BERITA

Revisi UU Anti-Terorisme Langgar HAM? Ini Kata Kemenkumham

""Ya sekarang kalau dikembalikan lagi, teroris itu melanggar HAM tidak? Bagaimana kalau seandainya nanti negara kita itu seperti Suriah?""

Revisi UU Anti-Terorisme Langgar HAM? Ini Kata Kemenkumham
Ilustrasi (foto: KBR/Yudha S.)


KBR, Jakarta- Pemerintah memprioritaskan keamanan ketimbang penegakan HAM dalam revisi UU Anti-Terorisme. Menurut Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Karjono, penegakan hukum dan tindakan tegas bagi pelaku terorisme menjadi hal utama dalam aturan yang sedang dibahas antara pemerintah dan DPR.

Kata dia, untuk penegakan HAM nanti akan dibahas lebih lanjut dalam aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah.

"Ya sekarang kalau dikembalikan lagi, teroris itu melanggar HAM tidak? Tidak hanya itu sebenarnya, itu masalah kecil. Bagaimana kalau seandainya nanti negara kita itu seperti Suriah, acak-acakan, negaranya tidak karu-karuan. Perlu tidak antisipasi sementara nabrak HAM tetapi aman. Saya sendiri juga istilahnya pembentukan peraturan UU ini adalah politik hukum. Artinya kita mau mementingkan apa sekarang ini," ujar Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Karjono saat dihubungi KBR, Rabu (31/5/2017).


Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM  Karjono menambahkan, dalam revisi itu ada penambahan hukuman dan jeratan hukum yang lebih detail terkait kegiatan terorisme seperti pelatihan militer, pelatihan para militer dan pelatihan lainnya hingga pemberatan hukuman bagi pelaku terorisme yang melibatkan anak-anak. Selain itu kejahatan terorisme melalui dunia internet juga akan dikenakan pidana. Tak hanya itu, organisasi dan orang yang melakukan kejahatan terorisme di luar negeri juga dikenai hukuman.


"Sebetulnya untuk penahanan yang berbeda hanya untuk jumlah harinya. Kemudian juga dalam draf  itu juga ada keterlibatan anak. Kalau yang melakukan anak maka diberlakukan UU anak, kalau dia melibatkan anak-anak maka orang ini dikenai penambahan 1/3 pidana dari pidana pokoknya atau pemberatan .Pelatihan lainnya dicontohkan orang memperagakan dalam intruksi dalam internet, IT atau sejenisnya itu kena juga," ujarnya.


Sementara itu Institute Criminal Justice Reform (ICJR) menilai  tidak perlu menambah lagi waktu penangkapan terduga teroris.  Kata Direktur ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, jika bukti intelijen cukup kuat, polisi dapat langsung meningkatkan menjadi penahanan.


"Penangkapan sejauh mungkin memang tidak panjang. Prinsipnya itu dulu. Karena apa, kalau penangkapan sudah 14, 30 hari, nanti ada juga mekanisme pencegahan yang paling tidak 30 hari lebih. Nah pencegahan ini juga tidak jelas, sudah ada penangkapan, penahanan dan pencegahan," jelas Supriyadi Widodo Eddyono saat dihubungi KBR, Rabu (31/5).


Supriyadi Widodo Eddyono menambahkan penangkapan dalam jangka waktu panjang berpotensi menutup akses pengacara dan keluarga terkait informasi penangkapan. Akibatnya potensi terjadinya praktik penyiksaan atau pelanggaran hak seseorang juga semakin besar. ICJR juga mendorong analisa mendalam terkait masalah yang dialami polisi dengan waktu penangkapan 7 x 24 jam.


"Paling tidak menurut ICJR, penangkapan ini dilakukan secara hukum. Bisa diakses keluarga dan pengacara dan sebagainya," imbuhnya.


Editor: Rony Sitanggang

  • RUU terorisme
  • Karjono

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!