, pengurangan pekerja baik kontraktor maupun permanen dilakukan secara sepihak dan tanpa kriteria. Tindakan pengurangan pekerja itu pun dinilai tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Di akhir surat, Serikat meminta pemerintah turun tangan, mendorong Freeport mau berunding, dan membentuk tim untuk mencegah terjadinya PHK.

Dedi juga mengatakan, perundingan sebetulnya diajukan agar bisa sama-sama mencari jalan keluar yang lebih baik. 

“Yang namanya PHK itu adalah jalan terakhir, sebelum dilakukan efisiensi di sektor-sektor yang lain. Semisal pengurangan cost yang biasa dikonsumsi tinggi dibikin rendah. Atau mungkin pekerjaan yang dikontrakkan dan bisa di-handle Freeport, dikerjakan sendiri. Itu kan termasuk efisiensi,” tambahnya. 

Dan kalaupun Freeport mengaku merugi karena tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, Serikat ingin kejelasan.

“Justru kami mengundang mereka itu untuk menjabarkan, dimana letak kerugian Freeport saat ini. Karena kami tahu berapa produksi Freeport sekarang sampai awal tahun. Kami minta dipaparkan, tapi mereka mengelak terus.”

Hingga pada 6 Maret, Freeport menerbitkan Interoffice Memorandum yang menerangkan kebijakan Furlough.

Bersandar pada alasan menghindari PHK dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tentang Pencegahan Hubungan Kerja Massal, Freeport menyebut furlough adalah “merumahkan” dan merupakan langkah berat yang terpaksa dilakukan karena berkurangnya pekerjaan. Penjelasan lain, tak perlu ada kesepakatan dalam memberlakukan furlough.

"Sebelumnya banyak kami lakukan, pertama ekspatriat dikurangi, pembelian barang dikurangi, kontraktor dikurangi. Ternyata tetap tak bisa jualan beberapa bulan, akhirnya kami rumahkan beberapa karyawan,” sambung Riza. 

Riza juga menyebut, pekerja yang terkena furlough tetap menerima gaji. Tapi sampai kapan si pekerja dirumahkan, apa kriterianya, dan merujuk pada aturan mana furlough itu, Riza tak menjawab tegas. “Ada. Cuma kalau namanya bukan furlough.”

Tiga pertanyaan itulah, yang terus didesak Serikat Pekerja agar dirundingkan. Lewat surat tertanggal 11 Maret, permintaan berunding kedua diajukan. Tapi selang dua hari, Freeport malah mengumumkan Paket Pengakhiran Hubungan Kerja Sukarela (PPHKS) untuk Karyawan yang Menjalani Furlough 

red

Indra Kurniawan –pekerja asal Surabaya, termasuk yang ditawari. Kata dia, perusahaan membujuknya agar menerima. 

“Jadi waktu awal itu mereka bilang, 'kalau enggak sekarang, Bapak enggak akan dapat'. Berarti saya dipaksa resign? Terus saya bilang, 'kalau ini kebijakan bagus, kenapa enggak bapak yang ambil?',” tutur Indra. 

Tapi yang mengganjalnya, jika menerima Paket Pengakhiran Hubungan Kerja Sukarela itu, maka sama saja ia bersedia diberhentikan. Itu mengapa, Indra langsung menolak tawaran tersebut.  

Tapi, Freeport tak terima jika Paket Pengakhiran Hubungan Kerja Sukarela dianggap PHK terselubung. Pasalnya, kata Juru Bicara Freeport Riza Pratama, paket itu adalah jalan keluar dari ketidakpastian kondisi perusahaan. Di catatannya, dari 800 lebih pekerja yang ditawarkan paket, 600 di antaranya menerima. 

“Kami menawarkan. Mau enggak kalian saya rumahkan, tapi dikasih paket? Kalian bisa kerja di tempat lain, daripada menunggung yang tidak ada kepastian,” jelas Riza Pratama. 

Lagi pula, pekerja yang terkena furlough, kata Riza Pratama, takkan direkrut kembali. “Tapi kalau mau kembali, posisinya sudah tidak ada,” tukasnya. 

Melihat gelagat Freeport seperti itu, Serikat Pekerja tetap pada simpulannya bahwa furlough melanggar Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan pasal 151 ayat 2. Dimana tak ada jaminan dari perusahaan mempekerjakan kembali pekerja yang kena furlough, pekerja yang di-furlough tak diberi kesempatan untuk didampingi Serikat, dan pekerja yang sedang menjalani furlough terus ditawari mengambil paket sukarela. 

Sementara itu, jawaban atas permintaan berunding ke-2 lagi-lagi ditolak Freeport –dengan alasan dan dalih yang sama. Bahwa furlough adalah efisiensi, bukan memPHK.

Pada bulan yang sama pula, para pekerja membuat Petisi Penolakan Furlough. Tanda tangan di atas materai, mereka menyatakan supaya furlough dihentikan dan dilakukan perundingan. Hanya saja, perusahaan tetap bergeming. Freeport justru mengumumkan jika sudah ada ratusan karyawan nasional senior yang dirumahkan.

Upaya lain, Serikat Pekerja mengirim surat pengaduan ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Timika terkait program furlough yang sarat dengan PHK. 

Surat protes juga dikirim ke Menteri ESDM, Ignasius Jonan pada 21 Maret –yang meminta pemerintah membentuk tim tripatrit untuk menangani kasus tersebut. Dan di tanggal yang sama, Serikat melayangkan permintaan berunding ke-3. Tapi, tak dikabulkan.

Dan sepanjang Maret-April, Freeport tak juga berhenti membujuk pekerja yang terkena furlough agar mengambil Paket Pengakhiran Hubungan Kerja Sukarela –dengan tambahan pesan sponsor: program ini membantu karyawan merencanakan masa depan yang lebih pasti.

Bujuk rayu itu, belakangan membuat jengah Indra Kurniawan.

“Saya enggak senangnya, ini urusan saya sama perusahaan tapi mereka ganggu dengan menelpon saudara dan orangtua. Kesannya kalau anak anda enggak ambil, enggak akan dapat apa-apa. Teror secara halus,” kata Indra kesal. 

Tak ada kata sepakat antara Serikat Pekerja dengan Freeport, pada 20 April Serikat mengirim surat Pemberitahuan Mogok Kerja yang akan dimulai pada 1 Mei sampai 30 Mei 2017. Tuntutan mogok di antaranya; agar perusahaan menghentikan furlough dan memberikan kepastian kembali bekerja kepada pekerja yang di-furlough.

Demo buruh PT Freeport Indonesia pada 1 Mei 2017. Foto: Jerry Jarangga.

Indra, tak sendiri. Dalam catatan Freeport, ada 823 yang kena furlough sepanjang Februari-April. Di sinilah masalahnya, Pengurus Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia, Dedy Muchlis, mengatakan furlough berlaku tanpa ada kriteria yang jelas dan tanpa kepastian sampai kapan.

“Kriteria furlough sampai saat ini saya belum dapat jawaban pasti dari manajemen. Apa sebetulnya kriteria orang yang kena,” tukas Dedy. 

Itu mengapa, pekerja lewat Serikat mengajak perusahaan supaya mau berunding. Tapi hingga tiga kali diminta, selalu ditolak dengan alasan furlough bukan mem-PHK. 

Karena buntu, jalan mogok diambil. Sekitar delapan ribu lebih pekerja; karyawan dan kontraktor, berhenti kerja sepanjang 1 Mei sampai 30 Mei 2017. Pengacara para pekerja dari Lokataru, Haris Azhar, mengatakan aksi mogok itu sesuai undang-undang. 

“Kenapa serikat ajukan dialog? Karena dialog adalah amanat UU Serikat Pekerja. Jadi apa yang ditempuh serikat adalah tindakan yang konstitusional. Nah kalau deadlock, menurut UU Serikat Pekerja, bisa dilakukan mogok,” jelas Haris. 

Tapi Juru Bicara Freeport, Riza Pratama, mengatakan yang sebaliknya. Menurut dia, mogok kerja itu tidak sah karena tak berkaitan dengan persoalan furlough.

“Tidak legal karena pada waktu itu, tak bekerja tanpa ada pemberitahuan dan alasannya apa. Alasan (mogok-red) karena ketua mereka sedang disidangkan karena menggelapkan uang anggota. Itu urusan internal,” tutur Riza Pratama ketika dihubungi KBR. 

Maka dengan alasan mangkir lima hari berturut-turut, para pekerja dianggap mengundurkan diri secara sukarela. 

Pengacara pekerja Freeport dari Lokataru, Haris Azhar, mengatakan istilah furlough tak dikenal dalam hukum Indonesia.

Pernyataan Haris itu dikuatkan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika. Surat yang didapat KBR tertanggal 28 Agustus 2017 menyatakan, definisi furlough tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.

Jika merujuk pada Kamus Cambridge, furlough berarti suatu periode waktu yang diberikan kepada pekerja atau tentara untuk absen dari tugas sementara. Penjelasan serupa juga menyatakan cuti sementara dari pekerjaan yang tidak dibayar untuk jangka waktu tertentu –demi menghindari PHK. 

Untuk menengahi persoalan ini, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri membentuk Tim Pemantau dan Pencegahan Permasalahan Ketenagakerjaan di PT Freeport Indonesia pada 9 Maret 2017. Seperti apa hasilnya?

Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Perindustrian Kemnaker, John Daniel, mengatakan tim cuma merekomendasikan perusahaan dan pekerja kembali ke meja perundingan. Kalau tidak ada kata sepakat, maka pekerja disarankan melapor ke Pengadilan Hubungan Industrial. 

“Nah harusnya, kalau memang tidak selesai dibawa dong ke Disnaker setempat. Supaya ada suatu kesimpulan mengenai furlough. Tapi kan para pihak enggak mau bawa,” kata John saat dihubungi KBR, Senin (30/4).

Sementara mengenai furlough yang diberlakukan Freeport, Kemnaker tak berani menilai apakah melanggar aturan atau tidak. 

Enggak ada juga sanksi di Undang-Undang mengatakan kalau furlough itu ada sanksi hukumnya. Supaya ada kepastikan harusnya para pihak membawa ke Disnaker setempat. Ada anjuran lah, kalau itu terjadi perselisihan,” tambahnya. 

Sementara bagi Haris Azhar, sikap pemerintah yang tak acuh pada pekerja Freeport karena perusahaan tambang ini dilindungi para pejabat. 

“Kenapa pemerintah itu diam? Kami punya data 351 jaring kerja Freeport, individu atau yayasan, perusahaan. Di perusahaan itu ada nama-nama penggede Indonesia,” akunya. 

Kembali ke Indra Kurniawan. Ia takkan menurut pada Freeport biarpun berkali-kali diiming-imingi. Sebab, pengorbanan teman-temannya takkan terbayar dengan uang sekalipun.

<tr>

	<td class="">Reporter:&nbsp;</td>


	<td>Quinawaty Pasaribu</td>

</tr>


<tr>

	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>


	<td>Nurika</td>

</tr>